Seporsi Dua Kuliner Legenda Surabaya
Menceritakan kuliner melegenda dari Surabaya, Jawa Timur, tak akan tercukupi meski diulas dalam berbagai buku dan artikel bahkan di jagad maya atau internet. Mohon maaf sebanyak-banyaknya, ”sepurane sing akeh yo, rek”!
Menceritakan kuliner melegenda dari Surabaya, Jawa Timur, tak akan tercukupi meski diulas dalam berbagai buku dan artikel bahkan di jagad maya atau internet. Untuk itu, dengan segala kekurangan, kegegabahan, dan kenekatan diambil cuma dua dari ribuan lokasi kuliner. Mohon maaf sebanyak-banyaknya. Sepurane sing akeh yo, rek!
Lokasi pertama dan jelas sudah dikenal adalah Depot Sari (dahulu Depot Badjoel) di ujung Jalan Karet yang ke kiri adalah Jembatan Merah (Roode Brug) dan ke kanan Kampung Pecinan Kya-Kya Kembang Jepun. Spanduk yang menutupi bagian atas tirai di teras bangunan berukuran mini itu bertuliskan Depot Sari 1930 Spesialis Sop Buntut/Rawon Merah.
Dinding bagian dalam kedai makan minum itu dipenuhi ornamen dan foto lawas. Ada logo buaya (bajul dalam bahasa Suroboyoan) di antara foto-foto yang menampilkan pemilik dan para tamu. Sebagian di antaranya pejabat dan pesohor yang pernah singgah dan tersengat kelezatan kuliner depot berukuran tak sampai 30 meter persegi ini.
Kedai kuliner ini sudah ada sejak 1930 dan tiada yang berubah kecuali namanya dari Depot Badjoel menjadi Depot Sari. Dari daftar menu, yang spesial ialah sop buntut, sop buntut goreng, rawon merah, dan rawon buntut. Aneka kuah berupa sop ayam, sop kikil, sop sumsum, bakmoy ayam udang, kare ayam, gule kambing, sayur asem.
Juga tersedia ragam sate, yakni sate ayam, sate kambing, sate sumsum, dan sate ginjal. Juga tersedia ayam bumbu rujak, bali bandeng, bali daging, empal goreng sayur asin, ayam goreng kalasan, dan nasi campur.
Baca juga : Festival Rujak Uleg 2019 Pecahkan Dua Rekor Muri
Sejak dibuka pada 1930, menu utama adalah sop buntut dan rawon merah. Sembilan dekade merambah pada tanah sang waktu, kedua menu bertahan, jadi andalan, dan memang menjadi sasaran pengunjung. Pemilik Depot Sari Hanny Hartono, generasi ketiga mengatakan, kedai ini diurus izin oleh kakek (Sam Djojo Prajitno) dan nenek pada 1933 dengan nama Depot Badjoel.
Bumbu warisan dari kakek dan ayah yang selalu berpesan harus asli, tidak boleh pakai yang instan. (Hanny Hartono)
Namun, dalam pengurusan perubahan izin usaha pada 1970, ayahanda (Bing Slamet Prajitno) selaku penerus atau generasi kedua mengubah nama menjadi Depot Sari. Perubahan nama bertujuan memberikan citra sebagai kedai yang memberikan rasa nikmat dari sari makanan sehingga selalu ramai dikunjungi.
Ketika kami mencicipi sop buntut dan rawon merah seusai bersepeda, gagal kami mungkiri bahwa kelezatannya memang jempolan. Amat enak alias ciamik soro ujaran Arek Suroboyo. Sop buntutnya seolah melecut mulut dan perut melalui kelembutan daging serta kuah yang gurih sedap.
Mungkin ini wujud keabadian resep leluhur yang tetap dijalankan dengan penuh kepatuhan yakni ”mengharamkam” bumbu instan dan penuh cinta untuk konsumen dalam seluruh proses.
Legit dan gurih
Kuah sop buntut kecokelatan. Sari pati rebusan buntut sengaja tidak disaring sehingga rasa kuah begitu legit dan gurih. Daging buntut lembut dan gurih. Rasa kaldu daging masih tersimpan di setiap serat, menjaga bumbu tetap terasa sekalipun menyantap daging tanpa disiram kuah.
Baca juga : Cobek Raksasa Meriahkan Festival Rujak Uleg
Tak seperti sop buntut lainnya, lemak dan minyak yang dikeluarkan dari buntut tidak mengambang di atas kuah sebab lapisan minyak sudah dibuang sejak awal perebusan.
