Kebijakan Larangan Mudik untuk Cegah Bencana Kesehatan
Larangan mudik bertujuan untuk mencegah risiko kesehatan yang lebih besar. Oleh karena itu, warga diharapkan mengikuti anjuran pemerintah untuk tidak mudik Lebaran 2021.
Oleh
Erika Kurnia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan larangan mudik menjadi suatu hal yang krusial dan harus dipahami oleh semua pihak. Sekalipun ada pihak yang dirugikan karena kebijakan ini, sebaiknya hal ini tetap dipahami sebagai konsekuensi dari upaya mitigasi risiko bencana kesehatan yang lebih besar.
Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PDI-P, Rahmad Handoyo, Jumat (30/4/2021), di Jakarta, menuturkan, belajar dari India, setiap aktivitas keagamaan atau sosial yang berpotensi menimbulkan kerumunan harus ditiadakan untuk mencegah risiko penularan. Peristiwa masifnya penularan Covid-19 di India menunjukkan adanya kelengahan warga yang tidak mau menerapkan protokol kesehatan, dan kerap berkerumun dengan berbagai alasan, termasuk untuk kepentingan ritual.
”Protokol kesehatan saya anggap menjadi harga mati. Satu-satunya upaya yang paling efektif itu saat ini hanya protokol kesehatan, karena obat belum ada, vaksin pun belum optimal,” katanya.
Kebijakan larangan mudik mesti didukung. Pelarangan mudik dilakukan justru untuk menyelamatkan Indonesia dari bencana penularan Covid-19 yang masif seperti terjadi di India. ”Saya paham suasana masyarakat ingin pulang, ingin ketemu orang tua. Tetapi, kalau pemerintah sudah mengambil keputusan, ayo kita dukung. Pemerintah pasti akan memberikan yang terbaik. Mari kita berkaca kepada India,” ujarnya.
”Hal-hal yang tengah dijajaki antara lain permintaan relaksasi pembayaran pinjaman, di mana kewenangan ini ada pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Keuangan,” kata Adita kepada Kompas, Senin (26/4/2021), dari Jakarta.
Pengajuan kompensasi atau relaksasi tersebut dilakukan bersamaan dengan kembali diperketatnya mobilitas orang selama periode mudik Lebaran 2021. Hal ini sesuai arahan Presiden Joko Widodo dalam Surat Edaran Kepala Satgas Penanganan Covid-19 Nomor 13 Tahun 2021.
Pemerintah melakukan pelarangan penggunaan atau pengoperasian sarana transportasi untuk keperluan mudik pada masa pelarangan mudik tanggal 6-17 Mei 2021. Aturan dikecualikan untuk layanan distribusi logistik dan angkutan barang.
Kemudian, pengecualian juga berlaku bagi pelaku perjalanan dengan keperluan mendesak untuk kepentingan nonmudik, seperti bekerja atau perjalanan dinas, kunjungan keluarga sakit, kunjungan duka anggota keluara meninggal, kepentingan medis, dan kepentingan lain yang dilengkapi surat keterangan dari kepala desa atau lurah setempat.
Aturan juga tidak berlaku untuk angkutan yang melayani mobilitas harian masyarakat lintas kabupaten dan provinsi di kawasan aglomerasi atau perkotaan.
Adapun sebelum dan sesudah masa pelarangan mudik, pemerintah juga tetap memperketat syarat pelaku perjalanan dalam negeri yang berlaku pada 22 April-5 Mei (sebelum Lebaran) dan 18-24 Mei 2021 (sesudah Lebaran).
Pengetatan dilakukan dengan dengan memperketat syarat perjalanan penumpang, yaitu hasil tes Covid-19, baik tes usap PCR atau antigen yang berlaku 1 x 24 jam dari jam keberangkatan maupun surat keterangan hasil tes negatif GeNose C19 di bandar udara, pelabuhan, dan stasiun sebelum keberangkatan.
”Sedangkan transportasi darat, termasuk kendaraan pribadi, penumpang diimbau melakukan tes dan dimungkinkan untuk dilakukan tes acak di rest area atau di titik penyekatan,” kata Adita.
Solusi jangka menengah
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiadi, yang dihubungi terpisah, mengatakan, proses tersebut juga melibatkan operator angkutan jalan. Usulan yang disampaikan pun bukan hanya terkait larangan mudik Lebaran pada 6-17 Mei 2021.
Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan (Organda) Ateng Haryono mengatakan, kepada pemerintah, mereka menyampaikan situasi industri angkutan jalan setahun terakhir serta kembali mengusulkan insentif bantuan dengan perhitungan yang lebih jelas.
”Kita tidak hanya membahas dampak larangan mudik, tetapi lebih dari itu. Sejak awal pandemi, industri angkutan jalan diatur dengan berbagai pembantasan dan hingga saat ini kami masih merugi karena kurangnya pergerakan orang ataupun barang,” katanya, dihubungi terpisah.
Selama pandemi, kapasitas angkutan darat dibatasi hanya 50-60 persen. Sayangnya, rata-rata okupansi hanya 30 persen, terlebih saat pembatasan sosial diperketat. Sementara itu, angkutan logistik yang tidak dibatasi juga masih lemah permintaannya. Dalam situasi tersebut, angkutan dipastikan tidak bisa memaksimalkan pendapatan.
Padahal, pengeluaran operasional sekalipun tidak beroperasi terbilang besar. Biaya-biaya tersebut antara lain biaya karyawan, pajak kendaraan, parkir, asuransi, biaya uji kendaraan, dan biaya penyusutan lain. Sopir dan kondektur yang banyak mengandalkan pendapatan harian juga paling terdampak.
Ateng mencontohkan, operator bus antarkota antarprovinsi (AKAP) yang totalnya mencapai 26.500 unit memiliki pengeluaran Rp 12 triliun setahun, sedangkan taksi yang lebih sedikit bisa mencapai Rp 2 triliun setahun.
”Biaya pengeluaran ini tidak akan ter-cover jika pergerakan masih dibatasi karena pandemi. Maka dari itu, kami butuh campur tangan pemerintah,” ujarnya.
Pemerintah diharapkan segera mengeluarkan kebijakan untuk industri angkutan jalan, yang berlaku setidaknya setahun ke depan. Bantuan tidak hanya akan berdampak bagi 50-60 persen angkutan jalan yang beroperasi di Jawa dan Sumatera, tetapi juga di seluruh Indonesia.