Hidup-Mati Kami Bergantung dari Laut
Ada ragam dampak yang muncul saat minyak tumpah menggenangi lautan. Bagi sebagian orang, hidup tidak akan pernah mudah lagi saat semuanya terus terjadi.
Sebagian warga pesisir utara Karawang, Jawa Barat, kini terpuruk. Di tengah pandemi hingga cuaca buruk, mereka kembali "terpeleset" tumpahan minyak.
Bau menyengat menusuk hidung Yani (56), nelayan asal Desa Cemarajaya, Kecamatan Cibuaya, Karawang, Kamis (22/4/2021) malam. Seketika wajahnya cemas. Yani tahu benar bau seperti ini.
Dua tahun lalu, bau inilah yang membuat hidup Yani dalam kekhawatiran. Tidak bisa melaut adalah petaka terbesar. Padahal, laut adalah satu-satunya sumber kehidupan dia dan keluarganya.
Keesokan harinya, dugaannya tidak keliru. Bau itu berasal dari tumpahan minyak yang telanjur mengambang dan terdampar di pantai. Tidak ingin melihat dampak lebih buruk, dia dan kawan-kawannya bergerak cepat. Mereka berbondong-bondong menjaring limbah di laut dan di pinggir pantai.
”Kami khawatir tumpahan minyak akan berdampak panjang seperti tahun 2019. Bila dibiarkan, laut pasti akan makin tercemar,” ucapnya, menyiratkan trauma.
Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) mengakui ada kebocoran pipa di area BZZA pada Kamis (15/4/2021). Area itu sekitar 15 mil dari bibir pantai Karawang.
Baca juga: Pembersihan Tumpahan Minyak di Karawang Ditargetkan Rampung Tiga Minggu
Akan tetapi, di tengah kerelaan menyelamatkan alam sekaligus ladang penghidupannya, Yani mengaku menjalani masa terberat dua tahun terakhir. Insiden tumpahan minyak tahun 2019 menghadirkan nelangsa bagi nelayan.
Kami khawatir tumpahan minyak akan berdampak panjang seperti tahun 2019. Bila dibiarkan, laut pasti akan makin tercemar. (Yani)
Pemasukannya turun drastis akibat terdampak tumpahan minyak. Untuk menyambung hidup, dia menjadi tenaga lokal dadakan untuk membersihkan ceceran tumpahan minyak di sepanjang wilayahnya. Upahnya Rp 100.000 per hari. Jumlah itu jauh sedikit dibandingkan saat leluasa menangkap udang yang mencapai Rp 500.000 per hari.
Nekat melaut
Ia sempat nekat melaut lagi. Namun, jaringnya justru kotor karena terkena limbah. Hampir dua tahun dia mempertahankan jaring yang tidak bisa lagi memberi banyak ikan. Jaring anyar baru dibelinya setelah mendapatkan uang sisa kompensasi dari PHE ONWJ pada Maret 2021.
Akhir tahun 2019, dia sudah menerima kompensasi sebesar Rp 1,8 juta. Sisa uang yang dibayarkan setelah menanti hampir dua tahun sebesar Rp 9 juta.
Akan tetapi, uang itu sudah habis digunakannya untuk memenuhi kebutuhan keluarga, membeli jaring, dan membayar utang. Yani memang menggantungkan harapan untuk melunasi utang selama tidak melaut pada uang kompensasi final dari tumpahan minyak.
Semua itu terpaksa dia lakukan. Tahun 2020, saat tumpahan minyak perlahan teratasi, giliran pandemi dan cuaca buruk menghantam. Harga tangkapan anjlok. Udang, misalnya, dihargai Rp 70.000-Rp 80.000 per kilogram. Padahal, idealnya udang dijual Rp 90.000-Rp 120.000 per kg. Penghasilannya anjlok, dari Rp 500.000 per hari menjadi paling banter Rp 300.000 per hari.
Menjaring ikan berharga lebih mahal pun sulit dilakukan. Hanya punya perahu 2 GT, daya jelajahnya tidak pernah lebih dari 20 kilometer dari bibir pantai. Memaksakan pergi lebih jauh jelas konyol karena cuaca buruk terus saja datang.
”Semua berpengaruh pada hasil tangkapan. Hasilnya kian sedikit. Saya cemas, hal itu dipengaruhi minyak yang tumpah,” katanya.
Air laut yang tercemar akibat tumpahan minyak juga menimbulkan kekhawatiran bagi petambak udang dan ikan di pesisir utara. Tambak udang vaname milik Endi (63), petambak Desa Sungai Buntu, Karawang, untuk sementara tidak akan mengambil air laut untuk mengisi petak-petak tambaknya. Pemberhentian sementara ini dikarenakan air laut masih berbau menyengat.
