"Tolong Jangan Bunuh Saya, Pak..."
Sejumlah anak di Buton, Sultra, menceritakan dugaan penyiksaan oleh oknum polisi setelah adanya kasus pencurian. Dua kakak beradik terpaksa mengaku sebagai pencuri setelah diancam senjata, disiksa, dan diancam dibunuh.
Jelang tengah malam di awal Januari 2021, setelah beberapa hari ditahan di Kepolisian Sektor (Polsek) Sampoabalo, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, AG (12) dibawa keluar mengendarai mobil. Di sebuah jalan menuju persawahan yang gelap ia diturunkan. Parang menempel di lehernya. “Dia tidak mengaku, Pak Kapolsek. Kita bunuh saja?”
Begitu pertanyaan dari seorang anggota polsek melalui telepon seluler yang sengaja memakai pelantang, seperti dituturkan AG. Dari seberang telepon itu, ia mendengar suara, “Iya, bunuh saja!”
Mendengar suara itu, bungsu dua belas bersaudara ini menangis. Ia memohon untuk dipulangkan. “Tolong jangan bunuh saya, Pak. Saya mengaku (pencuri),” ujarnya, menirukan perkataannya kala itu, saat ditemui di Kendari, Sulawesi Tenggara, Sabtu (17/4/2021) dini hari.
Ia mengiyakan semua tuduhan pencurian yang dialamatkan padanya; RN (14), kakaknya; AR (15), rekannya; dan MS (22), rekan sekampungnya. Ia mengaku berbohong mengakui pencurian itu karena ketakutan yang mendera. Bahkan, ia turut mengarang cerita dan menyebut sejumlah rekan dan saudaranya.
Sejak dibawa ke kantor polisi pada Sabtu (2/1/2021), AG langsung dituduh terlibat pencurian di rumah Saharuddin, warga Desa Kuraa, Kecamatan Siotapina, sekitar tiga kilometer dari kampungnya. Sebuah telepon genggam miliknya yang dibeli beberapa bulan lalu dicurigai dari hasil pencurian tersebut.
AG, yang putus sekolah sejak ayahnya meninggal empat tahun lalu, bekerja serabutan. Ia sering membantu iparnya sebagai buruh bangunan. Ponsel tersebut dibeli oleh iparnya, La Musu (37), sehabis mengerjakan proyek bangunan di Baubau, Desember 2020 lalu.
“Saya lagi duduk-duduk di depan rumah teman saat polisi datang mengendarai mobil. Saya ditanya, di mana dus HP (handphone) saya. Saya jawab ada di rumah. Kami ke sana cari, tapi tidak ketemu, saya langsung dibawa ke Polsek Sampoabalo,” ucapnya.
Di kantor polisi tersebut, kata AG, telah ada RN, kakaknya. Mereka lalu ditanya terkait pencurian tersebut. Mengaku tidak tahu menahu kejadian itu, AG mendapat pukulan di perut oleh seorang polisi bernama Brigadir Satu IS. Tidak hanya dipukul, Briptu IS juga menodongkan senjata laras panjang ke paha. “Mengaku atau saya tembak kamu!” kata AG menirukan ucapan aparat tersebut.
Baca juga: Menganiaya Hingga Ancam Bunuh Terperiksa Agar Mengaku, Polisi di Buton Dilaporkan
Merasa tidak pernah melakukan pencurian dengan laporan kehilangan total Rp 125 juta tersebut, AG dibawa ke ruangan berbeda. Di situ ia kembali diinterogasi dan dipaksa mengaku. Tidak mendapat jawaban yang diminta, seorang polisi melemparkan asbak besi ke muka AG. Bibir atasnya pecah dan berlumuran darah.
Di ruangan sebelah, sang kakak RN juga tidak henti mendapat tekanan dan pukulan. Tamparan di pipi berulang dialami. “Saya ingat ditampar pakai sandal jepit warna biru,” katanya. Namun, ia tidak ingin menuruti untuk mengaku karena tidak pernah merasa melakukan pencurian.
