Sedimentasi Sungai Mundurkan Garis Pantai Teluk Manado
Material sedimentasi yang terbawa aliran Sungai Tondano menumpuk di bibir pantai Teluk Manado, Sulawesi Utara. Lapisan lumpur dan pasir yang menumpuk selama bertahun-tahun ini membuat garis pantai mundur lebih jauh.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·3 menit baca
MANADO, KOMPAS – Material sedimentasi yang terbawa aliran Sungai Tondano menumpuk di bibir pantai Teluk Manado, Sulawesi Utara. Lapisan lumpur dan pasir yang menumpuk selama bertahun-tahun ini membuat garis pantai mundur lebih jauh. Akibatnya, nelayan harus melaut lebih jauh.
Penumpukan sedimentasi ini tampak di bawah Jembatan Soekarno Manado, Senin (30/9/2019). Bentangan delta tampak sepanjang sekitar 300 meter di samping jalur aliran Sungai Tondano yang bermuara di Teluk Manado. Air dari sungai tampak keruh berwarna kecokelatan karena mengandung lumpur dan sampah, mulai dari kayu sampai plastik.
Daratan delta yang terbentuk memiliki tekstur lunak seperti pasir pantai dan selalu basah. Air menggenang di beberapa titik, sebagian karena aliran air sungai terpecah dan tertampung di tengah-tengah delta.
Untungnya, ikan kecil-kecil seperti ikan deho masih ada di dekat-dekat sini. Tapi, kami harus melaut lebih jauh kalau mau dapat ikan banyak.
Markus Yohanes (68), nelayan di Kelurahan Sindulang 1, Kecamatan Tuminting, mengatakan, keberadaan delta sudah berlangsung cukup lama, sekitar 10 tahun terakhir. Saat laut sedang surut, garis pantai semakin jauh. Namun, ia menyoroti warna air yang semakin keruh di dekat aliran muara Sungai Tondano.
“Untungnya, ikan kecil-kecil seperti ikan deho masih ada di dekat-dekat sini. Tapi, kami harus melaut lebih jauh kalau mau dapat ikan banyak. Dulu, tahun 1990-an, bisa hanya 1-2 mil laut (1,8-3,7 kilometer) di dekat pantai, sekarang jauh sekali sampai 20 mil laut (37 kilometer), di belakang Pulau Manadotua,” kata Markus.
Menurut Markus, sedimentasi di pantai Teluk Manado belum banyak berdampak pada pekerjaannya. Ikan tude dan bobara masih bisa ditangkap di sekitar rumpon yang dipasang nelayan.
Sebaliknya, Adrian (84), nelayan di Kelurahan Bitung Karangria, merasa tangkapan ikan semakin sulit di dekat pantai, apalagi pada musim kemarau. Karena telah berusia lanjut, ia hanya berlayar paling jauh 5 mil laut (9 km). Tangkapan lebih sedikit karena alat yang digunakan cenderung sederhana, yaitu hand line (benang pancing tangan).
Kan, laut kita luas. Nelayan juga masih bisa berlayar jauh sampai lebih dari 10 mil laut (18 kilometer).
Kepala Dinas Pertanian, Kelautan, dan Perikanan (DPKP) Manado Marrus Nainggolan mengatakan, pembentukan daratan di pertemuan antara Sungai Tondano dengan Teluk Manado kemungkinan besar disebabkan oleh muatan sedimen. Sedimen yang dibawa Sungai Tondano berasal dari dataran tinggi Minahasa. “Itu harus segera diatasi,” katanya.
Meski begitu, Marrus menyatakan, tidak ada dampak signifikan terhadap tangkapan nelayan, termasuk nelayan kecil. “Kan, laut kita luas. Nelayan juga masih bisa berlayar jauh sampai lebih dari 10 mil laut (18 kilometer),” katanya.
Walakin, data DPKP Manado menunjukkan tren tangkapan ikan yang terus menurun. Pada 2013, tangkapan ikan mencapai 21.175 ton, kemudian menurun menjadi 18.851 ton pada 2014 dan 14.128 ton pada 2015. Tangkapan ikan makin anjlok menjadi 9.421 ton pada 2016 dan 9.241 ton pada 2017.
Di sisi lain, Kepala Tata Usaha Balai Wilayah Sungai Sulawesi (BWSS) I Jacqueline Tahar mengatakan, pihaknya belum dapat memastikan bahwa sedimentasi sedang melaju di muara Sungai Tondano. “Satuan Kerja Sungai dan Pantai akan turun ke lapangan dulu melihat keadaan, baru kami bisa pastikan,” katanya.
Dalam penelitian Ari Mulerli (2010) dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum, kondisi muara sungai tergantung pada tiga faktor, yaitu kekuatan gelombang sungai, debit sungai, dan waktu pasang-surut. Kecepatan aliran sungai dapat menyebabkan gerusan pada tanah di dasar sungai.
Sebelumnya, Kepala Seksi Perencanaan dan Program BWSS I Rheky Lontoh mengatakan, untuk mengatasi sedimentasi ini, pihaknya sedang membangun tanggul sepanjang 7,2 km di sepanjang daerah aliran Sungai Tondano.
Namun, hingga pertengahan 2019, pembangunan tahap pertama konstruksi tanggul sepanjang 1,7 km belum selesai. Padahal, proyek senilai Rp 146 miliar dengan dana dari Japan International Cooperation Agency (JICA) itu dimaksudkan untuk periode 2015-2018.
Rheky menjelaskan, pembangunan tertunda oleh pembebasan lahan seluas 25.155 meter persegi yang telah menyerap dana Rp 99,4 miliar. Tahun ini, BWSS I telah menyiapkan Rp 18 miliar untuk membebaskan 9.227 meter persegi yang tersisa. Pembiayaan Rp 60 miliar juga diusulkan untuk melanjutkan konstruksi tanggul.