Sedimentasi di Teluk Manado Merusak Terumbu Karang
Sedimentasi mengakibatkan kerusakan terumbu karang di Teluk Manado, Sulawesi Utara, yang keadaannya selama ini sudah buruk akibat reklamasi.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Air keruh mengalir di Sungai Malalayang menuju Teluk Manado, Sulawesi Utara, yang menjadi muaranya, Jumat (26/3/2021).
MANADO, KOMPAS — Sedimentasi mengakibatkan kerusakan terumbu karang di Teluk Manado, Sulawesi Utara, yang keadaannya selama ini sudah buruk akibat reklamasi. Pemerintah diharapkan menyediakan perangkap sedimen serta memperbaiki tata perencanaan kota.
Permukaan air di pantai Teluk Manado tampak keruh, terutama di area yang dekat dengan titik-titik muara sungai, Jumat (26/3/2021). Ada lima sungai yang bermuara di garis pantai teluk sepanjang 18,7 kilometer, yaitu Sungai Malalayang, Sario, Tondano, Bailang, dan Tumumpa. Sungai Malalayang, Sario, dan Tondano terletak di pusat keramaian kota.
Dari atas Jembatan Kolongan, Malalayang, air berwarna coklat pekat mengalir deras menuju pantai. Pengajar Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Sam Ratulangi, Rignolda Djamaluddin, mengatakan, air Sungai Malalayang membawa sedimen dari hulunya di wilayah bukit Winangun dan Pineleng yang telah berubah dari wilayah tangkapan air menjadi perumahan.
Menurut Rignolda, kekeruhan permukaan air adalah bukti nyata sedimentasi. ”Akibatnya, ada tekanan terhadap terumbu karang seiring pembukaan lahan. Sedimen masuk melalui sungai-sungai di Manado, dan itu tampak di situs-situs yang sedang kami teliti,” katanya.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Perairan keruh akibat sedimentasi tampak di Teluk Manado, Sulawesi Utara, yang menjadi muara Sungai Malalayang, Jumat (26/3/2021).
Sejak 2019, Rignolda meneliti terumbu karang di Teluk Manado bersama beberapa ilmuwan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Teluk Manado dibagi menjadi delapan area dari Malalayang di selatan hingga daerah utara kota. Penelitian itu belum selesai, tertunda karena Covid-19.
Rignolda tidak mengetahui besaran laju sedimentasi di Teluk Manado. Namun, dampaknya dapat terlihat, antara lain, di terumbu karang pada kedalaman 10-40 meter yang tersebar di dekat Pantai Malalayang. Tutupan karang keras kurang dari 50 persen di area tersebut, sedangkan karang lunak sekitar 13 persen. Tutupan karang mati berkisar 1-10 persen.
Tingkat kecerahan air yang tergolong rendah, tanda nyata sedimentasi.
Pemandangan serupa tampak di muara Sungai Sario yang diapit lahan reklamasi kawasan bisnis Manado Townsquare dan Megamas. Di titik ini, air tidak hanya membawa lumpur dari hulu, tetapi juga limbah dari kawasan bisnis. Akibatnya, kata Rignolda, tingkat kecerahan air yang tergolong rendah, tanda nyata sedimentasi.
Daerah terumbu karang yang selama ini dikenal nelayan setempat sebagai Napo Toto dan Napo Karanjang di belakang lahan reklamasi pun mengalami perubahan bentuk. Sebelumnya, ekosistem terumbu karang di sana telah tertekan oleh dinding lahan reklamasi. ”Kalau gelombang besar terjadi hingga dinding luar lahan reklamasi rusak, material-material yang terlepas akan merusak terumbu karang juga,” ujarnya.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Air asin dan air dari Sungai Sario yang bercampur sedimen dan limbah bertemu di Teluk Manado, Sulawesi Utara, Jumat (26/3/2021).