Saat pencurian yang dilaporkan terjadi pada Kamis (24/12/2020) itu, ia berada di Desa Bahari Makmur, berjarak sekitar tujuh kilometer dari lokasi kejadian. Ia membantu membangun rumah seorang warga yang telah dianggapnya keluarga. Ia menumpang di rumah warga tersebut selama bersekolah di sebuah sekolah menengah atas di dekat Desa Bahari Makmur.
Sebuah senjata laras panjang ditodongkan ke dada dan pahanya. Itu pertama kali ia melihat dari dekat senjata api. Ia ketakutan. “Mengaku atau saya tembak kamu!” begitu kalimat yang ia masih ingat.
Ketakutan, ia mengarang cerita turut melakukan pencurian. Polisi menyebut mobil bak terbuka yang dipakai saat pencurian. Setahu RN, pemilik mobil bak terbuka dengan ciri yang dimaksud hanya ada satu orang di kampungnya. Ia menyebut nama seorang tetangganya, MS (22), dan segera dibawa oleh aparat untuk menjemput di kediaman pemuda itu.
Saya kesakitan dan iya-iya saja apa yang ditanyakan. Sampai saya karang cerita mencuri pakai topeng.
Setelah tiba, MS lalu dijemput dan dimasukkan ke mobil. Namun, RN kembali mendapat pukulan berulang di perut. Ia dituduh berbohong karena tidak mengenal MS. Tidak sampai di situ, sekembalinya ke Polsek Sampoabalo, siksaan kembali terjadi.
“Katanya saya berbohong terus, dan keterangan berubah. Sama Pak E, yang sekarang almarhum itu, diambilkan parang, terus tangan saya ditaruh ke lantai. Katanya kalau saya berbohong, jari tangan mau dipotong. Terus ada Pak M tendang saya. Saya kesakitan dan iya-iya saja apa yang ditanyakan. Sampai saya karang cerita mencuri pakai topeng,” tuturnya. Hingga sekarang, perutnya masih sering sakit.
Baca juga: Setahun Penembakan Randi-Yusuf dan Jejak Si ”Parabellum”
Berselang dua hari setelah ditangkap, RN dan AG ditetapkan tersangka, bersama AR dan MS. Mereka dituduh melakukan pencurian uang Rp 100 juta, dua buah laptop, dan dua buah telepon genggam, dengan total kerugian sekitar Rp 125 juta. Ia dan sang adik ditahan selama sembilan hari di Polsek Sampoabalo. Sejumlah saksi lain yang juga masih di bawah umur tidak luput dari pukulan dan ancaman dari aparat.
Selain meja di rumah tempat pencurian dilaporkan, sejumlah barang bukti diamankan. Uang senilai Rp 200.000 milik Wa Canima (59), ibu RN dan AG, turut disita aparat. Uang tersebut diduga bagian dari kejahatan.
“Padahal, uang itu baru dikasih dari Program Keluarga Harapan (PKH). Saya disuruh tanda tangan, tidak tahu apa isinya. Saya kira kalau sudah tanda tangan, dengan uang Rp 200.000, anak saya bisa keluar. Saya mohon anak saya dibebaskan, dan nama baiknya dikembalikan. Polisi yang siksa anak saya juga dihukum,” tutur Wa Canima dengan mata memerah tak kuasa menahan air mata.
Wa Canima, bersama anak dan sejumlah keluarga tersangka kejadian ini, berangkat ke Kendari. Didampingi kuasa hukum, mereka melaporkan dugaan penyiksaan ini ke Polda Sultra. Total ada 16 orang yang berangkat dari kampung mereka, memakai kapal dan menumpang tempat tinggal. Mereka patungan untuk membeli tiket, makan, hingga menyewa kendaraan. "Demi cari keadilan bagi anak-anak dan nama baik kami," katanya singkat.
