Sopir dan Kernet Menggantung Asa di Kala Paceklik ”Mudik”
Larangan mudik yang diberlakukan pemerintah untuk menekan penyebaran Covid-19 membuat sejumlah pekerja di bidang transportasi merugi. Mereka berharap tidak ada lagi larangan mudik pada tahun-tahun berikutnya.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Ungkapan itu cocok untuk menggambarkan kondisi para sopir dan kernet angkutan umum yang saat belum sepenuhnya bisa bangkit dari hantaman pandemi Covid-19 sudah harus dihajar oleh larangan mudik.
Dua pekan jelang Lebaran biasanya menjadi waktu-waktu tersibuk para sopir dan kernet bus antarkota antarprovinsi (AKAP) di Terminal Dukuhsalam, Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Pada waktu-waktu tersebut, para sopir dan kernet hampir tidak punya waktu untuk pulang. Mereka lebih banyak berada di jalanan, menjemput para perantau yang hendak mudik.
Dalam sepekan, misalnya, para sopir dan kernet bisa bolak-balik Tegal-Jakarta, tiga hingga empat kali. Kalau sedang banyak penumpang, pergi-pulang dalam sehari pun tetap dijalani.
Baca juga : Makin Terpuruk, Pengusaha Bus di Tegal Minta Larangan Mudik Dikaji Ulang
Kesibukan para sopir dan kernet seperti itu sudah dua tahun ini tidak terlihat di Terminal Dukuhsalam. Terminal yang biasanya disinggahi belasan ribu penumpang dalam sehari itu kini lengang. Tidak ada riuh pedagang menawarkan dagangan, tak ada pula pekik sopir angkutan dalam kota atau tukang becak yang menawarkan jasanya untuk mengantar pemudik dari terminal ke rumahnya masing-masing.
Taufik (35) duduk tertunduk di salah satu sudut Terminal Dukuhsalam, Jumat (23/4/2021) petang. Pria yang sudah sebelas tahun belakangan menjadi sopir bus AKAP itu mengaku sudah lima hari tidak pulang. Bukan karena sibuk mengantar-jemput pemudik, Taufik tidak berani pulang karena tidak memiliki uang sepeser pun.
”Saya tidak berani pulang, soalnya tidak bawa uang. Bus saya gagal berangkat ke Jakarta karena penumpang cuma tiga orang. Ini sudah hari keempat saya gagal berangkat,” tutur Taufik lesu.
Sejak pandemi, bus berkapasitas 60 orang yang dikemudikan Taufik lebih sering terparkir di pul bus atau di terminal. Alasannya, jumlah penumpang yang bisa didapatkannya selalu kurang dari 15 orang. Untuk bisa menutup biaya operasional dan biaya setoran, Taufik dan kernetnya perlu mengangkut sedikitnya 15 penumpang.
Sejak pekan kedua April, mengangkut 15 penumpang menjadi hal sulit bagi Taufik. Dalam sehari, rata-rata Taufik hanya bisa mendapat 10 orang. Padahal, sepekan sebelum puasa sering dipilih perantau sebagai waktu untuk pulang kampung. Taufik menduga, menurunnya animo masyarakat untuk melakukan perjalanan pada Ramadhan tahun ini dipicu oleh adanya pengumuman larangan mudik dari pemerintah.
Normalnya, Taufik mampu membawa uang Rp 900.000 dalam sepekan. Jelang Lebaran, jumlah uang yang dihasilkannya biasanya meningkat hingga Rp 1,2 juta-Rp 1,5 juta dalam sepekan. Sejak pandemi, pendapatan ayah dari dua anak itu tidak menentu. Taufik bahkan pernah hanya bisa membawa pulang uang sebanyak Rp 130.000 dalam sepekan. Kondisi itu disebut Taufik sebagai yang terburuk dalam sebelas tahun terakhir.
”Kalau sedang ada yang butuh jasa buruh tani, saya biasanya mburuh. Kalau tidak ada (yang butuh buruh), biasanya terpaksa berutang,” kata Taufik.
Nestapa serupa dialami oleh Ade (20), kernet bus pariwisata yang sejak pandemi banting setir menjadi kernet bus AKAP di Tegal. Sejak tempat wisata ditutup untuk menekan penyebaran Covid-19, Ade dan para awak bus pariwisata lainnya terpaksa menganggur.
Karena tidak sanggup menganggur terlalu lama, Ade memutuskan untuk mengajukan diri agar bisa pindah ke bus AKAP. Awalnya, Ade mengira dirinya bisa mendapat peluang lebih baik jika bekerja di bus AKAP. Setelah dijalani, ternyata sama saja, malah lebih parah.