Pertemuan air laut dengan air tawar yang keruh juga tampak di mulut Sungai Tondano, sungai yang terbesar dibandingkan dengan empat lainnya. Nelayan tradisional di area tersebut, seperti di Kelurahan Sindulang 2, mengeluh karena air semakin keruh sehingga ikan semakin sulit didapat.
Ferdy Tuilan (47), sekretaris kelompok nelayan Tandipang Sindulang 2, mengatakan, para nelayan harus melaut sampai jarak 8-9 mil laut untuk mendapatkan ikan. ”Kadang-kadang kami juga sampai ke belakang Pulau Manado Tua (26,6 kilometer). Tapi, jarak makin jauh, tangkapan makin sedikit,” ujarnya.
Menurut Ferdy, ikan cenderung mencari perairan yang tidak keruh dan lebih dalam. Akibatnya, nelayan tradisional yang menggunakan kail atau jaring kesulitan memperoleh tangkapan karena berhadapan dengan kapal pajeko dengan alat tangkap pukat cincin (mini purse seine).
Menurut Rignolda, sedimentasi di Teluk Manado memang tidak akan langsung menyebabkan pendangkalan karena perairan di barat ibu kota Sulut itu cukup dalam. Namun, dampaknya bagi ekosistem bahari akan sangat buruk. Karena itu, diperlukan upaya pembangunan pengontrol sedimen dan perencanaan tata kota yang lebih baik.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Nelayan menata perahunya di tepi pantai Teluk Manado, Sulawesi Utara, yang terletak di Kelurahan Bitung Karangria, Jumat (26/3/2021).
”Rendahnya tingkat kecerahan air erat kaitannya dengan pembongkaran area tangkapan air untuk dijadikan permukiman. Ini kelemahan pembangunan di Manado, pembongkaran area tangkapan air tidak diiringi upaya mengantisipasi sedimen yang mungkin dihasilkan,” katanya.
Sedimentasi di teluk juga semakin parah akibat banjir yang kerap terjadi di Manado, terutama pada awal tahun. Terjangan air membawa lumpur dari wilayah tangkapan air yang telah dibuka. ”Terumbu karang terus mencatat dampaknya dalam perubahan formasinya,” ujar Rignolda.
Sementara itu, Pemerintah Kota Manado masih berupaya menyusun revisi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Revisi itu telah berlangsung setidaknya dua tahun terakhir, tetapi tak kunjung selesai. DPRD dan Pemkot Manado telah sepakat memasukkannya dalam program legislasi daerah tahun ini.
Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pemkot Manado Sonny Takumansang mengatakan, tim ini diketuai Sekretaris Daerah Micler Lakat. Namun, Micler yang dihubungi melalui pesan teks dan telepon tidak merespons.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Pembangunan tanggul beton telah rampung sebagian di daerah Dendengan, Manado, Sulawesi Utara, Jumat (26/3/2021).
Adapun Balai Wilayah Sungai Sulawesi I (BWSS I) tengah membangun infrastruktur penahan banjir. Ini diwujudkan dalam tanggul-tanggul normalisasi di beberapa sungai di Manado, terutama yang rawan banjir, seperti di daerah Tikala, Sario, dan Tondano. Proyek ini tengah berlangsung, salah satunya di mulut Sungai Sario dengan dana lebih dari Rp 2 triliun.
Menurut Kepala BWSS I Bastari, sungai memang secara alami akan membawa sedimen. Namun, hal itu bisa ditekan apabila pembukaan area tangkapan air di Manado diiringi dengan upaya mengantisipasi sedimen. Dengan begitu, sungai tidak akan mendangkal dan banjir dapat dimitigasi, terutama pada awal tahun.
BWSS I belum pernah secara khusus mengukur sedimen yang bermuara di Teluk Manado dari lima mulut sungai. Untuk sementara, proyek pembangunan tanggul diiringi dengan upaya pengerukan dasar sungai.