Pemilik Properti di Kota Lama Semarang Didorong ”Hidupkan” Bangunan
Dari 124 gedung cagar budaya di kawasan Kota Lama Semarang, kini 60 persen sudah direhabilitasi dan dipugar serta diisi kegiatan sosial, ekonomi, budaya. Aktivitas di kawasan itu diharapkan kian menggeliat.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Pemerintah Kota Semarang, Jawa Tengah, terus mendorong para pemilik bangunan di kawasan Kota Lama Semarang, Jawa Tengah, berperan aktif dalam pengembangan kawasan itu. Keterlibatan mereka dalam merawat, merehabilitasi, serta menghidupkan aktivitas di gedung-gedung tua tersebut menjadi bagian revitalisasi Kota Lama.
Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengatakan, revitalisasi Kota Lama, yang dilakukan sejak 2017, tak terlepas dari dukungan pemerintah pusat, provinsi, para pemangku kepentingan, serta warga sekitar. Setelah dipoles dan ditata, kawasan yang terdapat bangunan-bangunan berarsitektur kuno itu menjadi salah satu daya tarik wisata di Kota Semarang.
Di samping itu, yang krusial ialah keterlibatan para pemilik gedung. ”Ada 124 bangunan cagar budaya yang waktu itu (sebelum direvitalisasi) hanya 10 persen yang beraktivitas di situ. Hal itu jadi pekerjaan rumah besar," ujar Hendrar pada webinar Pengembangan Museum dan Kawasan Kota Lama, Jawa Tengah, Jumat (16/4/2021).
Sejak itu, Pemkot antara lain melalui Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BPK2L) terus berkomunikasi dengan para pemilik gedung. Sejumlah insentif ditawarkan dalam bentuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan sejumlah kemudahan lain. Namun, upaya-upaya tersebut belum membuahkan hasil.
Rupanya salah satu kendala ialah banjir serta kondusivitas di kawasan tersebut. Menurut Hendrar, lantaran terkenal langganan banjir, adanya para penjaja seks komersial pada malam hari, hingga kegiatan sabung ayam, para investor enggan berinvestasi di Kota Lama. Secara perlahan, satu per satu masalah itu pun akhirnya teratasi. Apabila dilihat secara keseluruhan, upaya perbaikan Kota Lama Semarang sudah berlangsung sejak 1996.
”Keberhasilan Kota Lama tidak hanya infrastruktur, tetapi juga rohnya kami hidupkan yang tidak lain ialah pemilik gedung cagar budaya di situ. Ini milik swasta dan APBN/APBD tidak bisa masuk. Hingga kini kami terus komunikasikan. (Hasilnya) saat ini sudah sekitar 60 persen bangunan yang sudah diolah sehingga ada kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya,” kata Hendrar.
Pengembangan kawasan pun dilakukan, yakni melalui Revisi Peraturan Daerah Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan Situs Kota Lama, dari sekitar 40 hektar pada Perda Kota Semarang Nomor 8 Tahun 2003 menjadi 72,4 hektar pada Perda Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2020. Setelah Situs Kota Lama atau Little Netherland selesai direvitalisasi, berikutnya ialah Situs Kampung Melayu, Situs Kampung Kauman, dan Situs Pecinan.
Sementara di bundaran atau taman Bubakan kini tengah disiapkan Museum Kota Lama. ”Museum akan dibagi dalam lima fase sejarah perkembangan Kota Lama, yakni prabenteng, peralihan fase prabenteng ke benteng, benteng, peralihan fase benteng ke pascabenteng, dan fase pascabenteng. Museum akan berkonsep digital,” kata Hendrar.
Saat ini sekitar 60 persen bangunan yang diolah sehingga ada kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya. (Hendrar Prihadi)
Holistik
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid dalam webinar tersebut mengaku senang dengan perkembangan Kota Lama Semarang. Namun, ia juga mengingatkan bahwa melestarikan cagar budaya bukan berarti mengubah bentuk, memperluas, hingga mempercantik yang dapat berakibat berubahnya struktur bangunan.
”Yang utama ialah bagaimana potensi nilai, informasi, dan promosi serta dapat dimanfaatkan secara optimal. Pendekatan yang relevan ialah historic urban landscape. Jadi, melihat lanskap secara keseluruhan. Tentu kita tak bisa putar kembali sejarah, seperti aslinya di masa lalu. Namun, pendekatan (perlakuannya) holistik, terintegrasi, ada pelibatan publik, serta ada prioritas dan manfaatnya,” kata Hilmar.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Dewi Yuliati mengemukakan, terkait pengembangan museum, digitalisasi koleksi penting. Namun, visual harus tetap menjadi hal penting. Pasalnya, visual merupakan atraksi bagi seluruh pengunjung. Selain itu, kemudahan akses pengunjung pun perlu diperhatikan.
Museum pun mesti memiliki tujuan, antara lain sebagai lembaga pengelola dan penyedia informasi yang otentik dan kredibel. ”Juga sebagai pusat kajian dan pariwisata edukasi yang mudah diakses, nyaman, aman, dan menyenangkan. Kemudian, mendukung sustainable development (pengembangan berkelanjutan) kawasan cagar budaya Kota Lama Semarang,” katanya.
Sebelumnya, pada Juli 2020, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Semarang Lama sebagai cagar budaya peringkat nasional. Kawasan tersebut mencakup, antara lain, kawasan Kauman, Kampung Melayu, dan Pecinan. Jika ditotal, luas keseluruhannya sekitar 100 hektar.