Di tambak miliknya masih tersedia cadangan air laut yang bisa digunakan untuk sirkulasi penggantian air hingga seminggu ke depan. Ia berharap agar air laut bisa kembali bersih dan airnya bisa digunakan tambak. Kualitas air yang baik akan berdampak baik pula pada pertumbuhan udang.
Penebaran benih udang di petak lainnya juga ditunda sementara setelah tumpahan minyak kembali muncul April ini. Ia tidak ingin mengambil risiko dan menanggung kerugian yang sama seperti dua tahun sebelumnya. Ia sendiri sudah merugi hingga miliaran rupiah akibat panen dini.
Hingga kini dia sama sekali belum mendapatkan kompensasi dari PHE ONWJ. Padahal, tak sedikit uang yang telah dikeluarkannya untuk menutup kerugian hingga memulihkan kualitas dasar tambak yang mencapai miliaran rupiah. ”Tolong permasalahan ini dituntaskan segera, jangan sampai berlarut. Kami menanti janji ditepati,” ucapnya.
Baca juga: Limbah Tumpahan Minyak Timbul Lagi, Pertamina Terjunkan Tim
Dana kompensasi
Pembayaran kompensasi final oleh PHE ONWJ dilakukan pada akhir Maret 2021. Whisnu Bahriansyah, yang kala itu menjabat sebagai Corporate Secretary PHE, menyampaikan, pembayaran kompensasi dilakukan setelah melalui beberapa tahapan. Hal itu seperti uji petik dan verifikasi untuk mendapatkan informasi terkait keabsahan data warga penerima kompensasi.
”Saat ini, 10.379 orang sedang proses transfer sebagai penerima kompensasi final. Sebanyak 7.095 orang di antaranya adalah nelayan, pelaku wisata bahari (1.146), dan pengolah hasil perikanan (2.138). Total pembayaran final sebesar Rp 72,16 miliar,” katanya.
Bersamaan dengan itu, kini sedang dilakukan verifikasi bukti kepemilikan lahan bagi profesi budidaya atau tambak. Pembayaran akan dilakukan setelah proses verifikasi selesai.
Tolong permasalahan ini dituntaskan segera, jangan sampai berlarut. Kami menanti janji ditepati. (Endi)
Dihubungi terpisah, Manager Communications Relations & CID PHE ONWJ Hari Setyono mengatakan, keadaan darurat insiden 2019 telah selesai. Saat ini, PHE ONWJ sedang dan telah melaksanakan pemulihan fungsi lingkungan hidup di area terdampak di Karawang, Bekasi, Kepulauan Seribu, dan Banten. Program pemulihan ditargetkan selesai pada tahun ini.
Terkait tumpahan minyak April 2021, pihaknya telah memperbaiki pipa sehingga dipastikan tidak ada lagi ceceran minyak. Tim penanganan juga mengerahkan beberapa kapal untuk melakukan pembersihan minyak di area laut. Pemantauan pun terus dilakukan melalui laut dan udara mengikuti trajektori model tumpahan minyak termasuk fasilitas produksi PHE ONWJ dan area potensial lainnya.
Baca juga: Kompensasi Tumpahan Minyak Menunggu Aturan Pemda Setempat
Harapan untuk laut yang lebih baik jelas sangat diharapkan nelayan. Salah satunya Wiharya (36), nelayan Desa Sedari, Kecamatan Cibuaya, Karawang.
Wiharya menjadi salah satu nelayan yang sudah menerima uang kompensasi tahap final sebesar Rp 9 juta yang cair pada Maret 2021 itu. Uang itu langsung digunakan Wiharya untuk membeli alat tangkap rajungan seharga Rp 7,5 juta. Sisanya ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Akan tetapi, tumpahan minyak baru kali ini dengan cepat membuatnya galau. Pascainsiden tahun 2019, rajungan semakin sulit didapat. Bila sebelumnya bisa dijaring di 50 mil dari pantai, kini ia harus berlayar hingga 150 mil dari pantai untuk mendapat rajungan. Dari biasanya hanya butuh lima liter solar sekali melaut, dia harus menghabiskan minimal 20 liter solar untuk melaut.
”Beginilah risiko menjadi nelayan. Kami khawatir rajungan dan ikan-ikan menghilang dari laut karena airnya tercemar. Semoga jangan sampai terjadi. Hidup-mati kami bergantung dari laut,” ucapnya.
Ada ragam dampak yang muncul saat minyak menggenangi lautan. Bagi sebagian orang, hidup tidak akan pernah mudah lagi saat semuanya terus terjadi. Kompensasi yang diberikan serasa tak sebanding dengan kerusakan lingkungan dan nestapa yang mereka alami.