Cintai Diri Sendiri, Jauhkan dari Depresi
Tanpa atau dengan pandemi Covid-19, depresi bisa datang kapan saja. Bahayanya bisa semakin besar bila beban itu ditanggung sendiri. Butuh interkasi sosial untuk meredakannya.
Mencintai diri sendiri bukan perkara mudah bagi sebagian orang di tengah pandemi. Butuh uluran tangan banyak pihak agar mereka yang kesulitan meraihnya tidak berteman depresi.
Mata Yayan (41) tajam mencari umbi kentang yang mencuat keluar dari tanah di kebun sayur di samping Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat. Langit mendung yang datang membawa awan hujan tak ia hiraukan. Jari-jemari masih saja lincah mencari kentang yang tersamar di antara tanah.
“Kentang dari tanah warnanya akan menjadi hijau dan tidak layak untuk dipanen. Tugas saya, menutup kentang itu dengan tanah agar hasil panennya ideal,” ujar Yayan saat memperlihatkan kentang temuannya.
Kemampuan Yayan menjelaskan kentang terbaik itu bisa jadi biasa bagi petani kentang lainnya. Namun, bagi dia, hal itu adalah anugerah luar biasa. Setelah lama hidup dalam waham yang mempengaruhi hidup, terutama saat tidurnya, Yayan perlahan mengumpulkan nyali untuk hidup lebih berani. Kegiatan berkebun yang ia lakukan sejak delapan bulan terakhir menjadi jalan memuluskan keinginan itu.
“Dulu saya selalu merasa orang-orang menjelekkan saya, seperti tetangga atau orang yang lewat. Suara-suara mereka jelas di telinga saya, padahal mereka tidak berbicara,” ujarnya.
Baca juga : Mencegah Gelombang Pandemi Kesehatan Mental
Kondisi ini membuatnya sering mengunci diri, bahkan kerap tidak bisa mengendalikan emosi. Dia hanya ingin sendiri. Namun, seorang diri menghadapi semuanya adalah percuma. Dia dan keluarganya lantas memutuskan untuk berobat di RSJ Cisarua selama beberapa tahun. Dia juga harus mengonsumsi obat-obatan penenang sehingga bisa mengurangi halusinasi.
“Kalau tidak salah sejak tahun 2015-an sudah sering bolak-balik RSJ. Tapi dua tahun belakangan saya sering rawat inap karena sering kambuh,” ujarnya.
Rehabilitasi itu kini berbuah manis. Kondisinya dianggap membaik. Pendampingan di RSJ sedikit banyak membantunya. Yayan sudah bisa bekerja dan fasih berkomunikasi dengan orang lain.
Akan tetapi, pengelola RSJ sadar, Yayan dan pasien lainnya tidak bisa dibiarkan begitu saja kembali ke masyarakat tanpa keahlian. Mereka butuh bekal. Lewat Program Kampung Walagri (Wahana Layanan ODGJ Mandiri), berkebun menjadi pilihan. “Walagri” dalam bahasa Sunda berarti sehat.
Tidak main-main, petani terbaik diundang bekerjasama dalam program itu. Salah satunya Ulus Pirmawan (48), Ketua Gabungan Kelompok Tani Wargi Panggupay. Pada tahun 2017, Ulus dinobatkan sebagai petani teladan oleh Food Agriculture Organization (FAO), organisasi PBB untuk pangan dan pertanian.
Ulus mengatakan, di atas kebun seluas enam hektar, ragam sayuran ditanam untuk bekal masa depan. Selain brokoli, ada tomat, kubis, bunga kol, seledri, dan berbagai sayuran lainnya.
Hasil panennya mencapai 1 ton per hari. Selain untuk memenuhi kebutuhan dapur rumah sakit, sebagian sayuran juga dijual. Uangnya ikut dibagikan pada Yayan dan kawan-kawannya.
Ulus mengatakan, program ini ideal terus dikembangkan. Ragam proses dalam berkebun, kata dia, potensial menimbulkan rasa percaya diri dan tanggung jawab. “Harapannya, setelah percaya diri itu hadir kembali, ilmu-ilmu berkebun bisa menjadi penopang ekonomi mereka kelak,” ujar Ulus.
Baca juga : Lindungi Kesehatan Mental Saat Pandemi dengan Emosi Positif
Eksistensi diri
Direktur RSJ Jawa Barat Elly Marliyani memaparkan, Kebun Walagri tidak sendirian. Sejak 2019 lalu, sejumlah kegiatan digunakan sebagai terapi sekaligus bekal kelak bagi pasien rehabilitasi. Mulai dari Kafe Walagri, pelatihan jasa kebersihan (cleaning service), hingga menjadi marbot masjid.
Hanya saja, pandemi Covid-19 membuat sejumlah kegiatan dihentikan demi memenuhi protokol kesehatan. Hanya kebun Walagri yang tetap berjalan dengan hanya enam peserta.
Mereka beraktivitas mandiri, tidak kambuh lagi. Ini sudah menjadi hasil yang bagus. Dengan fungsi yang kembali normal, eksistensi diri pun terbangun. Mereka bisa diterima masyarakat. Mereka kini dihargai
Meski terkendala, Elly mengatakan, Walagri potensial meningkatkan fungsi kognisi (berpikir atau berproses). Kemampuan ini, papar Elly, bisa meningkatkan kepercayaan diri di tengah masyarakat. Mereka tidak lagi dianggap sebagai orang dengan gangguan jiwa karena bisa berinteraksi seperti warga di lingkungannya.
