Terminal Malalayang Manado yang sepi dua pekan sebelum Lebaran 2021 adalah absurd. Para sopir dan pengelola angkutan penumpang menjadi yang paling menderita.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
Waktu menunjukkan pukul 11.40 Wita, seharusnya Rommy (48) sudah setengah perjalanan menuju Desa Arakan, Minahasa Selatan, mengemudikan mobil angkutan kota yang penuh penumpang. Kamis (29/4/2021) itu, mobilnya masih terparkir di Terminal Malalayang Manado. Peluangnya membawa pulang lembar-lembar rupiah hampir pasti nihil.
Sejak pagi, hanya satu penumpang yang meminati trayek Manado-Arakan di Sulawesi Utara. Padahal, setiap mobil angkutan kota dalam provinsi (AKDP) itu bisa membawa 11 penumpang. Rommy mendapat antrean nomor dua untuk berangkat, sementara sopir pada urutan pertama belum mau berangkat jika mobilnya tidak terisi penumpang hingga penuh.
Menurut Rommy, yang bertahun-tahun menjadi sopir angkutan, kondisi terminal yang sepi dua pekan sebelum Lebaran adalah absurd. Lagi-lagi, dia, seperti semua orang, harus menyebut virus korona sebagai biangnya. ”Biasanya ramai (penumpang), ramai sekali. Sekarang, cuma sekali-sekali,” ujarnya,
Semasa normal, Rommy bisa bolak-balik Manado-Arakan yang terpaut 37,5 kilometer sebanyak dua atau tiga kali dalam sehari. Dengan tarif Rp 25.000 tiap penumpang, setorannya kepada pemilik mobil bisa melampaui Rp 300.000 setelah dipotong biaya bahan bakar dan uang makan. Upah bagi hasil bisa menyentuh Rp 150.000 per hari.
Namun, semasa normal baru, mengharapkan skenario yang sama sepertinya tidak mungkin. Sejak pagi, Rommy baru mendapat Rp 125.000 dari lima penumpang yang menuju ke Manado dari Arakan. Setelah dipotong bensin Rp 80.000, tersisa Rp 45.000.
Ayah dua anak itu pun memutuskan masih terus menunggu sampai ia merasa sudah cukup lama, itu bisa sampai petang bahkan hingga malam. Nantinya ia akan pulang ke Arakan meski tanpa penumpang. ”Nanti saya tinggal setor ke bos apa adanya. Bos biasanya bagi rata, buat dia Rp 20.000-an, buat saya Rp 20.000-an,” ujarnya.
Jasa angkutan tak resmi alias taksi gelap ternyata juga tak diminati. Uten (36), sopir rute Manado-Gorontalo, pun merelakan diri berdiam di rumah sambil membantu istrinya membuat dan berjualan takjil. Padahal, Gorontalo merupakan salah satu daerah tujuan mudik. ”Baru saja ada pesanan dari masjid dekat rumah. Lumayan, yang penting ada,” katanya.
Biasanya, rute pergi-pulang (PP) Manado-Gorontalo dapat ia tempuh dua sampai tiga kali sepekan. Kini ia makin gundah memikirkan larangan mudik selama 6-17 Mei 2021. Pintu perbatasan Sulut dan Gorontalo di Atinggola, Gorontalo Utara, akan ditutup. ”Ya sudah, sepertinya saya bakal diam di rumah. Mudik ke Gorontalo juga tidak bisa,” katanya.
Hal itu memang bisa diakali dengan surat bukti surat tugas atau alasan urusan lain seperti acara kedukaan, asalkan membawa surat tes bukti bebas Covid-19. Namun, Uten yakin syarat itu malah memberatkan penumpang.
Jika opsi para sopir terbatas, perusahaan otobus (PO), seperti PO Mega Mas, yang menghubungkan Manado dan Makassar, masih punya ruang untuk menggeser fokus bisnisnya ke pengantaran logistik. Berbagai jenis barang, seperti bahan makanan, ayam hidup, dan bahkan sepeda motor, bisa dikirim dengan bus itu.