Baca juga: Yusuf dan Randi, Duka Abadi dari Kendari
Kasus ini telah disidangkan untuk tiga orang yang masih di bawah umur pada sidang tahap pertama. RN dan AG diputuskan menjalani pendidik di pesantren selama lima bulan, sementara AR dikembalikan ke orangtua. Sidang terhadap MS diagendakan akhir April mendatang.
La Ode Abdul Fariz, kuasa hukum RN, AG, dan MS, menerangkan, kasus ini sejak awal rancu dan membingungkan. Sebab, tidak ada saksi mata yang melihat pelaku. Semua pelaku juga memiliki alibi yang kuat saat kejadian tersebut dilaporkan. Bahkan, mereka dijemput tanpa adanya surat penangkapan.
AG, misalnya, berada di rumah tetangganya yang penghuninya baru saja melahirkan. Ia berada di rumah yang berjarak lima meter dari rumahnya tersebut hingga dini hari. Adapun RN berada di desa sebelah, sementara MS berada di rumahnya bermain gim.
“Tiba-tiba, dalam BAP (berita acara pemeriksaan) terhadap pelapor, menyebutkan nama MS sebagai pelaku, tetapi ia tidak melihat saat kejadian. Ia katanya baru tahu MS sebagai pelaku setelah bertemu di Polsek Sampoabalo. Bagaimana mungkin tidak ada saksi, tetapi tiba-tiba menunjuk orang?” terang Fariz.
Dalam persidangan, lanjut Fariz, berkas perkara baru diberikan sehari sebelum sidang. Akibatnya, proses pembelaan tidak bisa maksimal dan harus berkejaran dengan waktu. Upaya praperadilan yang diajukan penasihat hukum juga tiba-tiba dibatalkan karena jadwal sidang telah dimasukkan dengan segera.
Padahal, proses pemeriksaan yang melanggar aturan dengan kekerasan jelas-jelas telah disampaikan ke pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Buton. Namun, hal ini tidak menjadi pertimbangan oleh pihak kejaksaan. Tidak hanya di kantor polisi, RN juga melaporkan mendapat pukulan dari oknum pegawai Kejari Buton karena tidak menuruti arahan untuk mengakui pencurian tersebut.
Karena itu, Fariz mengatakan, langkah pertama pihaknya adalah melaporkan oknum polisi, yaitu Inspektur Dua LA dan Briptu IS. Ipda LA menjabat sebagai Kapolsek Sampoabalo, sementara Briptu IS adalah penyidik di polsek yang sama. "Sebenarnya, masih ada oknum lain, tapi nanti dikembangkan di pemeriksaan karena anak-anak ini baru melaporkan ke kami,” ucapnya.
Baca juga: Meski Pandemi, Rehab Rumah Jabatan Gubernur Sultra Habiskan Rp 30 Miliar
Kepala Bidang Humas Polda Sultra Ajun Komisaris Besar Ferry Walintukan menyampaikan, pihaknya telah mengetahui adanya informasi dugaan kekerasan oleh aparat dalam pemeriksaan. Hal ini bahkan telah menjadi perhatian khusus untuk dilakukan pemeriksaan.
“Kemarin Pak Kapolda Sultra sudah perintahkan Propam dan Irwasum untuk segera turun melakukan pemeriksaan. Laporan ini menjadi atensi penuh untuk segera ditindaklanjuti. Jika memang ada temuan, pasti akan ditindak,” kata Ferry.
Di sisi lain, tutur Ferry, kasus ini telah vonis di sidang tahap pertama, dan tiga orang anak diputus bersalah. Satu orang dewasa dari kasus ini sedang menunggu jadwal persidangan. Saat pemeriksaan, mereka dilaporkan diperiksa dengan pendampingan orangtua. “Jadi, kalau ada yang memukul di depan orangtua terperiksa, itu saya rasa tidak mungkin. Namun, tim tetap turun untuk melakukan pemeriksaan lengkap,” ucapnya.