“Mereka beraktivitas mandiri, tidak kambuh lagi. Ini sudah menjadi hasil yang bagus. Dengan fungsi yang kembali normal, eksistensi diri pun terbangun. Mereka bisa diterima masyarakat. Mereka kini dihargai,” tutur Elly.
Konsultasi daring
Akan tetapi, pandemi tidak hanya menganggu proses rehabilitasi. Elly menuturkan, Covid-19 rentan membuat keadaan tambah runyam. Adaptasi dipaksa berjalan sangat cepat. Ragam kegiatan dilakukan tak biasa. Dampaknya bagi sebagian orang bisa fatal. Pandemi rentan menganggu kesehatan jiwanya.
Gangguan nonpsikotik ini, ujar Elly, bisa dilihat dari kecemasan yang berlebihan hingga emosi yang labil. Gangguan ini dikatakan ringan karena penderita masih berada dalam realitas sehingga bisa berpikir dan menyadari gangguan tersebut.
Ironisnya, stigma terkait perawatan kejiwaan membuat masyarakat enggan mengakses rumah sakit jiwa meski merasakan gangguan ini. Padahal, tutur Elly, gangguan nonpsikotik ini bisa memengaruhi kesehatan tubuh secara keseluruhan jika dibiarkan dalam waktu lama.
Untuk memutus stigma itu, Pemda Jabar meluncurkan Program Konsultasi Jiwa Online (KJOL) yang dikelola oleh RSJ Provinsi Jabar sejak pertengahan tahun 2020. Dengan layanan daring ini, warga tidak perlu khawatir untuk mengakses konsultasi kesehatan jiwa karena tidak perlu mengunjungi RSJ, cukup akses dari tautan http://tiny.cc/KJOL.
Usia yang mendaftar bervariasi. Hampir semuanya mengalami gangguan kecemasan, stres, hingga sulit tidur
Elly menuturkan, perubahan interaksi di tengah pandemi memang berdampak pada para klien yang telah melakukan konsultasi di KJOL. Sejak bulan Agustus 2020 hingga Februari 2021, KJOL menerima 257 pendaftaran konsultasi kejiwaan.
“Usia yang mendaftar bervariasi. Hampir semuanya mengalami gangguan kecemasan, stres, hingga sulit tidur,” ujarnya.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil menyatakan, lahirnya layanan daring ini menjadi respon terhadap meningkatnya permasalahan kejiwasaan selama pandemi. “Ada banyak gangguan. Isu isolasi sosial, kehilangan pekerjaan, perubahan cara belajar mengajar, kekerasan rumah tangga, semua tidak bisa kita sepelekan,” tutur Kamil.
Baca juga : Pandemi Pukul Mental Kaum Muda
Ancaman depresi
Pemda Jabar juga bekerjasama dengan sejumlah perguruan tinggi dan rumah sakit di Bandung meluncurkan aplikasi “Ruangempat.com”. Lewat aplikasi ini, masyarakat kembali punya tempat melakukan konsultasi kejiwaan secara gratis.
“Sudah lebih dari 1.000 orang yang berkonsultasi. Kebanyakan mahasiswa yang merasa bosan dan mengarah ke depresi. Ini menjadi tantangan untuk segera ditangani,” ucap Dokter Spesialis Kejiwaan Rumah Sakit Melinda 2 Bandung Teddy Hidayat. Rumah Sakit Melinda 2 Bandung menjadi salah satu yang terlibat dalam aplikasi ini.
Teddy mengatakan, pandemi ikut memukul kondisi kejiwaan anak-anak muda. Banyak anak muda mengalami gangguan tidur saat pandemi. Akibatnya, mereka mengantuk di siang hari sehingga mengganggu aktivitas.
Kecemasan muncul saat mereka mulai membandingkan kondisi dan pencapaian saat pandemi dan sebelumnya. Hal ini melahirkan kekecewaan dan kecemasan karena hal-hal yang tidak memuaskan.
“Untuk gangguan jiwa yang paling berpotensi itu depresi. Bosan menjalani kegiatan saat pandemi karena adanya pembatasan. Untuk mengatasi hal itu, diperlukan pengelolaan kejiwaan menyeluruh. Salah satunya berkonsultasi dengan dokter kejiwaan,” katanya.
Oleh karena itu, Teddy memaparkan, untuk mencegah depresi, kebiasaan menyendiri harus dihindari. Bergabung dalam kegiatan sosial dan berolahraga sehingga berdampak positif pada kesehatan raga dan pikiran.
Yayan membuktikan pendapat Teddy beralasan. Interaksi dengan Ulus dan petani lainnya saat berkebun membuatnya merasa nyaman. “Tidak apa-apa capek, tetapi saya dan orangtua senang. Dulu ibu saya merasa di neraka karena saya. Sekarang, beliau sudah senang karena saya bekerja,” ucapnya senang sambil memperlihatkan kedua tangannya yang berlumuran tanah karena berkebun.
Tanpa atau dengan pandemi, depresi bisa datang kapan saja. Bahayanya bisa semakin besar bila beban itu ditanggung sendiri. Butuh interaksi sosial untuk meredakannya. Yayan sudah membuktikannya. Selalu ada jalan memupuk cinta pada diri sendiri agar jauh dari depresi.
Baca juga : Anak Muda Cemas Hadapi Masa Depan yang Tak Pasti