Pandemi Covid-19 melahirkan penjara sosial yang membatasi interaksi manusia. Kondisi ini rentan memicu depresi. Kreativitas dapat mendobraknya untuk memulihkan mental demi menghadapi pandemi dengan lebih percaya diri.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 melahirkan penjara-penjara sosial yang membatasi interaksi manusia. Kondisi ini rentan memicu depresi karena terjebak dalam sepi dan kecemasan berlarut-larut. Dengan beragam kreativitas, sejumlah anak muda di Kota Bandung, Jawa Barat, mendobrak penjara sosial itu untuk memulihkan mental demi menghadapi pandemi dengan lebih percaya diri.
Pandemi mendatangkan tekanan bertubi-tubi bagi Ostrad (23), mahasiswa Jurusan Psikologi universitas swasta di Bandung. Sudah 10 semester ia menimba ilmu di perguruan tinggi, tetapi belum juga lulus.
Awal pandemi pada Maret tahun lalu menambah kecemasannya. Kegiatan kuliah di kampus ditiadakan, diganti dengan sistem daring. Kesehariannya berubah 180 derajat. Hari-hari yang biasanya diisi dengan bercengkerama bersama puluhan temannya di kampus berganti dengan ruang sepi di indekos.
Rasanya seperti hidup dalam penjara. Sempat putus asa dan berpikir enggak akan tamat kuliah.
Tak banyak yang bisa dilakukan. Menonton film di laptop dan berselancar di dunia maya menjadi rutinitas membosankan. ”Rasanya seperti hidup dalam penjara. Sempat putus asa dan berpikir enggak akan tamat kuliah,” ujarnya di Bandung, Senin (12/4/2021).
Bayangan kegagalan lulus kuliah berkecamuk di pikirannya. Apalagi, ia tinggal jauh dari orangtuanya yang tinggal di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Tiga bulan pandemi berjalan, Ostrad memberanikan diri beraktivitas di luar indekos. Ia kembali aktif dalam ”BerbaginasiID”, sebuah gerakan membagikan nasi bungkus kepada tunawisma di Bandung.
Bersama rekan-rekannya, ia menyusuri emperan toko di pusat kota saat malam untuk membagikan makanan kepada gelandangan. Kegiatan ini mengurangi kecemasannya. Setidaknya, durasi waktu menyendiri di indekos berkurang.
”Stresnya mulai berkurang karena ada kesibukan kegiatan rutin. Meskipun tidak setiap hari, kegiatan ini bisa melepas kebosanan sendiri di indekos,” ucapnya.
Sadar akhir pandemi belum pasti, dua pekan lalu Ostrad membuka usaha jualan bubur ayam di Sukajadi, Bandung. Ini cara menyibukkan diri untuk keluar dari kurungan kecemasan.
Sebagian uang bulanan dari orangtuanya disisihkan untuk merintis usaha tersebut. Ia mengeluarkan modal awal sekitar Rp 1,5 juta untuk menyewa lapak, membeli peralatan memasak dan gas. Sementara rekannya menyediakan gerobak dan bahan makanan.
Dengan aktivitas baru itu, Ostrad merasa kehidupannya lebih teratur. Ia bangun pagi paling telat pukul 05.00 karena harus berjualan pukul 06.00-10.00. ”Berjualan bubur ini juga menumbuhkan tanggung jawab. Bagaimana mengatur waktu, kegiatan, dan uang. Pikiran jadi lebih terbuka,” ujarnya.
Tanggung jawab yang tumbuh saat berjualan menyalakan kembali semangatnya untuk menamatkan kuliah. Ia menyadari, meskipun bukan jalan satu-satunya, lulus pendidikan tinggi akan membuka jalan untuk masa depan lebih baik.
”Yang terpenting, ini (menamatkan kuliah) juga tanggung jawab kepada orangtua di kampung. Mereka sudah bekerja keras agar bisa membiayai saya kuliah. Sekarang jadi lebih percaya diri untuk tamat,” ujarnya.
Pandemi juga mengungkung Dahlan (23) dalam ketakutan menganggur. Sudah enam bulan lulus kuliah, ia belum juga mendapatkan pekerjaan tetap. ”Sempat berpikir mau lanjut S-2. Namun, kalau niat awalnya enggak serius untuk kuliah, tetapi cuma menghindari status pengangguran, takutnya sia-sia,” ucapnya.
Untuk keluar dari kecemasan itu, Dahlan mengintensifkan komunikasi dengan teman-teman SMA dan kuliah. Mereka mengobrolkan banyak hal, mulai dari kebosanan karena pandemi hingga mengintip peluang mengeruk rupiah.
”Ternyata saya enggak sendiri. Banyak orang mengalami hal yang sama. Kuncinya menjalin komunikasi agar bisa berbagi keresahan sehingga tidak depresi,” ujarnya.
Dalam sepekan terakhir, Dahlan rajin membahas rencana mendistribusikan kopi ke beberapa kafe di Bandung. Mereka sedang menjajaki kerja sama dengan sejumlah petani kopi di Kabupaten Bandung dan Garut.
”Ekonomi mulai menggeliat. Kafe-kafe sudah ramai. Ini peluang bagus. Harus berani terjun ke kebun-kebun untuk mencari kopi berkualitas. Asal tidak gengsi, pasti selalu ada kesempatan,” ujarnya.
Meskipun anak muda bergairah tinggi untuk berkreativitas, mereka tetap tidak aman dari ancaman depresi. Penyebabnya beragam, mulai dari kebosanan, keraguan, hingga kekecewaan.
Dokter Spesialis Kejiwaan Rumah Sakit Melinda 2 Bandung, Teddy Hidayat, mengatakan, banyak anak muda mengalami gangguan tidur saat pandemi. Akibatnya, mereka mengantuk pada siang hari sehingga mengganggu aktivitas.
Kecemasan muncul saat mereka mulai membandingkan kondisi dan pencapaian saat pandemi dan sebelumnya. Hal ini melahirkan kekecewaan dan kecemasan karena hal-hal yang tidak memuaskan.
”Untuk gangguan jiwa yang paling berpotensi itu depresi. Bosan menjalani kegiatan saat pandemi karena adanya pembatasan,” ujarnya.
Untuk mengatasi hal itu, diperlukan pengelolaan kejiwaan menyeluruh. Salah satunya berkonsultasi dengan dokter kejiwaan. Teddy mengatakan, pada Mei tahun lalu, pihaknya bersama Pemerintah Provinsi Jabar serta sejumlah perguruan tinggi dan rumah sakit di Bandung meluncurkan aplikasi ”Ruangempat.com”. Lewat aplikasi ini, masyarakat dapat melakukan konsultasi kejiwaan secara gratis.
”Sudah lebih dari 1.000 orang yang berkonsultasi. Kebanyakan mahasiswa yang merasa bosan dan mengarah ke depresi. Ini menjadi tantangan untuk segera ditangani,” ucapnya.
Teddy memaparkan, untuk mencegah depresi, kebiasaan menyendiri harus dihindari. Bergabung dalam kegiatan sosial dan berolahraga sehingga berdampak positif pada kesehatan raga dan pikiran.
Lebih setahun pandemi, ancaman depresi karena kejenuhan aktivitas yang terbatas masih membayangi. Adrenalin tinggi anak-anak muda harus tersalurkan dalam kreativitas untuk lepas dari jeratan kecemasan.
Editor:
Cornelius Helmy Herlambang, Aloysius Budi Kurniawan