Bumbu pada kuah ternyata tak memakai kluwak, bahan wajib secara ”hukum perkulineran” pada sop atau rawon gaya suroboyan. Depot Sari sangat berani menentang seolah selaras dengan salah satu karakter khas Arek Suroboyo yang nekat.
Kluwak digantikan dengan ramuan padu cabai merah dan cabai rawit. Mungkin ini yang membuat kuah sop dan rawon nyaris tiada lemak menempel pada mangkuk dan sendok.
”Bumbu warisan dari kakek dan ayah yang selalu berpesan harus asli, tidak boleh pakai yang instan,” kata Hanny, alumnus Teknik Elektro Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya, yang mulai mengelola Depot Sari sejak 1991.
Baca juga : Menjelajah Atmosfer Asia, Timur Tengah, hingga Eropa di Kota Tua Surabaya
Rahasia untuk mempertahankan cita rasa kuliner dengan tetap ke dapur dan mengawasi kinerja pegawai agar tetap baik bahkan sempurna. Urusan pemilihan gelas jadi perhatian, misalnya bermulut lebar sehingga mudah dicuci bersih dan tidak meninggalkan aroma dari minuman sebelumnya. Piring dan mangkuk yang terbaik. ”Alat makan yang terbaik, yang mahal, bahkan dibeli hingga ke Perancis,” ujar Hanny.
Kedekatan Hanny dengan Depot Sari ada sejak masih menempuh pendidikan di SMP. Saat remaja, Hanny membantu ayahanda dengan menghidangkan makanan minuman untuk pelanggan. Hanny juga mulai belajar memasak menu-menu sesuai racikan kakek-nenek.
Setelah lulus kuliah, Hanny sempat melamar kerja di suatu restoran, tetapi ayahanda melarang. ”Saya dianggap paling mampu meneruskan usaha ini dan saya menerima lalu menjalani dengan tulus sebagai bakti kepada orangtua dan leluhur,” katanya.
Rujak Cingur
Lokasi kedua adalah kedai Depot Rujak Genteng di pertemuan Jalan Genteng Muhammadiyah dan Jalan Genteng Durasim. Kedai ini adalah bangunan ”tusuk sate” dari Jalan Genteng Muhammadiyah, Surabaya. Kedai makan minum dengan menu andalan rujak cingur dan sop buntut ini berada di utara sedikit ke barat laut dari bagian belakang Pasar Genteng.
Dinding warung makan yang sudah modern ini penuh dengan foto pesohor dan pejabat yang mampir serta publikasi koran-koran sejak lama. Artikel, berita, dan feature di jagad maya juga masyaallah banyaknya. Mungkin ini bukti kepopuleran kedai yang diklaim sudah ada sejak 1936.
Baca juga : Angkat Kuliner dan UMKM Surabaya
Saat bersepeda di suatu siang yang terik, organ dalam perut sudah memberontak pertanda lapar, dan kebetulan mendekati Pasar Genteng, seolah otomatis setang dan kayuhan mencari rute dan berakhir di Depot Rujak Genteng.
Bergegas masuk memesan seporsi rujak cingur dan segelas teh hangat tawar yang karena porsinya keterlaluan cuma mampu ambles separuh. Sebelum makan, saat melihat porsi jumbo makanan khas Surabaya ini, separuh disisihkan dan minta dikemas untuk dibawa pulang.
Saat awal bertugas di Surabaya pada Oktober 2003, rujak cingur seolah ”musuh” dalam khazanah kuliner pribadi. Warna bumbu siram amat tak sedap dipandang, seperti lumpur selokan. Namun, sedikit rasa nekat setelah ”diracuni” dengan rayuan, itu pun dengan mata tertutup, akhirnya berani menyantap rujak cingur.
Suapan pertama segera melumpuhkan dan memaksa paradigma menyerah dan mengakui bahwa rujak cingur dan kuliner Suroboyoan harus mendapat satu tempat spesial dalam diri.
Rujak cingur adalah potongan tempe dan tahu goreng, taburan rebusan kangkung, tauge, dan mi, irisan belimbing madu, bengkoang, mangga muda, mentimun, nanas, juga potongan lontong dan daging cingur alias bagian hidung sapi lalu disiram bumbu kacang yang pedas bercampur petis menyengat. Rasanya unik, otentik, dan seperti tersetrum untuk menyantap lagi dan lagi.
Pemilik Rujak Cingur dan Sop Buntut Genteng Durasim, Hendri Sudikto, berbagi rahasia ada pada bumbu racikan dan olahan cingur. Untuk bumbu bergantung pada kepiawaian peracik mengombinasikan berbagai jenis petis, bubuk kacang, garam, gula jawa atau gula aren, bawang putih, cabai rawit, dan cabai merah.
