Harapan Pupus di Ayunan Gelombang Sungai Musi
Deretan kapal cepat bersandar di dermaga, terombang-ambing gelombang Sungai Musi. Sama seperti rezeki para pengemudi kapal yang tengah goyah karena sepinya pemudik. Mereka mengais rezeki di tengah seretnya pemudik.
Di bawah Jembatan Ampera, Palembang, Sumatera Selatan, Dodong (65) duduk bersila di atap kapal cepatnya yang tengah sandar di dermaga Pasar 16 Ilir Palembang, Senin (10/5/2021). Kapal berukuran 5,5 meter x 2,5 meter itu terombang-ambing oleh gelombang Sungai Musi. Sama seperti rezekinya kini yang tengah goyah karena sepinya pemudik.
Selama 35 tahun bekerja sebagai pengemudi dan pemilik kapal cepat, Dodong merasa inilah Lebaran paling sepi baginya. ”Tidak ada penumpang yang mudik, pendapatan pun seret,” ucapnya.
Biasanya, pada momen Idul Fitri, dia bisa meraup pendapatan hingga Rp 9 juta per hari dari mengangkut penumpang pada tiga hari menjelang Lebaran. ”Kini untuk memenuhi kapal pun sulit,” ucapnya.
Tahun-tahun sebelumnya, pada tiga hari menjelang Lebaran, jumlah penumpang biasanya melonjak signifikan. Dari yang semula hanya 40 orang per hari pada hari normal menjadi 120 orang per hari. Warga yang hendak mudik ke daerah di sekitar Muara Telang yang berjarak 27 mil atau 43 kilometer dari Palembang membayar ongkos naik kapal cepat Rp 80.000 per orang.
Tahun ini, Dodong hanya bisa pasrah karena nyaris tidak ada warga yang mudik. Selama larangan mudik Lebaran, dermaga dijaga cukup ketat. Kapal dari Ditpolair Polda Sumsel terus berpatroli di sekitar dermaga. Kapal milik Dodong hanya sandar di dermaga tanpa bisa mengangkut penumpang.
Beruntung Dodong masih bisa memanfaatkan satu kapalnya lagi di dermaga lain yang hanya berjarak sekitar 500 meter dari dermaga 16 Ilir. Ketika ada penumpang yang bertanya, Dodong langsung mengarahkan mereka ke dermaga yang diizinkan.
”Jika tidak berlayar, kami tidak makan,” ujarnya.
Sulei (34), pengemudi kapal cepat lain, merasakan hal serupa. Kali ini pendapatannya turun hingga 50 persen.
”Bagaimana tidak, semua penumpang harus menjalankan protokol kesehatan. Biasanya satu kapal bisa mengangkut 30 orang sekarang hanya bisa 15 orang,” ucapnya. Agar tetap berlayar, Sulei pun harus mengikuti peraturan itu.
Untuk tahun ini, praktis tidak ada orang yang mudik. Sebagian besar penumpang kapal Sulei adalah warga sekitar perairan yang rutin ke Palembang untuk membeli barang atau berobat.
”Mereka tidak bisa mudik karena (transportasi) di darat pun dibatasi,” ucap Sulei. Namun, dia tetap bersyukur karena masih bisa mengarungi Sungai Musi untuk mengais rezeki.
Salah satu penumpang, Rusmin (53), warga Air Salek, Banyuasin, mengaku sudah dua tahun tidak kembali ke Semarang, Jawa Tengah, karena pandemi. Padahal, setiap tahun dia biasanya kembali ke sana untuk bersilaturahmi.
Jika tidak berlayar, kami tidak makan. (Dodong)
Dia tidak menyangka pembatasan mobilitas di Palembang begitu ketat. ”Kalau di jalur (kawasan perairan) tidak seketat di Palembang, semua normal-normal saja,” kata Rusmin.
Rusmin terkenang ketika setiap tahun banyak warga jalur itu yang kembali ke Jawa untuk mudik. Namun, sudah dua tahun terakhir jumlah pemudik berkurang karena pandemi.
Baca juga : Rindu ”Ngirup Cuko” dan Pempek Palembang
Marsono (52) merasakan hal serupa. Kondisi di tempat tinggalnya di Air Salek terasa lebih ramai karena banyak yang memilih tinggal di rumah. Tradisi saling mengunjungi tetap terjaga di sana.
