Mendambakan Damai dari Pinggir Hutan Poso
Kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Poso, Sulteng, masih menebar teror. Kinerja tim gabungan TNI-Polri dipertanyakan.
Keberadaan kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur di Poso, Sulawesi Tengah, satu dekade ini menjadi ancaman warga. Pada kinerja tim gabungan TNI-Polri, warga berharap segera terbebas dari bayang-bayang ketakutan.
Anggota Mujahidin Indonesia Timur (MIT) kembali menebar teror di Desa Kalimago, Kecamatan Lore Timur, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Selasa (11/5/2021), dua hari sebelum Hari Raya Idul Fitri yang tahun ini dirayakan bersama Hari Kenaikan Isa Almasih. Mereka dituding membunuh empat warga Kalimago yang hendak memetik kopi di kebun.
Keempat korban adalah Paulus Papa, Lukas Lese, Simon Susah, dan Marten Solong. Mereka berada di kebun kopi sekitar 3 kilometer dari permukiman warga desa. Kebun tersebut berbatasan dengan hutan di kaki pegunungan.
Baca juga : Satgas Operasi Madago Raya Terus Kejar Anggota MIT di Poso
Pembantaian itu menambah panjang daftar korban warga sipil ulah anggota MIT. Enam bulan sebelumnya, empat warga Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, juga tewas di tangan MIT. Mereka dibunuh di rumahnya di lokasi transmigrasi. Rumah para korban cukup jauh dari rumah para transmigran lainnya. Rumah mereka lebih dekat dengan hutan.
Dua lokasi itu bisa dibilang bersebelahan. Lembantongoa berada di sisi utara, Kalimago di sisi selatan, dipisahkan hutan lebat pegunungan Taman Nasional Lore Lindu dan hutan lindung pegunungan Poso. Kedua daerah itu bagian dari pinggiran hutan lebat pegunungan segitiga Poso, Parigi Moutong, dan Sigi, yang menjadi daerah gerilya anggota MIT tersisa.
Jatuhnya korban warga sipil akibat ulah anggota MIT sering terjadi. Sejak 2014, sedikitnya 20 warga dibunuh. Pada akhir 2014, empat warga Desa Tamadue, tetangga Desa Kalimago, hilang saat mengambil rotan di hutan. Beberapa hari kemudian mereka ditemukan terbunuh. Tragedi lain terjadi di wilayah Kecamatan Torue, Parigi Moutong, Poso Pesisir Utara, dan Poso Pesisir Selatan.
Baca juga : Warga Poso Kalut Hidup dalam Bayang-bayang Terorisme
Selain menebar teror, anggota MIT membunuh untuk merampas bahan makanan atau logistik. Jamak terjadi setelah warga dibunuh, mereka mengambil beras di pondok atau rumah dan uang di saku korban.
MIT adalah kelompok teroris yang didirikan Santoso pada 2012, yang bergerilya di hutan pegunungan Poso, Parigi Moutong, dan Sigi. Santoso tewas pertengahan 2016 dalam baku tembak dengan anggota Satuan Tugas Operasi Tinombala, sandi operasi pengejaran kelompok itu sebelum diganti menjadi Operasi Madago Raya pada Januari 2020.
Harmoni kehidupan warga di sekitar daerah operasi adalah wujud dukungan kuat warga, bahwa tak ada tempat bagi terorisme. (Cristian Tindjabate)
Sempat berjumlah tak kurang dari 45 orang pada saat mulai digelarnya Operasi Tinombala pada awal 2016, saat ini kelompok itu tersisa 9 orang. Kelompok itu dipimpin Ali Kalora. Anggotanya dari sejumlah daerah, seperti Bima, Nusa Tenggara Barat; Banten; dan Maluku Utara.
Saat menggelar Operasi Tinombala tahun 2016, jumlah pasukan TNI-Polri hingga 3.000 personel. Operasi itu didahului latihan tempur TNI yang ”membombardir” hutan pegunungan Poso dengan berbagai macam senjata dan alat utama sistem pertahanan.