Baca juga : Nekat Angkut Pemudik ke Tegal, Mobil Travel Gelap Bakal ”Dikandangkan”
”Saat itu saya pikir kalau (menjadi kernet di) bus AKAP masih bisa dapat (uang) sedikit-sedikit tapi rutin. Setelah saya pindah, ternyata tidak seperti yang saya bayangkan,” ucap Ade.
Saat bekerja menjadi kernet bus pariwisata, pendapatan Ade berkisar Rp 500.000-Rp 700.000 per minggu. Setelah berpindah ke bus AKAP, uang yang dihasilkan paling banyak Rp 500.000 per pekan.
”Semoga pemerintah memikirkan nasib kami rakyat kecil yang sudah dua kali Lebaran ini merugi. Padahal, biasanya Lebaran menjadi momen kami mengumpulkan rezeki lebih,” kata Ade.
Tak hanya oleh sopir dan kernet bus AKAP, adanya larangan mudik juga dikeluhkan sejumlah sopir angkutan dalam kota. Mudik Lebaran diharapkan para sopir angkutan dalam kota menjadi momen meraup penumpang. Sebab, selama pandemi, sejumlah orang lebih memilih untuk naik kendaraan pribadi saat harus bepergian di dalam kota.
Sementara itu, target penumpang kedua angkutan kota, yakni pelajar, juga tidak bisa lagi diangkut selama pandemi. Untuk mengurangi penyebaran Covid-19, pelajar diharuskan belajar secara daring di rumah. Hal itu membuat peluang angkutan kota untuk mendapatkan penumpang lebih kecil.
”Sekarang ini memang sudah ada (pelajar) yang belajar di sekolah, tetapi mereka dilarang naik angkutan kota. Katanya supaya tidak tertular Covid-19 saat di perjalanan,” ucap Nurdin (30), sopir angkutan dalam kota di Tegal.
Protokol kesehatan
Nurdin mengungkapkan, dirinya sudah berupaya untuk menerapkan protokol kesehatan di angkutan kota yang ia kendarai. Sebelum naik ke angkutan kota, Nurdin selalu meminta penumpang memakai masker dan membersihkan tangan dengan gel pembersih tangan yang dipasang di dekat pintu masuk angkot.
Hal serupa dilakukan di bus yang dikendarai Taufik maupun bus yang diawaki Ade. Sejak pandemi, mereka berupaya menerapkan protokol kesehatan untuk menekan risiko paparan Covid-19. Salah satu caranya dengan menyediakan masker gratis untuk penumpang dan menyiapkan sebotol gel pembersih tangan yang bisa digunakan penumpang.
Sebelum berangkat, bagian dalam bus selalu disemprot cairan disinfektan, begitu pula saat tiba di terminal tujuan. ”Kursi, jendela, dan gorden disemprot disinfektan semua. Setelah itu dilap pakai air sabun. Terus, lantai bus juga dipel sebelum berangkat, baik ke Jakarta maupun saat akan kembali ke Tegal,” tutur Ade.
Ade dan Taufik tidak memeriksa suhu tubuh penumpang atau meminta penumpang menunjukkan surat negatif Covid-19. Taufik beralasan, pemeriksaan suhu tubuh sudah dilakukan petugas terminal sebelum penumpang masuk ke area terminal.
”Tidak disuruh bawa surat bebas Covid-19 saja sudah enggak ada yang mau naik, apalagi kalau diharuskan bawa surat (hasil tes Covid-19). Yang penting semuanya sehat, lalu saat di bus semua pakai masker,” tutur Taufik.
Menurut Ade dan Taufik, tidak ada penerapan jarak antarpenumpang saat di dalam bus. Alasannya, jumlah penumpang tidak pernah menyentuh 50 persen dari kapasitas. Hal itu memungkinkan para penumpang duduk berpencar sesuai keinginan mereka.
Baik Nurdin, Ade, maupun Taufik masih berharap, larangan mudik yang ditetapkan pemerintah pada 6-17 Mei nanti bisa dicabut. Mereka lebih setuju apabila syarat perjalanan diperketat, bukan melarang perjalanannya. ”Kalau mau melarang, ya, seharusnya kami diperhatikan. Paling tidak kami diberi bantuan,” ucap Taufik.
Terdampak
Tidak hanya Taufik, Ade, dan Nurdin, berdasarkan data Organisasi Angkutan Darat Daerah (Organda) Tegal, sedikitnya 700 sopir bus dan kernet di wilayahnya terdampak oleh kebijakan larangan mudik. Ketua Organda Tegal Kusmuwanto meminta pemerintah memberikan bantuan berupa uang kepada para sopir bus dan kernet.
Sementara itu, di Brebes, Perusahaan Otobus Dedy Jaya harus merumahkan 1.700 orang dari total 5.400 karyawannya. Mayoritas yang dirumahkan adalah awak bus dan agen penjualan tiket.
