Ironi Tragedi Berulang Tumpahan Minyak di Karawang
Terulang dalam dua tahun terakhir, mitigasi dan pemulihan harus menjadi kunci penambangan minyak lepas pantai Pertamina. Dampaknya bisa semakin merugikan banyak pihak apabila tanpa solusi yang tepat.
Insiden tumpahan minyak terjadi lagi di perairan Karawang, Jawa Barat. Belum pulih dari luka sebelumnya, pesisir utara Karawang kembali diuji. Mitigasi dan pemulihan dampak insiden itu menjadi prioritas.
Tumpahan minyak (oil spill) hitam pekat tersebar di sejumlah titik pantai utara Karawang, Jawa Barat, Sabtu (24/4/2021) siang. Tumpahan itu mengotori pasir pantai hingga bebatuan tepi pantai dan akses jalan di sekitarnya. Bentuknya ada yang cair. Sebagian lagi memadat. Baunya menyengat. Embusan angin laut membuat bau itu mudah tersebar ke mana-mana.
Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) mengakui ada kebocoran pipa di area BZZA pada Kamis (15/4/2021). Area itu sekitar 15 mil dari bibir pantai Karawang.
Dalam kunjungannya ke salah satu titik terdampak di Pantai Cemarajaya, Kecamatan Cibuaya, Bupati Karawang Cellica Nurrachadiana menyebutkan, tumpahan kali ini berasal dari kebocoran salah satu pipa di lepas pantai.
”Kami memberi deadline agar masalah ini tidak berlarut, maksimal tiga minggu untuk pembersihan. Jika sudah beres, pemulihan lingkungan akan dilakukan sesuai kajian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” kata Cellica.
Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno mengatakan, penyebab kebocoran pipa minyak kali ini adalah korosi internal pipa. Pipa itu disebut sudah berumur. Sejauh ini tidak ditemukan tanda-tanda kerusakan eksternal pipa.
Akibat kejadian ini, prakiraan kehilangan produksi akibat kebocoran minyak sekitar 6.000 barel per hari. Hingga kini jumlah tumpahan minyak yang telah dikumpulkan sedikitnya ada 10 barel.
”Pekerjaan perbaikan pipa dengan pemasangan clamp masih berlangsung. Saat ini sudah mencapai 80 persen,” ujarnya.
Manager Communications Relations & CID PHE ONWJ Hari Setyono menyatakan telah memperbaiki pipa sehingga dipastikan tidak ada lagi ceceran minyak yang keluar. Tim penanganan juga mengerahkan beberapa kapal untuk melakukan pembersihan minyak di area laut. Pemantauan laut dan udara terus dilakukan mengikuti trajektori model tumpahan minyak (MOTUM), termasuk fasilitas produksi PHE ONWJ dan area potensial lainnya.
Kejadian ini jelas bukan yang pertama. Tumpahan minyak pernah menyelimuti perairan Karawang pada 12 Juli 2019. Kala itu, tumpahan minyak berasal dari pengeboran sumur YYA-1 area PHE ONWJ. Kebocoran di YYA-1 dihentikan pada September 2019. Air laut yang tercemar mengganggu kehidupan laut hingga berpengaruh pada kualitas air yang digunakan petambak udang dan ikan.
Kami memberi deadline agar masalah ini tidak berlarut, maksimal tiga minggu untuk pembersihan. Jika sudah beres, pemulihan lingkungan akan dilakukan sesuai kajian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Endi Muhtarudin (63), petambak di Desa Sungai Buntu, merasakan derita itu. Dia rugi miliaran rupiah akibat panen dini. Pascainsiden itu, kolam tambak udangnya dipanen dini secara bertahap. Seharusnya udang tersebut dipanen akhir Agustus.
Idealnya satu kolam seluas 2.500 meter persegi menghasilkan 7-8 ton udang dengan harga jual Rp 105.000 per kilogram untuk ukuran 30 ekor per kg. Namun, panen dini kemarin hanya menghasilkan 1-3 ton udang dengan harga jual Rp 38.000-Rp 50.000 per kg.
Kerugian untuk satu kolam udang panen dini pun mencapai ratusan juta rupiah. Jika dikalkulasikan dengan jumlah kolam yang ada, kerugian totalnya menembus miliaran rupiah.
Rentetan kejadian ini nyaris membuat Endi putus asa. Apalagi, hingga kini dia menyatakan belum mendapatkan kompensasi dari PHE ONWJ. Padahal, dia sudah merogoh banyak uang untuk menutup kerugian hingga memulihkan kualitas dasar tambak yang mencapai miliaran rupiah.
”Saya sampai tiga kali menyemprot dan menimbun pasir baru pada dasar tambak. Biayanya tidak sedikit,” ucap Endi.
Baca juga: Tumpahan Minyak di Perairan Karawang Dicegah ke Daratan
Kemunculan tumpahan minyak ini membuat sejumlah warga khawatir dengan pemulihan alam yang berkorelasi pada usaha di pesisir utara. Kompensasi uang yang diberikan rasanya tak akan pernah sebanding dengan kerugian jangka panjang pada ekosistem sekitar.
