12 Warga Toba Terluka Bentrok dengan Karyawan Perusahaan
Sebanyak 12 anggota masyarakat adat Natumingka terluka setelah terlibat konflik lahan dengan karyawan perusahaan bubur kertas di Kabupaten Toba, Sumatera Utara.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
BALIGE, KOMPAS — Sebanyak 12 warga adat Natumingka terluka setelah terlibat konflik lahan dengan karyawan perusahaan bubur kertas di Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Sumatera Utara, Selasa (18/5/2021). Lahan tersebut dinyatakan warga sebagai tanah ulayat, sementara perusahaan menyatakan sebagai konsesi yang sudah dari 30 tahun ditanami.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) Tano Batak Roganda Simanjutak mengatakan, dua warga harus dirawat inap di puskesmas setempat karena mengalami luka parah di kepala. Sementara, sepuluh lainnya mengalami luka di badan, kaki, dan tangan dan menjalani rawat jalan.
Menurut Roganda, konflik terjadi saat pihak perusahaan hendak menanam pohon eukaliptus di lahan itu, Selasa pagi. Ada sekitar 400 karyawan yang sebagian besar berpakaian sekuriti datang ke lahan itu. Mereka pun dihadang pagar betis masyarakat adat Natumingka yang terdiri atas 100 orang.
Namun warga sudah membuat pagar betis sejak pukul 06.30. Karyawan berdialog dengan masyarakat tetapi tidak ada titik temu. Sekitar pukul 10.30, kata Roganda, ratusan karyawan membawa kayu dan batu.
”Sekuriti pun memberikan aba-aba untuk menyerang masyarakat. Mereka lalu melempar kami dengan batu dan memukul dengan kayu,” kata Roganda.
Biro Organisasi Aman Tano Batak Hengky Manalu mengatakan, polisi yang berjaga di sana tidak bisa menghalau serangan dari ratusan karyawan. Warga pun membubarkan diri dan tidak melakukan perlawanan. ”Kami langsung membawa warga yang terluka ke puskesmas,” kata Hengky.
Menurut Hengky, masyarakat adat Natumingka mempunyai tanah ulayat sekitar 2.400 hektar. Konflik dengan perusahaan terjadi di kampung Titi Alam di lahan seluas sekitar 20 hektar. Perusahaan bubur kertas itu pun sudah beberapa periode menanam eukaliptus di lahan tersebut.
”Tahun 2020 mereka memanen eukaliptusnya dari lahan itu. Setelah dipanen, masyarakat adat mengambil lahan itu dengan menanam jagung di sana,” kata Hengky.
Sejak awal kehadiran perusahaan di kawasan itu, kata Hengky, masyarakat sudah beberapa kali terlibat konflik. Baru-baru ini, tiga anggota masyarakat adat telah ditetapkan menjadi tersangka karena dilaporkan merusak tanaman perusahaan.
Sebelum menjadi lahan konsesi perusahaan, kata Hengky, masyarakat adat menanam padi, mengambil hasil hutan, dan menjadikan sebagai area sebagai permakaman. ”Sampai sekarang masih ada makam leluhur di area itu yang sudah diratakan perusahaan,” kata Hengky.
Hengky mengatakan, mereka akan melaporkan penganiayaan itu ke Kepolisian Resor Toba. Mereka berharap kasus penganiayaan itu bisa diproses secara adil.
Kita lebih baik duduk bersama membahas apa persoalan di sana. (Poltak Sitorus)
Bupati Toba Poltak Sitorus mengatakan, ia langsung menelepon pihak perusahaan untuk menarik semua karyawannya yang ada di lokasi konflik itu. ”Tadi saya langsung telepon TPL (Toba Pulp Lestari) supaya ditarik mundur semua. Kita lebih baik duduk bersama membahas apa persoalan di sana,” katanya.
Poltak mengatakan, ia sudah mengundang pihak PT TPL dan masyarakat untuk membicarakan persoalan itu. Ia pun berharap pihak TPL dan masyarakat bisa hadir dan mencari solusi untuk persoalan tersebut.
Kompas menelepon Manajer Komunikasi Perusahaan PT TPL Norma Hutajulu untuk meminta konfirmasi tetapi belum tersambung. Pesan singkat yang dikirim Kompas untuk permintaan wawancara pun belum dibalas hingga berita ini ditayangkan. Demikian juga dengan Juanda Panjaitan dari Humas PT TPL.
Namun dalam beberapa kesempatan pada sejumlah konflik lahan dengan masyarakat di Tano Batak, PT TPL menyatakan lahan yang berkonflik merupakan konsesi mereka yang sudah ditanami.