Pada tahun 1990-an, Marsono datang ke Air Salek dari Bantul, DI Yogyakarta. Dia datang menyusul kedua orangtuanya yang sudah lebih dulu bermukim di sana pada 1980-an. ”Ya kami datang sebagai transmigran,” katanya.
Karena kondisi jalan di Air Salek yang belum baik, kebanyakan warga memilih jalur sungai dibandingkan dengan darat. ”Selain lebih nyaman, juga lebih cepat,” katanya.
Zona merah
Mobilitas di Palembang, baik di jalur darat maupun di perairan, memang dibatasi dan diperketat pengawasannya. Hal ini tidak lepas dari kondisi penularan Covid-19 di Palembang yang masih rentan atau berstatus zona merah.
Wakil Wali Kota Palembang Fitrianti Agustinda menyebut penjagaan di kawasan perairan menjadi prioritas dan mobilitasnya juga dibatasi. ”Tidak ada yang boleh masuk atau keluar dari Palembang tanpa melalui protokol kesehatan,” ujarnya.
Pos pengamanan pun dibangun di kawasan Pasar 16 Ilir yang menjadi salah satu pusat perekonomian di Kota Palembang. Banyak dari warga perairan yang memasok logistik dari tempat ini. Kebanyakan dari kapal itu mengangkut barang dan penumpang menggunakan kapal jukung dan kapal cepat menuju ke kawasan perairan.
Baca juga : Ditemukan di Empat Daerah Baru Virus Varian Baru Terus Ditelusuri di Sumsel
Pengamat perkotaan dari Universitas Indo Global Mandiri Palembang, Bambang Wicaksono, menuturkan, Sungai Musi memang menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Sumsel. ”Sungai menjadi bagian penting bagi kehidupan. Bahkan, menjadi pembentuk kehidupan,” katanya.
Masyarakat Sumsel bahkan pernah mengalami fase di mana sungai yang membentuk kehidupan, mulai dari permukiman, pertanian, hingga pergerakan ekonomi lainnya. Kondisi itu masih terasa sampai sekarang ketika transportasi sungai masih menjadi transportasi alternatif.
Tidak ada yang boleh masuk atau keluar dari Palembang tanpa melalui protokol kesehatan. (Fitrianti Agustinda)
Kepala Pos Pengamanan Terpadu Inspektur Polisi Dua Sugriwa Candra mengatakan, larangan mudik juga diberlakukan untuk penumpang yang ingin menggunakan kapal sebagai sarana transportasi. Jika ingin keluar-masuk Palembang, harus membawa dokumen yang dibutuhkan, yakni surat keterangan dan surat bebas Covid-19.
”Bagi mereka yang tidak menyertakan dokumen tersebut, tidak diperbolehkan melanjutkan perjalanan,” kata Sugriwa.
Walakin, untuk mengawasi semua pergerakan kapal cukup sulit karena keterbatasan petugas. Setidaknya kegiatan masyarakat dapat dikurangi dengan adanya kebijakan larangan mudik ini.
Epidemiolog dari Universitas Sriwijaya, Iche Andriyani Liberty, mengatakan, penyekatan secara ketat adalah salah satu cara untuk menghentikan penyebaran pandemi agar tidak meluas. Pengetatan dan ketaatan terhadap protokol kesehatan penting karena kondisi Sumsel kian mengkhawatirkan setelah masuknya virus varian baru B1617 yang serupa dengan jenis virus yang ada di India.
Muncul kekhawatiran virus ini sebenarnya sudah menyebar. Hal ini terlihat dari peningkatan kasus positif yang cukup signifikan di Sumsel dan angka kematian yang terus bertambah di beberapa daerah, seperti di Prabumulih, Muara Enim, Palembang, dan Ogan Komering Ulu Timur. Apalagi varian B117 dan B1617 memiliki daya tular lebih tinggi, 50-70 persen dibandingkan virus yang berasal dari Wuhan, China.
Dodong dan Sulei tidak menyalahkan situasi pandemi yang terjadi saat ini. Namun, satu harapan mereka, pandemi ini bisa berakhir sehingga saat Lebaran selanjutnya tiba mereka tidak hanya mengais rezeki, tetapi juga bisa memanennya seperti tahun-tahun sebelumnya.