Warga Poso Kalut Hidup dalam Bayang-bayang Terorisme
Setelah kejadian terbunuhnya empat warga di Lembah Napu, Poso, Sulawesi Tengah, warga berharap penyelesaian masalah terorisme segera diselesaikan. Warga dan pemerintah perlu mengadakan dialog.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·4 menit baca
PALU, KOMPAS — Sejumlah pihak mendesak pemerintah bersama dengan Polri dan TNI untuk segera tuntaskan masalah terorisme di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Warga tersandera dengan masih terus berulahnya kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur yang terakhir berulah lagi dengan membunuh empat warga di Lembah Napu, Poso.
”Permintaan kami sebagai warga segera tuntaskan dengan serius kelompok teroris ini. Warga tidak bisa hidup dalam bayang-bayang ketakutan terus ketika berkebun. Polri dan TNI harus serius menumpas ini,” kata tokoh masyarakat Lembah Napu, Poso, Adi (49), saat dihubungi dari Palu, Sulteng, Rabu (12/5/2021).
Anggota kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) membunuh empat warga Desa Kalimago, Kecamatan Lore Timur, Poso, Selasa (11/5/2021). Mereka dibunuh di dua lokasi berbeda di kebun kopi, sekitar 3 kilometer dari permukiman. Kebun tersebut berada di pinggir hutan di sebelah timur Lembah Napu, daerah yang terdiri dari sejumlah kecamatan, termasuk Lore Timur. Mereka sedang memanen kopi. Para korban adalah Paulus Papa, Lukas Lese, Simon Susan, dan Marten Sorong. Mereka dimakamkan pada Rabu ini.
Kepolisian Daerah Sulteng menyebutkan, pelaku pembunuhan sebanyak lima orang. Salah satunya diidentifikasi masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) kepolisian, bernama Qatar. Keempat orang lainnya sulit diidentifikasi saksi yang bisa lolos dari kejadian tersebut.
Sejauh ini, warga di Lembah Napu masih beraktivitas normal. Mereka tetap lalu lalang di jalan untuk mengurus kebutuhannya. Mereka juga tetap bekerja di kebun, terutama yang berada di dekat rumah.
Warga tak bisa dibiarkan terus hidup dalam bayang-bayang MIT. Selama masih adanya kelompok tersebut, keselamatan warga akan terus terancam.
Adi menyatakan, warga tak bisa dibiarkan terus hidup dalam bayang-bayang MIT. Selama masih adanya kelompok tersebut, keselamatan warga akan terus terancam. ”Negara harus menjamin keamanan setiap orang, termasuk dalam kegiatan ekonomi,” ujarnya.
Jatuhnya korban warga sipil ulah anggota MIT bukan baru kali ini terjadi. Dalam catatan Kompas,sejak 2014, sedikitnya sudah 20 warga sipil menjadi korban kekejaman kelompok MIT yang dipimpin Ali Kolora. Sebelum kejadian di Lembah Napu, empat warga Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, dibunuh oleh anggota MIT.
Di Lembah Napu, aksi brutal para teroris tersebut sudah dua kali terjadi. Sebelum aksi terakhir, kejadian serupa pernah terjadi akhir 2014. Saat itu, empat warga hilang dari kebunnya dan ditemukan tewas beberapa hari kemudian.
MIT adalah kelompok teroris yang didirikan Santoso pada 2012. Ia tewas pada pertengahan 2016 dalam baku tembak dengan anggota Satuan Tugas Operasi Tinombala. Saat ini, kelompok tersebut terdiri atas sembilan orang yang dipimpin Ali Kalora. Mereka bergerilya di hutan pegunungan Kabupaten Poso, Sigi, dan Parigi Moutong. Mereka muncul di kebun warga untuk meneror dan mengambil atau merampas logistik dari warga.
Polri dan TNI menggelar operasi untuk mengejar anggota MIT sejak 2016 dengan nama Operasi Tinombala. Sejak awal 2021, operasi berubah nama menjadi Madago Raya. Madago, menurut bahasa Pamona, bahasa salah satu suku di Poso, berarti ”hati baik”. Sementara Tinombala merujuk pada gunung dengan nama sama di Parigi Moutong.
Koordinator Badan Pelaksanan Harian Lembaga Pengkajian dan Studi Hak Asasi Manusia Sulteng (LPS-HAM), Ridwan Lapasere, mengungkapkan, warga dan pemerintah perlu melakukan dialog untuk menuntaskan masalah terorisme di Poso dengan segera. Dialog itu untuk menyamakan persepsi demi percepatan penanganan soal terorisme di Poso. Sejauh ini, hal itu belum pernah dilakukan.
Dikejar
Kepala Bidang Humas Polda Sulteng Komisaris Besar Didik Supranoto dalam konferensi pers di Palu, Rabu, menyatakan, anggota Satgas Operasi Madago Raya masih menyisir dan mengejar kelima anggota DPO yang berulah di Kalimago.
Menurut dia, aksi tersebut dilakukan untuk menebarkan teror kepada warga. Dari para korban, biasanya anggota MIT mengambil logistik. Dalam kejadian di Kalimago, mereka mengambil beras di pondok korban dan uang dari dompet mereka.
Dari para korban, biasanya anggota MIT mengambil logistik. Dalam kejadian di Kalimago, mereka mengambil beras di pondok korban dan uang dari dompet mereka.
Terkait perlindungan terhadap para petani di sekitar daerah operasi, Didik hanya menjawab, personel Satgas Madago Raya akan berusaha semaksimal mungkin untuk segera menangani anggota MIT.
Dia mengakui ada kendala di lapangan dalam pengejaran anggota MIT. Di kebun, petugas dan warga sulit mengidentifikasi para DPO. Kadang warga menganggap DPO itu petugas sehingga mereka tidak curiga seperti empat korban di Kalimago.
Kendala lain, wilayah operasi cukup luas yang terbentang dari Kabupaten Poso, Sigi, hingga Parigi Moutong. Wilayah gerilya kelompok itu berupa pegunungan berhutan lebat.
Didik menyebutkan, di sekitar lokasi kejadian, diperkirakan ada pos sekat. Mereka bisa lolos dari pantauan karena luasnya wilayah jelajah anggota MIT tersebut. ”Satgas Operasi Madago Raya itu dibagi tiga, yakni petugas pengejaran, petugas sekat, dan petugas kegiatan preemtif-preventif. Pasti ada pos sekat di lokasi kejadian, tteapi di mana persisnya saya juga belum dapat informasi,” ujarnya.
Ia meminta warga untuk tetap tenang. Jika warga takut, tujuan kelompok teror menakuti warga tercapai. ”Jika ada orang-orang yang mencurigakan, segera lapor ke petugas, baik Polri maupun TNI,” katanya.
Terkait antisipasi kejadian teror pada Idul Fitri yang jatuh pada Kamis (13/5/2021), Didik menyatakan, petugas di pos-pos penjagaan dan pos terpadu di jalan raya dan tempat-tempat keramaian termasuk bertugas untuk mengantisipasi kemungkinan tersebut. Tragedi di Kalimago terjadi tepat dua hari sebelum hari raya Idul Fitri yang tahun ini jatuh pada Kamis (13/5/2021).