Tujuh Petambang Emas Ilegal di Solok Selatan Tewas Tertimbun Longsor
Tujuh petambang emas ilegal di Solok Selatan, Sumatera Barat, ditemukan tewas tertimbun longsor. Satu petambang masih hilang, sedangkan sembilan lainnya ditemukan luka-luka.
Oleh
YOLA SASTRA
·5 menit baca
SOLOK SELATAN, KOMPAS — Tujuh petambang emas ilegal di Solok Selatan, Sumatera Barat, ditemukan tewas tertimbun longsor. Satu petambang masih hilang, sedangkan sembilan lainnya ditemukan luka-luka. Setidaknya 20 petambang emas ilegal tewas tertimbun pada tiga kejadian di kabupaten ini dalam dua tahun terakhir.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Solok Selatan Richi Amran di Padang Aro, Solok Selatan, Selasa (11/5/2021), mengatakan, longsor di sekitar lokasi tambang terjadi pada Senin (10/5/2021) sekitar pukul 07.30. Lokasi kejadian berada di tengah hutan lindung di Jorong Timbahan, Nagari Abai, Kecamatan Sangir Batanghari.
”Tim SAR gabungan mengevakuasi korban. Sampai kemarin (malam) ditemukan tujuh orang meninggal dan sembilan orang luka berat dan luka ringan. Ada satu korban lagi, diperkirakan meninggal, masih tertimbun di lokasi,” kata Richi, Selasa.
Berdasarkan data BPBD Solok Selatan, korban meninggal adalah Yasril, Buyung, Yuniadi, Ijal, At, Pak De, dan Catno. Sementara itu, korban luka-luka adalah Epi, Derri, Tomi, Ito, Eka, Fajrul, Abit, Mitro, dan Nova. Selain Pak De dari Kabupaten Dharmasraya, korban lain berasal dari Solok Selatan.
Adapun korban hilang atas nama Siman, warga Solok Selatan. Pantauan Kompas, Selasa pagi, puluhan warga berkumpul di rumah Siman di Jorong Sampu, Nagari Lubuk Gadang Utara, Kecamatan Sangir, untuk turut berbelasungkawa. Sementara itu, keluarga berharap evakuasi dilanjutkan dan Siman segera ditemukan.
Dari rumah Siman, tim SAR gabungan berangkat ke lokasi tambang emas ilegal tersebut untuk mengevakuasi Siman. Selain BPBD Solok Selatan, TNI-Polri, dan warga sekitar, pencarian hari kedua juga dibantu oleh Kantor SAR Padang. Petugas menggunakan alat berat petambang yang ada di sekitar lokasi.
”Evakuasi menggunakan dua alat berat yang ada di lokasi tambang. Satu ekskavator penggali, satu ekskavator pemecah bebatuan,” kata Inroni Muharramsyah, Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Solok Selatan.
Tiba-tiba di lokasi yang berbukit itu terjadi longsoran material tanah dan bebatuan dan menimbun lubang tambang di bawahnya.
Richi menjelaskan, saat kejadian, para petambang tersebut baru mulai beraktivitas. Tiba-tiba di lokasi yang berbukit itu terjadi longsoran material tanah dan bebatuan yang menimbun lubang tambang di bawahnya.
”Kondisi cuaca kemarin memang hujan dari (Minggu) malam sampai (Senin) pagi. Itu memengaruhi kondisi tanah menjadi labil. Bukit longsor dan menutupi lubang yang dibuat oleh petambang,” ujar Richi.
Menurut Richi, material bebatuan besar menyulitkan proses evakuasi korban hilang. Selain itu, alat berat yang biasa digunakan petambang di lokasi juga rusak sehingga tidak bisa digunakan optimal. Kendala lain, tak ada sinyal telepon seluler di tengah hutan itu.
Adapun akses ke lokasi sulit dijangkau karena medan ekstrem. Menurut Richi, perjalanan dari jalan raya terdekat berkisar 3-4 jam, dengan mobil gardan ganda berkisar 1-1,5 jam, dan jalan kaki berkisar 2-2,5 jam.
