Lebaran Tetap Bermakna di Tengah Keprihatinan Bencana
Penyintas gempa 6,1 M di Kabupaten Malang, Jawa Timur, merayakan Idul Fitri dalam suasana keprihatinan. Namun, kondisi keterbatasan tak menyurutkan mereka untuk memaknai kemenangan setelah berpuasa selama Ramadhan.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
Di dalam ”rumah sementara” yang terbuat dari terpal plastik, Sugeng Prianto (50) dan keluarganya menyambut ramah tetangga yang bersilaturahmi di hari raya Idul Fitri, Kamis (13/5/2021) pagi. Kehangatan suasana Lebaran tetap terasa di ruang tamu berukuran 4 meter x 5 meter, yang sekaligus berfungsi sebagai kamar tidur dan dapur.
Pascagempa 6,1 M yang melanda Malang, sekitar sebulan yang lalu, Sugeng dan keluarganya tinggal di bawah tenda terpal. Rumahnya di RT 005 RW 001 Desa Majangtengah, Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang, Jawa Timur, rusak berat.
Keprihatinan akibat bencana tak menyurutkan Sugeng dan penyintas bencana lainnya merayakan kemenangan setelah berpuasa selama Ramadhan. Tahun ini tak ada persiapan khusus yang dilakukan Sugeng untuk menyambut Lebaran.
Tak ada baju baru, ketupat dan opor ayam, sirup, ataupun menu istimewa lainnya. Hanya ada empat stoples makanan ringan, sekaleng kecil biskuit, dan beberapa gelas air mineral yang disuguhkan di atas meja kayu kecil.
Di tengah keterbatasannya, Sugeng masih menyodorkan ”angpao” tanpa amplop berupa beberapa lembar uang pecahan Rp 2.000 dan Rp 5.000 kepada anak balita yang datang. Meski sang orangtua berusaha menampik, Sugeng bergeming pada pendiriannya.
”Yang bersilaturahmi hanya tetangga sini-sini. Ada juga saudara dari Gondanglegi, Turen (beberapa wilayah kecamatan tetangga). Kalau kerabat dari luar daerah tidak datang karena ada larangan mudik,” ujarnya.
Susiayah (59), kakak kandung Sugeng, bernasib serupa. Rumahnya juga rusak akibat gempa. Seusai Lebaran, rumah itu akan dibangun lagi menggunakan dana pinjaman.
”Ya, daripada keleleran (terkatung-katung) lebih baik bangun rumah permanen meski dananya pinjam sana-sini,” ucap Susiayah yang tinggal di bawah tenda bersama seorang anaknya.
Ia berinisiatif membangun sendiri rumahnya dengan pertimbangan bantuan stimulan dari pemerintah belum bisa dipastikan kapan datang. Ia memanfaatkan bantuan material dari donatur meski jumlahnya masih terbatas.
Bantuan
Apa yang terjadi pada Sugeng dan Susiayah merupakan potret korban gempa di Malang ketika Idul Fitri 1442 Hijriah tiba. Sebagian besar warga yang rumahnya rusak sedang dan berat ada yang sudah memperbaiki kerusakan. Namun, masih ada juga yang tinggal di rumah sementara.
Mujito (60), warga Majangtengah lainnya, mengatakan, dirinya memilih memperbaiki kerusakan rumah sendiri. Semen yang digunakan berasal dari bantuan donatur yang diserahkan melalui karang taruna setempat. Selain itu, dia juga masih memanfaatkan sisa-sisa material bangunan yang masih bisa dipakai.
Ya, daripada keleleran (terkatung-katung) lebih baik bangun rumah permanen meski dananya pinjam sana-sini. (Susiayah)
Bukan hanya rumah Mujito yang diperbaiki, melainkan juga rumah kedua anaknya. Perbaikan rumah dilakukan tanpa tukang, tetapi tetap melibatkan kerabat yang lain.
”Rumah ini tadinya mau dirobohkan karena rusak. Namun saya melarang. Saya pilih perbaiki sendiri setelah sebelumnya dipastikan aman,” ucapnya.
Bantuan kepada warga gempa, baik berupa logistik maupun material untuk perbaikan rumah, terus mengalir. Bantuan itu tidak hanya diberikan oleh perusahaan badan usaha milik negara, tetapi juga swasta dan komunitas masyarakat yang peduli.
Camat Ampelgading Achmad Sovie mengatakan, sejak gempa terjadi hingga sebelum Lebaran, ada 11 kali bantuan yang diberikan kepada warga terdampak. Ampelgading merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Malang yang paling terdampak, selain Dampit dan Tirtoyudho.
Bantuan kepada warga gempa, baik berupa logistik maupun material untuk perbaikan rumah, terus mengalir. Bantuan itu tidak hanya diberikan oleh perusahaan badan usaha milik negara, tetapi juga swasta dan komunitas masyarakat yang peduli.
Pemerintah Kabupaten Malang juga memfasilitasi pembangunan belasan rumah sementara dan rumah semipermanen bagi penyintas di Desa Jogomulyan, Kecamatan Tirtoyudo. Adapun dana tunggu hunian sebesar Rp 500.000 per bulan setiap keluarga sejauh ini belum diberikan karena masih diproses.
Selain bantuan dana tunggu hunian, penyintas gempa masih menunggu bantuan stimulan Rp 50 juta untuk warga yang rumahnya rusak berat, Rp 25 juta rusak sedang, dan Rp 10 juta rusak ringan.