Pandemi Covid-19 menimbulkan persoalan mental di kalangan anak muda. Selain kesepian akibat pembatasan sosial berkepanjangan, kaum muda diliputi kecemasan menghadapi masa depan yang tidak pasti.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 yang berjalan lebih dari satu tahun membuyarkan harapan, impian, dan cita-cita banyak anak muda. Mereka juga harus bergelut dengan berbagai gangguan mental yang memengaruhi kesehatan dan produktivitas pada masa depan.
Saat kuliah Ilmu Administrasi dulu, Budi (24) membayangkan kelak setelah lulus pendidikan diploma 3 (D-3), ia akan bekerja sebagai karyawan kantor, punya gaji setara, bahkan melebihi upah minimum regional plus jaminan sosial. Begitu lulus pada pertengahan 2019, sejumlah seleksi kerja diikutinya. Namun, hingga kini pekerjaan itu belum didapat.
Daripada menganggur, Budi memutuskan berjualan bubur ayam, melanjutkan usaha nenek dan orangtuanya. Ia menjajakannya dengan gerobak di kawasan Petamburan, Jakarta Pusat. Baru berjalan beberapa bulan, pandemi melanda. Usahanya yang belum mekar keburu layu. Kini, gerobak bubur itu hanya terparkir di depan rumah.
”Sekarang masih cari kerja. Karena tidak dapat-dapat, saya narik ojek online seminggu ini. Sebelumnya, saya sempat freelance menjadi kurir,” kata Budi, Jumat (9/4/2021).
Kondisi ini membuat Budi stres. ”Di satu sisi susah mendapat pekerjaan, tetapi mau buka usaha juga tidak punya modal,” ujarnya.
Bayangan jadi penganggur juga dirasakan Alfajri Ahmad (17), siswa SMK yang akan lulus bulan depan. Ia sudah mencari pekerjaan secara daring, tetapi belum ada tanggapan sama sekali. ”Banyak yang mencari kerja selama pandemi. Jadi, peluang diterima kerja pun semakin kecil,” katanya.
Banyak yang mencari kerja selama pandemi. Jadi, peluang diterima kerja pun semakin kecil.
Bank Dunia memprediksi satu miliar penduduk muda akan masuk pasar tenaga kerja dalam satu dekade ke depan, tetapi kurang dari setengahnya yang akan mendapatkan pekerjaan formal (Kompas, 30/3/2021). Di Indonesia, Survei Angkatan Kerja Nasional Agustus 2020 menunjukkan, tercatat ada 9,77 juta penganggur dari 138,22 juta orang angkatan kerja.
Stres pekerja
Tidak hanya yang menganggur dan terancam menganggur yang harus menghadapi stres dan kecemasan. Mereka yang sudah bekerja pun menghadapi persoalan serupa.
Harry Fajri (26), karyawan baru di sebuah perusahaan kebudayaan Jepang, mengaku pandemi membuatnya stres, takut, cemas, dan berpikir berlebihan soal pekerjaan. Belakangan, ia mengalami insomnia cukup parah hingga baru tidur lewat pukul 03.00. Akibatnya, produktivitas dan konsentrasinya terpengaruh, fisiknya pun terkuras.
Kecemasan Harry bersumber dari hilangnya kesempatan bersosialisasi dengan lingkungan kantor. Betapa tidak, baru saja merasakan serunya bekerja di kantor, tiba-tiba pandemi memaksa dia bekerja dari rumah.
Deni (24), office boy di sebuah perusahaan, stres lantaran khawatir tak bisa membeli susu dan kebutuhan lain untuk anaknya yang berusia 1,5 tahun. Selama pandemi, ia hanya masuk kantor tiga hari dalam sebulan dengan upah Rp 100.000 per hari.
Dengan gaji Rp 300.000 sebulan, tentu tidak cukup untuk menopang kehidupan Deni dan keluarganya. Ia pun mencari penghasilan tambahan dengan membantu tetangga berjualan nasi pecel dan menerima jasa melukis wajah. ”Saya khawatir dengan anak karena dia butuh susu,” ujarnya.
Sementara itu, bagi Theresia Yoslin Tambunan (24), pandemi mengganggu dinamika sehari-hari. ”Setiap kali harus beraktivitas di luar, energi saya seperti terkuras. Badan jadi capek banget,” ujarnya.
Pandemi membuatnya harus bekerja di rumah dan tak kenal waktu. Perubahan keseharian ini membuat Yoslin merasa cemas dan bingung. Stres dan kecemasan membuatnya sulit tidur serta mengalami gangguan pola makan sehingga berat badannya menjadi naik.
Apa yang dialami anak-anak muda itu terungkap dalam hasil swaperiksa Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia antara 4 April dan 7 Oktober 2020. Dari 5.661 responden di 31 provinsi, sebanyak 67,4 persen responden mengalami gangguan cemas, 67,3 persen menderita depresi, dan 74,2 persen responden mengalami trauma psikologis. Keadaan tersebut paling banyak dialami penduduk berusia kurang dari 30 tahun atau dewasa muda.
Akan tetapi, baik Budi, Alfajri, Harry, maupun Deni, tak satu pun di antara mereka mencari pertolongan dengan berkonsultasi kepada tenaga kesehatan jiwa, baik psikolog, psikiater, maupun konselor. Mereka memilih berjuang melepas bayang-bayang stres dan kecemasan dengan caranya sendiri.
Harry memilih menonton film, bermain gim video, memainkan alat musik, ataupun mengedit video. Sementara Budi, Deni, dan Alfajri, yang tinggal di permukiman padat dan berlatar belakang keluarga dengan ekonomi pas-pasan, tidak memiliki pilihan terlalu banyak untuk melepas stres.
Berdiam di rumah sesuai dengan anjuran pemerintah selama pandemi membuat mereka harus menghadapi persoalan baru. Rumah sempit dan harus berbagi ruang dengan penghuni lain membuat mereka memilih pergi keluar rumah.
Bersosialisasi dengan teman atau tetangga bisa dijadikan sarana menjaga mental agar tetap waras hingga persoalan yang dihadapi tak merembet menjadi masalah baru. Jika beruntung, mereka menemukan kegiatan baru yang positif selama pandemi, seperti berbagi nasi kotak bersama karang taruna di lingkungan. ”Setidaknya jadi ada kegiatan positif yang bisa dilakukan,” kata Budi. (SEKAR GANDHAWANGI/DENTY PIAWAI NASTITIE/