”Ini lokasi tambang emas ilegal. Pernah ditutup aparat keamanan dan tidak boleh dimasuki. Kejadiannya berulang. Ini kejadian kedua yang menyebabkan korban meninggal di lokasi sama,” kata Richi.
Camat Sangir Batanghari Gurhanadi mengatakan, lokasi kecelakaan tambang ini berada di kawasan yang sama dengan kejadian pada 11 Januari 2021. Pada 11 Januari, empat petambang meninggal, empat luka berat, dan satu luka ringan di sekitar lokasi tersebut.
Bekas masa kolonial
Menurut Gurhanadi, lokasi tambang merupakan bekas lokasi tambang emas pada zaman kolonial Belanda di tengah hutan belantara. Bekas lokasi tambang itu kemudian digali kembali oleh masyarakat untuk mencari emas.
”Mereka melakukannya diam-diam, masuk melalui jalan-jalan setapak. Kapan masuknya, kami tidak tahu. Pas kecelakaan, kami baru dapat informasi ada kegiatan di sana. Lokasinya sangat jauh dari permukiman,” kata Gurhanadi.
Secara terpisah, Kepala Kepolisian Resor Solok Selatan Ajun Komisaris Besar Tedy Purnanto mengatakan, kejadian bermula saat pekerja tambang berhenti beraktivitas untuk mencuci pasir emas. Kemudian, sekitar 60 anak ngarai (petambang emas tradisional dengan dulang) berbondong-bondong datang ke lokasi tersebut.
”Saat aktivitas anak ngarai berlangsung, terjadi longsor dari ngalau (gua) yang berada di samping lokasi tambang tersebut sehingga mengakibatkan mereka tertimbun oleh material longsor berupa batu karang atau cadas,” kata Tedy, Selasa.
Tedy menegaskan, aktivitas tambang tersebut tidak berizin atau ilegal. Tidak ada tambang emas rakyat di Solok Selatan yang memiliki izin. Polisi berulang kali menutup lokasi tambang emas ilegal di Jorong Timbahan tersebut, tetapi kembali muncul. Lokasi yang sulit dijangkau, tidak ada sinyal, serta tidak adanya petugas berjaga setiap hari, kata Tedy, menyulitkan polisi untuk menutup lokasi.
”Bulan April kemarin, awal puasa, kami menangkap dua orang dan dua alat berat di lokasi longsor itu. Lokasi pun steril. Sekarang, tiba-tiba ada lagi. Lokasi di tengah hutan. Setelah ditutup, ditinggal, muncul lagi. Mata pencarian mereka di sana,” ujarnya.
Walaupun demikian, Tedy mengatakan, ia dan jajarannya terus menyosialisasikan bahaya tambang emas ilegal. Tidak hanya termasuk perbuatan melawan hukum, tambang emas ilegal juga tidak aman dan membahayakan nyawa pekerjanya, seperti kecelakaan ini.
Kecelakaan tambang yang memakan korban jiwa bukan pertama kali terjadi di Kecamatan Sangir Batanghari. Dari catatan Kompas, setidaknya 20 orang tewas akibat tertimbun longsor di sekitar lokasi tambang emas ilegal di Sangir Batanghari.
Pada 18 April 2020, sembilan petambang emas tanpa izin tewas tertimbun longsor di Jorong Talakiak, Nagari Ranah Pantai Cermin, Kecamatan Sangir Batanghari (Kompas.id, 19/4/2020). Selain sembilan orang tewas, enam petambang lainnya juga luka-luka.
Menurut Gurhanadi, semua korban kecelakaan tambang di Jorong Talakiak merupakan warga Nagari Ranah Pantai Cermin. Mereka menambang di tengah hutan dekat bekas tambang emas Belanda zaman dulu dengan menggunakan mesin pompa air.Selanjutnya, pada 11 Januari 2021, empat petambang meninggal, empat luka berat, dan satu luka ringan akibat tertimbun longsor di Jorong Timbahan, lokasi yang sama dengan kecelakaan saat ini. Delapan petambang itu berasal dari Kabupaten Pati, Jawa Tengah, dan satu dari Lampung. Mereka kemungkinan masuk dari Dharmasraya, kabupaten tetangga Solok Selatan (Kompas.id, 13/1/2021).