Pemilik Perusahaan Otobus Dedy Jaya, Muhadi Setiabudi, mengungkapkan, sejak diterpa pandemi, jumlah bus Dedy Jaya yang beroperasi paling banyak 40 bus dalam sehari. Sementara itu, rata-rata jumlah penumpang dalam satu bus maksimal 30 persen dari kapasitas.
Padahal, dalam kondisi normal, setidaknya 160 bus miliknya beroperasi setiap hari. Satu bus mampu mengangkut 80-90 persen dari kapasitas. Saat mendekati Lebaran, jumlah penumpang bus selalu penuh. Agar tidak kehabisan tiket, penumpang harus memesan tiket sejak jauh-jauh hari.
Muhadi berharap, pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan larangan mudik tahun ini. Jika larangan mudik tetap diberlakukan, Muhadi memperkirakan akan semakin banyak pekerjanya yang harus dirumahkan.
”Mudik Lebaran bisa menjadi salah satu momentum bagi pengusaha transportasi, pemilik rumah makan, penjual oleh-oleh, dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah untuk membangkitkan perekonomian yang lesu akibat pandemi. Kalau mudik dilarang lagi, pemulihan ekonomi bakal terhambat,” kata Muhadi.
Setuju
Untuk menguatkan kebijakan larangan mudik, Menteri Perhubungan mengeluarkan Peraturan Nomor 13 Tahun 2021 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Idul Fitri 1442 Hijriah. Dalam peraturan tersebut, pengoperasian sarana transportasi penumpang moda darat, laut, udara, dan perkeretaapian dibatasi selama masa larangan mudik, yakni 6-17 Mei. Hanya masyarakat yang sedang dalam perjalanan dinas dan atau berada dalam kondisi darurat yang boleh melakukan perjalanan antardaerah.
Pemerintah daerah di Tegal dan Brebes setuju dengan adanya kebijakan tersebut. Kendati larangan mudik berpotensi merugikan masyarakat dari segi ekonomi, kebijakan itu dinilai penting untuk mengendalikan penyebaran Covid-19 di daerah.
Bupati Tegal Umi Azizah, misalnya, mengimbau warganya yang merantau untuk tidak mudik. Sebab, sebulan terakhir mulai ada tren kenaikan kasus Covid-19 di wilayahnya.
Pada Januari-Maret, jumlah kasus Covid-19 di Tegal melandai. Namun, memasuki April, kasus positif Covid-19 baru kembali bertambah mencapai 105 kasus dalam sepekan. Tren kasus kematian juga bertambah dari rata-rata satu-dua orang per minggu menjadi lima orang dalam seminggu terakhir.
”Pada prinsipnya, Pemerintah Kabupaten Tegal akan selalu memberikan pemahaman dan sosialisasi bahwa kebijakan yang diputuskan pemerintah pusat itu tidak lain demi masyarakat karena saat ini Covid-19 belum reda. Saya sangat berharap masyarakat memahami,” tutur Umi.
Di Kabupaten Tegal, ada sekitar 90.000 orang yang merantau ke sejumlah daerah, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Semarang. Rata-rata perantau asal Tegal membuka usaha, bekerja di perusahaan swasta, dan bekerja di sektor informal.
Adapun Pemerintah Kabupaten Brebes juga mendukung adanya pelarangan mudik. Sekretaris Daerah Brebes Djoko Gunawan menuturkan, pihaknya sudah menerbitkan surat edaran Bupati Brebes terkait perpanjangan penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat berskala mikro yang di dalamnya juga mengatur tentang larangan mudik.
”Setiap desa diharapkan menyediakan satu tempat karantina terpusat untuk orang-orang yang dengan kondisi tertentu terpaksa mudik. Pemudik diwajibkan menjalani karantina minimal 5 x 24 jam sejak kedatangannya serta menanggung seluruh biaya karantina,” kata Djoko.
Menurut Djoko, satuan tugas Covid-19 desa dan satuan tugas Jogo Tonggo akan memantau pergerakan pemudik. Setiap pemudik yang tiba diminta menunjukkan, antara lain, surat negatif Covid-19 berdasarkan tes antigen atau tes usap dan surat izin perjalanan dari tempat bekerja atau pejabat setingkat lurah/kepala desa di tempat rantau. Berdasarkan data pemudik Brebes tahun 2020, sebanyak 103.516 orang mudik ke Brebes selama libur Idul Fitri 2020.
Semoga ikhtiar pemerintah melalui kebijakan larangan mudik bisa mengendalikan penularan Covid-19 di Indonesia sehingga tahun depan knalpot-knalpot bus dan angkutan umum bisa kembali mengebul di arus mudik Lebaran tahun 2022. Dan semoga Ade, Nurdin, Taufik, serta awak bus atau angkutan umum tidak harus kehilangan kesempatan meraup rupiah lebih untuk yang ketiga kalinya.