Saat ini, jumlah personelnya 800 orang dengan tiga kelompok tugas, yakni memburu anggota MIT di hutan, penyekatan di kampung-kampung yang berbatasan dengan hutan, dan satgas edukasi dan kampanye bahaya terorisme serta mencegah warga menjadi bagian kelompok teroris.
Sepanjang operasi digelar, tak sedikit anggota MIT dan TNI-Polri tewas saat kontak senjata. Awal Maret 2020, misalnya, dua anggota MIT tewas dan satu anggota TNI gugur dalam baku tembak. Dua hari kemudian, kontak senjata kembali terjadi, yang menyebabkan satu anggota Polri gugur.
Enam tahun sejak Operasi Tinombala dimulai, pertanyaan masih sama. Mengapa kelompok MIT masih lolos dari kejaran aparat? Mengapa mereka masih bisa leluasa meneror warga? Sampai kapan mereka berkeliaran dan menjadi momok warga yang harus berkebun di sekitar hutan?
Pertanyaan dan gugatan itu diarahkan pada kinerja aparat gabungan TNI-Polri yang secara khusus bertugas menumpas kelompok MIT. Pertanyaan-pertanyaan itu selalu relevan setiap kali terjadi pembunuhan warga sipil.
Warga Kalimago, misalnya, setelah tragedi di kebun kopi itu, belum berani berkebun. Mereka memilih mengolah lahan di sekitar rumah. Warga yang menyaksikan sendiri jenazah para korban masih didera kengerian. Keluarga para korban apalagi. ”Belum ada warga ke kebun. Kami menunggu situasi betul-betul aman,” kata Sekretaris Desa Kalimago Otniel Papunde, Sabtu (15/5/2021).
Baca juga : Lembantongoa, Persemaian Harapan
Memang, bantuan bahan makanan diterima warga desa, termasuk anggota keluarga para korban. Namun, Otniel dan warga lainnya nelangsa. ”Kami hargai ada yang bantu kami, tetapi sampai kapan keamanan kami saat berkebun tak dijamin? Kami tak bisa bayangkan kalau mereka ini ada terus. Intinya, selesaikan mereka ini biar kami aman,” ucapnya.
Syamsul Hadi (46), warga Desa Lembantongoa, awal Desember 2020 menyerukan hal yang sama. Warga tak bisa terus hidup dalam bayang-bayang ketakutan pada anggota MIT. Kopi dan kakao mereka sering tak dipanen karena takut didatangi anggota MIT.
Anggota DPRD Kabupaten Poso, Iskandar Lamuka, heran aparat belum bisa menangani anggota MIT di tengah pengerahan pasukan operasi. Terus munculnya warga yang menjadi korban bisa menimbulkan krisis kepercayaan terhadap negara. ”Masak negara tak berdaya menghadapi sekelompok orang ini,” katanya.
Memburu anggota MIT dan melindungi warga di sekitar daerah operasi sama-sama penting. Operasi keamanan seperti Operasi Madago Raya seharusnya memberi jaminan keselamatan pekebun di pinggir-pinggir hutan daerah jelajah MIT. ”Dari segi perlindungan terhadap warga sipil, operasi tersebut gagal. Dari dulu kami meminta agar evaluasi dilakukan, terutama terkait perlindungan terhadap warga sipil,” kata peneliti Lembaga Pengkajian dan Studi Hak Asasi Manusia (LPS-HAM) Sulteng, Moh Arfandy.
Ia mempertanyakan keberadaan pasukan penyekat di desa-desa yang berbatasan dengan hutan, area perlintasan anggota MIT. Dari kejadian selama ini, saat terjadi teror, tak ada pasukan di sekitar lokasi. Warga harus melapor dulu ke aparat agar pasukan bergerak. Ketika pasukan datang, anggota MIT sudah raib ke dalam hutan.