Kasus kekerasan oleh aparat dalam pemeriksaan hingga pengamanan terus berulang. Di Sultra, luka belum sembuh akibat meninggalnya dua mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO), Randi dan Yusuf, saat bentrok dengan aparat dalam aksi menentang legislasi kontroversial pada September 2019.
Randi tewas tertembak di dada, sementara Yusuf mengalami luka terbuka di kepala. Menurut investigasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yusuf juga terkena peluru di kepala.
"Kasus penyiksaan dengan motif mendapatkan keterangan atau pengakuan masih sering dilakukan oleh aparat kepolisian, seperti yang dialami ketiga anak di bawah umur tersebut, dan sejumlah korban lainnya," kata staf hukum Kontras Muhammad Andi Rezaldy.
"Hal ini terjadi karena banyak faktor, secara kultur, misalnya, meskipun Polri memiliki Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang implementasi HAM dalam tugas kepolisian, Perkap tersebut belum terinternalisasi secara baik. Bahkan, dalam kurikulum pendidikan Polri, materi hak asasi manusia tidak dimuat dengan komperhensif," kata Andi.
Tidak hanya dalam pemeriksaan, tambah Andi, bahkan dalam konteks perekrutan anggota Polri, masih ditemukan adanya indikasi kekerasan selama proses pendidikan. Hal itu, misalnya, dialami Rian Assidiq siswa Diktuk Bintara Polri Polda Maluku Utara, yang diduga meninggal karena mengalami tindak kekerasan.
Kontras pernah mengajukan permohonan informasi kepada Markas Besar Polri terkait kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian. Dari sana, diketahui ada 38 kasus kekerasan yang dilakukan oleh anggota Polri selama Agustus 2019 sampai Februari 2020. Sebanyak 23 kasus di antaranya diproses sebagai pelanggaran disiplin dan 15 kasus lainnya merupakan pelanggaran Kode Etik Profesi Polri (KEPP).
Secara institusi, terang Andi, ada indikasi kepolisian melindungi anggotanya yang melakukan penyiksaan. Hal itu dilakukan dengan menggiring mereka hanya ke proses etik atau disiplin, bukan melalui mekanisme peradilan pidana.
Tidak disanksi kerasnya pelaku kekerasan, tambah Andi, menjadi penghinaan terhadap hak asasi manusia. Sebab, kekerasan dan penyiksaan merupakan tindakan kejahatan yang harus diproses agar tidak melanggengkan impunitas, sekaligus memulihkan keadilan bagi korban.
Retno Listyarti, Komisoner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), menuturkan, kasus pemeriksaan disertai kekerasan rentan terjadi di tingkat kepolisian, baik polsek hingga tingkat polda. Padahal, aturan terkait penanganan kasus tanpa kekerasan telah diatur dengan tegas, apalagi terhadap anak.
"Sudah sering terjadi, tapi sayangnya sanksi yang kita dengar itu hanya sampai di tingkat disiplin. Di satu sisi, kekerasan, apalagi terhadap anak, itu ada sanksi pidananya," tutur Retno.
Baca juga: Herman Dijemput Tak Berbaju, Dipulangkan Tak Bernyawa
Nursia (44), ibu MS, mengharapkan agar pelaku kekerasan terhadap anaknya mendapat hukuman setimpal. Menurut pengakuan anak sulungnya itu, ia ditelanjangi, dipukuli, dan kakinya diinjak dengan kursi.
“Waktu saya dampingi BAP tambahan di Polres Buton, dia minta obat sakit gigi karena rahangnya sakit dipukuli. Tolong pelaku pemukulan itu dihukum seberat-beratnya, dan nama kami dipulihkan karena di kampung sudah seperti keluarga pencuri. Anak dipukuli, dituduh mencuri, dan nama baik hilang. Kami ini sudah mati berkali-kali,” ucapnya.