Sembilan Petambang Emas Tewas Tertimbun di Solok Selatan
Sembilan petambang emas ilegal tewas tertimbun longsoran di Jorong Talakiak, Nagari Ranah Pantai Cermin, Kecamatan Sangir Batanghari, Solok Selatan, Sumatera Barat.
Oleh
YOLA SASTRA
·3 menit baca
PADANG, KOMPAS — Sembilan petambang emas ilegal tewas tertimbun longsoran di Jorong Talakiak, Nagari Ranah Pantai Cermin, Kecamatan Sangir Batanghari, Solok Selatan, Sumatera Barat. Semua jenazah telah dievakuasi warga dan dibawa ke rumah duka.
Camat Sangir Batanghari Gurhanadi, Minggu (19/4/2020) pagi, mengatakan, kejadian berlangsung di kawasan hutan pada Sabtu (18/4/2020) menjelang malam. Semua korban adalah warga Ranah Pantai Cermin, yaitu delapan laki-laki dan satu perempuan.
”Semua jenazah dievakuasi warga sekitar pukul 02.30. Warga menggali timbunan dengan dua mesin pompa air yang ada di sana. Sekarang, jenazah sudah berada di rumah duka,” kata Gurhanadi ketika dihubungi dari Padang.
Menurut Gurhanadi, korban mendulang emas di tengah hutan dekat bekas tambang emas Belanda zaman dulu. Di sekitarnya ada sungai-sungai kecil. Saat berada di dalam lubang tambang sedalam sekitar 8 meter, tiba-tiba tebing lubang runtuh dan menimpa mereka.
Ketika kelompok itu selesai bekerja sore hari, pendulang masuk mengambil material yang tersisa di lubang.
Selain sembilan korban meninggal, lanjut Gurhanadi, ada enam orang lagi yang selamat dengan kondisi luka-luka. Enam orang tersebut merupakan kelompok petambang yang bekerja menggunakan mesin pompa air di lubang itu. Mereka selamat karena telah selesai bekerja dan siap-siap pulang.
Gurhanadi menjelaskan, korban meninggal adalah pendulang yang bekerja secara individu. Mereka mendulang di lubang yang digali oleh kelompok petambang mesin pompa air. Ketika kelompok itu selesai bekerja sore hari, pendulang masuk mengambil material yang tersisa di lubang.
Secara terpisah, Kepala Kepolisian Resor Solok Selatan Ajun Komisaris Besar Imam Yulisdianto mengatakan sedang mendalami kasus tertimbunnya sembilan petambang ini. Namun, penyelidikan butuh waktu karena keluarga korban sedang dalam kondisi berduka.
”Pagi ini saya ke rumah duka menyampaikan belasungkawa dan sekaligus nanti melihat fakta fisik di lapangan. Prosedur olah TKP tetap dilakukan,” kata Imam.
Ketua Kelompok Pencinta Alam Winalsa, Abdul Aziz, mengatakan, secara umum, aktivitas tambang emas menggunakan ekskavator di Solok Selatan sudah berhenti sejak penindakan oleh polisi beberapa bulan terakhir. Namun, aktivitas tambang dengan menggunakan mesin pompa air ataupun alat dulang biasa masih ada.
”Saya dapat informasi, di daerah Talakiak dan sekitar bekas tambang Belanda, penambangan emas menggunakan mesin dompeng dan dulang tidak sepenuhnya dihentikan. Sebab, masih ada masyarakat yang bergantung hidup di sana,” kata Aziz.
Masih ada masyarakat yang bergantung hidup di sana.
Menurut Aziz, kehadiran pemerintah dalam mencarikan solusi ekonomi bagi petambang sangat dibutuhkan. Sejauh ini, belum tampak upaya pemerintah daerah terkait masalah tersebut sehingga masih ada warga yang nekat menambang emas.
”Beberapa kali di dalam diskusi grup terfokus yang diinisiasi Kapolres Solok Selatan, masih saja tokoh masyarakat meminta pelonggaran penegakan hukum. Ironis karena kebutuhan hidup sehari-hari dijadikan hal pembenaran tambang emas ini. Kalau telah memakan korban, siapa yang akan bertanggung jawab dan harus disalahkan atas insiden ini,” ujar Aziz.
Setidaknya sekitar dua tahun terakhir, tambang emas ilegal kembali marak di Solok Selatan. Dari penelusuran Kompas bersama tim Badan Nasional Penanggulangan Bencana pada 23-25 November 2019, aktivitas itu banyak ditemukan di Solok Selatan. Di beberapa lokasi, penggunaan merkuri yang berbahaya bagi kesehatan juga ditemukan dalam aktivitas tambang.
Tambang emas ilegal diduga turut berkontribusi terhadap berbagai bencana hidrometeorologi yang melanda Sumbar. Selain itu, sejumlah kajian perguruan tinggi juga menemukan cemaran merkuri di sungai yang ada kegiatan tambang emas ilegal, seperti Sungai Batanghari dan Sungai Batang Kuantan (Kompas, 3/12/2019).