Tim Independen Diusulkan Dibentuk Guna Usut Kasus Penganiayaan Anak di Buton
Setelah menginvestigasi, Polda Sultra nyatakan tidak ada bukti penganiayaan anak oleh aparat di Polsek Sampuabalo, Buton. Hal itu dianggap keliru karena keterangan sejumlah saksi telah cukup kuat akan tindakan tersebut.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Setelah lebih dari sepekan menginvestigasi laporan penganiayaan di Polsek Sampuabalo, Buton, aparat Polda Sulawesi Tenggara tidak menemukan bukti penganiayaan. Diduga, hal itu tidak seusai dengan keterangan saksi. Tim independen diusulkan untuk lakukan pemeriksaan secara menyeluruh.
”Dari hasil pemeriksaan tim Irwasum dan Propam Polda Sultra, tidak ada bukti penganiayaan seperti yang dilaporkan. Baik dari keterangan saksi, pemeriksaan yang didampingi orang tua, dan tidak ada bukti visum adanya penganiayaan,” kata Kepala Bidang Humas Polda Sultra Komisaris Besar Ferry Walintukan, di Kendari, Sultra, Selasa (27/4/2021).
Sejak ada pelaporan dugaan penganiayaan oleh aparat di Polsek Sampuabalo, Buton, tutur Ferry, Kapolda Sultra Inspektur Jenderal (Pol) Yan Sultra memberikan atensi dan segera melakukan penyelidikan. Pada Sabtu (17/4/2021), tim terpadu lalu turun ke lapangan dan melakukan pemeriksaan.
Tim tersebut lalu mengklarifikasi lima personel Polsek Sampuabalo, yaitu Inspektur Dua La Abudu, Brigadir Kepala Marwan, Brigadir Kepala Karim, Brigadir Kepala Haris, dan Brigadir Satu Idarvi Nasution. Selain itu, tim memeriksa empat terdakwa, yaitu, AJ (15), AG (12), RN (14), dan MS (22). Sebanyak 17 orang saksi ikut dimintai keterangan.
Menurut Ferry, keterangan para saksi tidak saling mendukung satu sama lain dan tidak adanya alat bukti pendukung keterangan. Saat dilakukan pemeriksaan, para terdakwa anak ini didampingi orangtua masing-masing.
”Tidak mungkin orang tuanya membiarkan anak dipukul di depannya. Kalau dibilang dipukul sama polisi, kenapa baru sekarang dilapornya. Bukti visumnya mana? Itu sudah tidak kelihatan,” kata Ferry. ”Dengan laporan dugaan penganiayaan yang mendapat eksposur membuat institusi kepolisian dirugikan. Kalau mau dituntut balik, itu bisa saja,” tambahnya.
Sebelumnya, Jumat (16/4/2021), didampingi kuasa hukum, dua terdakwa kasus pencurian yang masih di bawah umur melaporkan tindakan penganiayaan selama diperiksa di Polsek Sampuabalo ke Polda Sultra. Pelapor tersebut adalah RN (14), dan AG (12).
Bersama AR (15) dan MS (22) keduanya, berdasarkan laporan kepolisian adalah tersangka kasus pencurian uang sebesar Rp 100 juta, dua buah laptop, dan dua buah telepon seluler, dengan total kerugian sekitar Rp 125 juta.
Kasus ini telah disidangkan untuk tiga orang yang masih di bawah umur pada sidang tahap pertama. RN dan AG divonis lima bulan pesantren, sementara AR dikembalikan ke orang tua. Sidang terhadap MS diagendakan akhir April mendatang.
Berdasar pengakuan para terlapor, mereka mendapatkan tindakan kekerasan, baik verbal dan psikis, untuk mengakui tindakan pencurian yang disangkakan. Sejumlah anggota polsek memukul, menampar, mengancam dengan senjata kepada para terdakwa, yang saat itu masih berstatus terperiksa. Sejumlah terperiksa ini juga mengaku diancam dibunuh dengan parang saat dibawa keluar dari kantor Polsek Sampoabalo pada malam hari.
La Ode Abdul Fariz, pengacara RN, AG, dan MS, menuturkan, hasil pemeriksaan tim Polda Sultra yang menyatakan tidak ada tindakan penganiayaan merupakan hal yang keliru. Sebab, dalam pemeriksaan dan klarifikasi yang dilakukan, telah dijelaskan para saksi dan korban tindak penganiayaan yang dilakukan sejumlah oknum.
Dalam pemeriksaan tersebut, tutur Fariz, salah satunya dijelaskan saksi terkait bengkak di bibir setelah dilaporkan dilempar asbak. Sejumlah saksi melihat luka di bibir korban dan telah menyampaikan hal tersebut ke tim yang turun.
”Terhadap tersangka MS juga sama. Anggota yang memeriksa sampaikan kalau ada pemukulan. Kalau dibilang orangtuanya itu mendampingi saat di-BAP, itu pemeriksaan yang keberapa? Sejak awal para tersangka sulit ditemui di Polsek karena alasannya sedang pandemi Covid-19,” tambahnya.
Oleh karena itu, kata Fariz, ia mengharapkan agar ada tim independen yang turun dan menginvestigasi kejadian ini. Tim dari Mabes Polri, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komnas HAM, hingga Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) diharapkan turun dan memeriksa secara mendalam.
Ketua Divisi Hukum KontraS Muhammad Andi Rezaldy meragukan independensi dan obyektivitas tim internal Polda Sultra. Pendalaman yang dilakukan seharusnya berdasarkan kerangka penyelidikan dan penyidikan. Terlebih lagi, penyiksaan merupakan tindakan pidana.
Selain itu, ia melanjutkan, bukti visum yang dianggap rujukan penting wajar tidak ada karena dugaan penyiksaan dilakukan pada Januari 2021. ”Seharusnya polisi memeriksa kesehatan mental para pelapor untuk mengetahui apakah mereka tertekan secara psikologis dari kejadian yang dialami dan dilaporkan. Tidak hanya itu, polisi juga bisa menggandeng Komnas HAM atau Ombudsman untuk ikut serta dalam penyelidikan agar hasilnya terang benderang,” katanya.
Oleh karena itu, dia menambahkan, pihaknya datang ke Polda Sultra untuk melaporkan dugaan kuat tindakan kekerasan aparat dalam pemeriksaan para klien kami. Bahkan, ada saksi yang juga dipukuli di depan orangtuanya dan mereka sudah bersaksi di pengadilan.
”Para terdakwa ini juga memiliki alibi yang kuat jika berada di tempat lain saat kasus pencurian terjadi,” tambahnya.
Secara aturan, Andi menyampaikan, apa yang dilaporkan oleh anak di Buton ini diduga kuat ada penyalahgunaan wewenang baik dalam peraturan perundang-undangan, maupun aturan internal kepolisian. Oleh sebab itu, KontraS juga mendesak Kapolda Sultra untuk segera melakukan proses hukum secara transparan dan akuntabel terhadap anggota kepolisian yang diduga melakukan penyiksaan serta intimidasi.