Jantje Kumajas (48), pegawai di kios PO Mega Mas, mengatakan, layanan penumpang tetap berjalan meski kerap merugi. Kamis siang itu, misalnya, calon penumpang hanya empat orang. Dengan harga tiket Rp 500.000, biaya perjalanan Manado-Makassar, Sulawesi Selatan, Rp 5 juta kerap tak kembali.
Feibe Tinagari (41), karyawan administrasi di PO itu, menambahkan, mereka cukup beruntung karena perusahaan masih melayani pengiriman barang. Jasa angkutan penumpang untuk sementara tak bisa diharapkan.
Larangan mudik 6-17 Mei pun ia tanggapi dengan bersungut-sungut. ”Lebaran itu momen orang untuk bertemu keluarga setelah setahun kerja, Lebaran. Tapi, itu malah dihilangkan. Pemerintah bisa bikin kebijakan, tapi kami yang menggantungkan hidup dari persenan layanan PO ini kesusahan,” kata Feibe.
Kepala Terminal Malalayang Alfons Timbuleng mengakui, Covid-19 menghantam telak usaha jasa angkutan. Hampir semua kendaraan kini hanya terisi setengah kapasitasnya. Bus antarkota antarprovinsi (AKAP) yang masuk dan keluar terminal pun hanya tiga buah dari tiga PO dalam sehari.
Mobil-mobil angkot AKDP pun menghilang satu persatu. ”Di rute Manado-Tanawangko ada 32 mobil yang terdaftar, tetapi yang aktif tidak sampai segitu. Rute Manado-Tateli ada 29, tetapi yang aktif mungkin hanya setengahnya. Itu efek korona. Ada kelompok penumpang yang hilang, seperti anak sekolah,” kata Alfons.
Terminal Malalayang pun kehilangan riuh penumpang. Karena terbatasnya pemasukan, tak satu pun sopir atau pengelola PO mensterilkan kendaraan mereka dengan disinfektan. Jangankan surat bukti bebas Covid-19, protokol kesehatan pun hanya sebatas masker.
Alfons mengatakan, hal itu bukan kewenangannya, melainkan Balai Pengelola Transportasi Darat Sulawesi Utara di bawah Kementerian Perhubungan. Namun, tak ada aktivitas pengawasan protokol kesehatan sepanjang Kamis siang.
Di tengah keadaan itu, Alfons mengatakan, belum ada kebijakan keringanan retribusi atau semacamnya dari Dinas Perhubungan Kota Manado. Setiap bus AKAP tetap dikenai retribusi sebesar Rp 7.000 tiap masuk terminal, sedangkan mobil-mobil AKDP sebanyak Rp 2.000. ”Yang AKDP selama ini hanya kami kenakan sekali bayar per hari, bukan tiap masuk ke terminal,” katanya.
Kini pemerintah berupaya mencegah gelombang mudik. Kepala Polda Sulut Inspektur Jenderal Nana Sudjana mengatakan akan mengadakan Operasi Ketupat dengan tujuan menciptakan Hari Raya Idul Fitri yang aman, tertib, dan kondusif. ”Kita seriusi kebijakan ini demi mencegah timbulnya kluster baru penyebaran Covid-19,” kata Nana.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sulut Komisaris Besar Jules Abraham Abast mengatakan, perbatasan dan pintu masuk-keluar Sulut akan dijaga. Beberapa di antaranya Bandara Sam Ratulangi, Pelabuhan Manado, Pelabuhan Bitung, dan perbatasan Bolaang Mongondow Utara-Gorontalo.
”Polres di kabupaten/kota masing-masing akan akan ikut memperkuat penyekatan. Ini adalah tindak lanjut kami akan larangan mudik dari pemerintah,” kata Jules.
Waktu terus berlalu hingga pukul 13.52 Wita, dan Rommy pun masih melamun sambil bersandar di atas kap mesin mobilnya. Mobil pada giliran pertama yang berada di depannya belum juga berangkat dari Terminal Malalayang Manado. Rommy pun semakin yakin tak akan ada lagi tambahan pemasukan. Ia bakal pulang dengan Rp 45.000 yang tersisa di kantongnya.