Sekretaris Forum Komunitas Daerah Sungai Citarum (Forkadas+C) Yuda Febrian Silitonga pada September 2019 mengatakan, peristiwa tumpahan minyak di Sumur YYA-1 di lepas pantai Tempuran-Karawang sejauh 7 mil laut menimbulkan kekhawatiran terjadi pencemaran lingkungan di pesisir Karawang dan Bekasi.
Menurut Yuda, minyak akan mengalami serangkaian perubahan, pelapukan, atau peluruhan terhadap sifat fisik dan kimiawi di lingkungan laut. ”Dampak limbahnya menunjukkan pengaruh negatif bagi lingkungan pesisir dan perairan laut, khususnya jika ada kontak langsung dengan organisme perairan,” ucapnya.
Yuda menambahkan, lokasi sumur YYA-1 memiliki jarak yang tidak terlampau jauh dari dua gugus terumbu di perairan Karawang, yaitu gugus terumbu Ciparage dan Sendulang. Terumbu karang Sendulang memiliki enam gugus terumbu dan terumbu karang Ciparage memiliki lima gugus terumbu dengan total luas 121,67 hektar.
Jenis terumbu karang yang ada di perairan Karawang merupakan jenis gugusan karang gosong (patch reefs) yang merupakan karang yang tumbuh dari dasar laut sampai permukaan laut dalam kurun waktu yang lama.
Pemulihan lingkungan menjadi salah satu prioritas yang harus dilakukan segera. Pada pertengahan Juli 2019, empat bangkai lumba-lumba ditemukan di pesisir utara Karawang, Jawa Barat, setelah insiden kebocoran anjungan lepas pantai YYA-1 di Blok PHE ONWJ. Bangkai lumba-lumba ditemukan nelayan dan aktivis lingkungan dalam kurun waktu yang berbeda tahun 2019.
Baca juga: Jurus Mengatasi Tumpahan Minyak
Bangkai pertama ditemukan di dekat Sungai Buntu, Kecamatan Pedes, Senin (15/7/2019). Akhir Juli ditemukan lagi bangkai lumba-lumba. Pada 17 Agustus 2019 ditemukan bangkai lumba-lumba ketiga di muara Sungai Cilebar, Desa Pusakajaya Utara, Kecamatan Cilebar, Karawang. Terakhir, bangkai ditemukan pada 5 September 2019 di kawasan Pantai Pelangi, Kecamatan Pedes, Karawang.
”Tahun 2012 ada paus terdampar di pantai, tetapi akibat surutnya air laut,” ujar perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Karawang Erik Ramdani pada September 2019.
Ekosistem terganggu
Menurut, peneliti pencemaran laut dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Muhammad Reza Cordova, laut tercemar limbah tumpahan minyak dapat berpengaruh terhadap kehidupan ikan dan ekosistem di dalamnya. Pada saat terekspos tumpahan minyak langsung, ikan bisa langsung pergi menjauhi tumpahan minyak tersebut. Namun, minyak yang tercampur di kolom air akan membuat ikan terpapar secara tidak langsung.
Hal ini bisa mengganggu pertumbuhan ikan. Selain itu, dapat membuat ukuran hatinya bengkak, mengubah detak jantung, laju respirasi atau pernapasan, mengganggu kerja sirip, dan mengganggu kesehatan reproduksi ikan.
Dampak limbahnya menunjukkan pengaruh negatif bagi lingkungan pesisir dan perairan laut, khususnya jika ada kontak langsung dengan organisme perairan.
Posisi minyak adalah di permukaan air, tetapi karena jumlahnya yang banyak, terkena arus, dan gelombang, dapat bercampur dengan air. Minyak yang tercampur ini berada di beberapa lokasi, mulai dari permukaan, kolom air, hingga ke dasar perairan.
Minyak yang telah sampai ke dasar dan terakumulasi di sedimen dapat membuatnya lebih beracun. Hal itu disebabkan bentuk crude oil-nya berubah bentuk molekulnya.
Minyak juga memberikan dampak buruk pada terumbu karang, lamun (tumbuhan yang hidup di laut dangkal), dan mangrove. ”Minyak yang menutupi permukaan individu karang, lamun, atau mangrove dapat memicu stres sehingga ekosistem akan terganggu. Jika ekosistem laut terganggu, otomatis ikan akan pergi atau mati,” ucap Reza.
Terkait dengan pemulihan ekosistem, Reza menyarankan, proses pembersihan laut harus bersih dulu dari minyak karena minyak akan menghalangi difusi oksigen dari udara ke air atau sedimen yang terkena dampak pencemaran. ”Dibersihkan harus total agar tidak terendap yang akhirnya bisa terakumulasi di biota,” ucapnya.
Terkait dengan pemulihan lingkungan ke depan, Corporate Secretary Pertamina Subholding Upstream Whisnu Bahriansyah menyampaikan, pihaknya akan berkomitmen memulihkan lingkungan akibat tumpahan minyak. Saat ini, pihaknya masih fokus melakukan pembersihan dan investigasi penyebab kebocoran pipa.
Mitigasi yang baik sangat dibutuhkan guna mengurangi dampak yang mungkin terjadi. Insiden ini tak boleh terulang lagi karena bisa berdampak panjang pada ekosistem sekitar.
Baca juga: Hidup-mati Kami Bergantung dari Laut