Baca juga : Warga Sipil di Poso Kembali Jadi Korban Terorisme
Dalam tragedi di Kalimago, pasukan baru tiba di lokasi sekitar dua jam setelah kejadian. Saksi yang selamat dari pembantaian melapor ke kepala desa, lalu diteruskan ke kantor polisi. Baru setelah itu anggota Satgas Operasi Madago Raya bergerak ke lokasi. Alur penanganan serupa terjadi di Desa Lembantongoa, Sigi, akhir November 2020.
Arfandy berharap operasi penumpasan teroris di Poso dan daerah lain tidak menjadi proyek keamanan yang terus dipelihara. ”Negara harus menampik ini dengan segera menyelesaikan masalah terorisme, termasuk MIT,” katanya.
Terkait keberadaan pasukan penyekatan, Kepala Bidang Humas Polda Sulteng Komisaris Besar Didik Supranoto mengatakan di sekitar lokasi kejadian diperkirakan ada pos sekat. Mereka bisa lolos dari pantauan karena luasnya wilayah jelajah anggota MIT.
Mengenai perlindungan terhadap warga sipil di sekitar daerah operasi, Didik hanya menyatakan anggota Satgas Madago Raya berusaha semaksimal mungkin segera menangani MIT. Kendala yang dihadapi selama ini adalah luas dan sulitnya medan pengejaran. Wilayah gerilya kelompok tersebut berupa hutan lebat pegunungan.
Modal sosial
Salah satu hal yang penting selama ini, pascateror yang muncul, warga tidak terprovokasi. Harmoni kehidupan masyarakat di sekitar lokasi kejadian dan tempat-tempat lain di Sulteng serta Indonesia tetap terjaga. Pembantaian di Kalimago dan Lembantongoa tak lantas menimbulkan chaos sentimen keagamaan di masyarakat. Harmoni antarumat beragama dan warga antarsuku tetap terjaga, malah makin kuat.
Tokoh Muslim Sulteng, Zainal Abidin, mengatakan, matangnya sikap warga atas teror selama ini merupakan kekuatan bangsa ini demi memperteguh solidaritas sosial. Para ulama tak henti-henti menyampaikan hal itu dalam berbagai kesempatan. ”Bahwa teror yang terjadi tak terkait ajaran agama tertentu. Bahkan, bertentangan dengan ajaran agama yang dipahami salah oleh oknum-oknum tersebut (anggota MIT),” ujarnya.
Baca juga : Presiden: Basmi Terorisme sampai ke Akarnya
Baca juga : Memberantas Terorisme
Menurut dosen Sosiologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Tadulako, Palu, Cristian Tindjabate, ademnya situasi di masyarakat pascateror merupakan bukti melembaganya harmoni kehidupan. Warga menyadari reaksi karena terprovokasi hanya akan merugikan mereka sendiri.
”Ini modal sosial besar menciptakan kehidupan yang aman dan damai di tengah pluralisme di Indonesia, termasuk di Kalimago. Meskipun terlihat melembaga, peneguhan melalui imbauan dan kolaborasi lintas agama tetap harus dilakukan untuk terus memperkuat harmoni tersebut,” katanya.
Khusus untuk Poso atau Sulteng, lanjut Cristian, harmoni dalam keberagaman itu berangkat dari pengalaman panjang dan pahit pada konflik bernuansa agama pada 2000-an. Dari kejadian itu, warga menyadari, ”Menang jadi arang, kalah jadi abu”.
Kondisi tersebut menjadi modal sosial besar bagi pemerintah dan aparat untuk bekerja lebih optimal memberantas terorisme, terutama menumpas kelompok MIT. Harmoni kehidupan warga di sekitar daerah operasi adalah wujud dukungan kuat warga, bahwa tak ada tempat bagi terorisme.
Ya! Saat ini warga sungguh mendambakan damai dari kebun kopi di Poso.