Untuk diketahui, menemukan petis-petis yang pas dari begitu banyak jenis dan merek serta lokasi pembuatan di Pantai Utara Jawa adalah seni dan ketekunan bertahun-tahun yang tidak bisa segera dipahami. Begitu juga memilih bahan lainnya, yakni kacang hingga gula jawa dan gula aren di mana membelinya.
Jejak-jejak ini tidak boleh hilang. Tidak hanya sebagai catatan bagaimana kota ini memang terbentuk pada awalnya. Tetapi sekaligus menorehkan Surabaya memang wadah yang mengekspresikan keberagaman itu. (Freddy Istanto)
Cingur diolah sejak dua hari sebelum menjadi rujak. Setelah dicuci, cingur direbus selama dua jam pada malam lalu dibiarkan sampai pagi. Selanjutnya, cingur ditaburi atau diolesi bumbu dari garam, bawang putih, dan kunyit (kunir) dan didiamkan sebelum digoreng, tetapi tidak sampai matang lalu ditiriskan sehingga siap untuk menjadi penyempurna rujak cingur.
Hendri mengatakan, resep rujak cingur merupakan warisan sang nenek, Mbah Woro yang menginisiasi usaha kuliner itu pada 1936 di gubuk sederhana. Sejak 1942-1978, usaha diteruskan oleh Maryam, ibunda, lalu tongkat estafet berlanjut ke sejumlah kakaknya, tetapi bangkrut. Pada 1985, Hendri membangun kembali usaha dan berhasil mengembangkannya.
Hendri memodifikasi menu dengan menjadikan rujak cingur spesial melalui penambahan porsi jumbo terutama pada cingur. Petis ada yang buatan sendiri dan dibeli dari produsen yang diketahui Hendri sangat berkualitas di Madura dan Sidoarjo.
Orang itu minta dibalas dengan diajak keliling Surabaya naik andong, kejadiannya 1943. (Hendri)
Selain itu, Hendri yang lihai memasak menambah menu lain, yakni sop buntut. Kedua menu ini akhirnya digemari dan terkenal. Salah satu pelanggan kedai adalah mantan Wakil Presiden Try Sutrisno yang memang kelahiran Surabaya.
Baca juga : Pesona Surabaya, Penakluk Mata hingga Kaki
Yang juga unik dari kedai ini adalah cobek batu untuk mengulek bumbu rujak cingur. Cobek itu berbobot 45 kilogram (kg) yang dipesan ibunda dari seseorang di Magelang, Jawa Tengah. Bahkan, lanjut Hendri, cobek itu diantar sendiri dari Magelang sampai Surabaya dengan menaiki sepeda. ”Orang itu minta dibalas dengan diajak keliling Surabaya naik andong, kejadiannya 1943,” kata Hendri.
Menurut Freddy H Istanto, dosen Universitas Ciputra Surabaya, Surabaya ya rujak cingur. Kuliner ini memang khas Surabaya. Sifatnya bukan melting pot tapi salad-bowl. Artinya, apa yang ada tidak melebur menjadi satu lalu tampil beda atau melting pot.
Tapi rujak adalah kuliner dengan campuran beberapa macam jenis makanan dan diberi bumbu petis, tapi ketika sudah disajikan, sayurnya tetap terlihat. Bahkan tahu dan tempe termasuk cingurnya masih jelas, sedangkan mangga, bengkuang, dan mentimun tetap seperti apa adanya.
Sampai hari ini, menurut Freddy, jejak arkeologis Surabaya masih terlihat jelas, mana Kampung Melayu, kawasan Arab, Pecinan, jejak kolonial masih terang-benderang seperti kuliner rujak cingur itu.
”Jejak-jejak ini tidak boleh hilang. Tidak hanya sebagai catatan bagaimana kota ini memang terbentuk pada awalnya. Tetapi sekaligus menorehkan Surabaya memang wadah yang mengekspresikan keberagaman itu,” ujar Direktur Sjarikat Poesaka Soerabaia ini.
Selain pernak-pernik racikan kuliner rujak cingur, elemen utama yang menunjukkan kuliner ini beda dengan makanan sejenis adalah bumbunya. Paling penting lagi seperti ”Kota Pahlawan”, bumbu patennya Surabaya. Jadi kalau ke Surabaya, jangan pernah lupa menyantap rujak cingur, rasanya pasti enak rek.
Baca juga : ”Rek Ayo Rek, Mlaku-mlaku Nang Tunjungan”...