Gempa Bumi yang Mengingatkan Kita
Jawa Timur memiliki sejarah gempa sejak abad ke-14. Warga diharapkan mewaspadai dan belajar dari pengalaman masa lalu.
Dunia akan mengatur dirinya sendiri. Sebagaimana alam mengatur diri sendiri, tanpa bantuan ide-ide cemerlang kita. (Lao Tzu)
Malang Raya dan sekitarnya tersentak setelah Sabtu (10/4/2021) gempa bumi bermagnitudo 6,1 dan berpusat di 96 kilometer selatan Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur, mengguncang kedamaian dan kenyamanan kota peristirahatan itu. Rumah-rumah rusak, beberapa orang meninggal, dan warga di hampir seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur terkaget-kaget sebagai dampaknya.
Di kawasan kos mahasiswa Kelurahan Karangbesuki, Sumbersari, Kota Malang, gempa terasa kuat. Bangunan rumah bergetar. Warga berhamburan keluar rumah, penghuni rumah dan anak-anak menangis karena ketakutan.
Gempa berguncang dua kali. Saat gempa pertama, Amri, warga yang tinggal di kawasan itu, hanya terbangun dari kursi. Namun, saat gempa kedua dengan guncangan lebih keras, ia langsung menggendong dua anaknya keluar rumah. ”Baru kali ini saya merasakan gempa besar. Bangunan bergerak,” katanya. Jalan perumahan saat itu menjadi ramai karena semua warga keluar.
Di pusat perbelanjaan dan kompleks hotel Mall of Gajayana Malang, para penghuni hotel dan sekitar pusat perbelanjaan seketika berhamburan keluar ruangan ketika merasakan gempa. Pengunjung untuk beberapa waktu tak berani masuk kembali ke gedung.
Baca juga: Diguncang Gempa, Sejumlah Bangunan di Malang, Blitar, dan Lumajang Rusak
Sofiyeh (50), perempuan kepala keluarga asal Desa Ganjaran, Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang, mengalami nasib yang lebih malang. Rumah bagian depannya roboh dan dinding di kamar bagian depan retak. Hingga Sabtu petang, tampak raut mukanya masih tak percaya dengan kejadian yang baru saja dialaminya.
”Saat itu saya sedang tidur, lalu terasa gempa bumi cukup kencang. Suaranya juga keras. Lalu saya lari bersama anak dan cucu saya,” kata perempuan berkerudung itu. Saat gempa terjadi, Sofiyeh sedang berada di dalam rumah bersama anak, cucu, dan keponakannya.
”Dua anak kecil yang sedang bermain langsung saya gendong dan saya ajak lari ke belakang. Beruntung sekali kami bisa selamat,” kata Lukman (28), anak Sofiyeh.
Baca juga: Tujuh Kali Gempa Susulan di Selatan Malang
Sofiyeh adalah satu korban gempa yang meski berkesusahan, cukup beruntung karena tidak mengalami dampak fisik serius. Sejumlah orang di beberapa lokasi di Jawa Timur bahkan ada yang meninggal akibat tertimpa material yang berjatuhan karena gempa.
Dari setiap kesusahan, pasti akan ada hikmahnya. Sofiyeh bersykur karena ia dan keluarganya baik-baik saja meski rumahnya rusak. Bersyukur, menurut Sofiyeh, adalah cara paling mudah untuk terlepas dari ketakutan akibat gempa.
Hingga Sabtu malam, data jumlah korban dan bangunan rusak akibat gempa bumi M 6,1 yang terjadi pada Sabtu (10/4/2021) pukul 14.00 di Malang terus bertambah. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Jawa Timur merilis 7 orang meninggal dan 372 bangunan rusak akibat gempa Malang.
Waspada
Geoscientist Universitas Brawijaya, Malang, Adi Susilo mengatakan, kewaspadaan warga menjadi modal penting. ”Waspada itu penting, tetapi jangan sampai paranoid. Sebab, kalau paranoid, justru akan merusak dan menghancurkan kita sendiri,” kata Adi.
Baca juga: Ratusan Rumah di Malang dan Blitar Rusak Ringan-Berat
Sebagai pengamat kegempaan, ia melihat bahwa selama ini Jawa Timur memang sering terjadi gempa bumi. Hal itu karena lempeng batuan di bawah wilayah selatan Jawa Timur adalah lempeng tua sehingga mudah patah dan menimbulkan gempa.
”Oleh karena lempeng tua, maka akan sering patah dan menimbulkan gempa. Namun, gempa yang ditimbulkan biasanya tidak terlalu besar. Periodesasi gempa besar bisa dikatakan 20-30 tahun,” kata Adi.
Dalam opininya di Kompas Jawa Timur pada 25 Juli 2006, Adi sempat mendata 13.000 data gempa bumi yang didapatnya dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) sejak 1964 sampai 2006. Dari data itu, selanjutnya hanya dipilah untuk daerah Jawa Timur yang rentang daerahnya dimulai dari 6 sampai 11 derajat Lintang Selatan (LS) dan 111 sampai 115 derajat Bujur Timur (BT).
Data dikumpulkan adalah data gempa yang lebih besar dari 4,9 SR menurut skala BMG. Setelah diseleksi, tinggal 24 gempa yang tersisa yang bisa disajikan sebagai bahan analisis mengenai kegempaan di Jawa Timur.
Baca juga: Gempa Malang yang Merusak Bangunan
Dari temuannya, diketahui bahwa ternyata kejadian gempa cukup besar di Jatim terjadi antara 1967 dan 2003. Pada 1994, mendominasi banyaknya gempa berskala besar. Saat ditelisik lebih jauh, ternyata, dilihat dari posisi sumbernya, gempa tersebut masih di sekitar sumber dari gempa tsunami 3 Juni 1994. Adi mengatakan, gempa besar itu bisa jadi merupakan aftershock (gempa susulan setelah gempa tsunami tersebut).
”Dilihat dari posisi gempa, kebanyakan sumber gempa berada di lautan, di bagian selatan Jawa Timur dan Samudra Indonesia. Hanya beberapa saja yang sumbernya di darat atau sekitar 30 persennya saja,” kata Adi.
Dilihat dari posisi gempa, kebanyakan sumber gempa berada di lautan, di bagian selatan Jawa Timur dan Samudra Indonesia. Hanya beberapa saja yang sumbernya di darat atau sekitar 30 persennya saja.
Dari semua analisisnya, Adi saat itu menyimpulkan bahwa gempa besar di Jatim memiliki periodesasi, yaitu 20-30 tahun. Dan, di akhir tulisannya, Adi memprediksi bahwa gempa besar akan kembali terjadi dalam rentang tahun 2010-2020.
”Kali ini, gempa besar benar-benar terjadi pada awal 2021. Penyimpangannya tidak terlalu jauh. Artinya, memang periodesasi gempa besar di Jatim ini belum banyak berubah,” kata Adi.
Beberapa kejadian gempa bumi hebat di Jatim di antaranya adalah gempa yang diikuti tsunami di Banyuwangi (Rajekwesi), 3 Juni 1994. Gempa berkekuatan 7,6 skala Richter (SR) menurut USGS tersebut mengakibatkan tsunami yang menghancurkan banyak rumah, 121 orang meninggal, dan 236 orang luka-luka.
Di Banyuwangi juga pernah terjadi gempa pada 1967. Saat itu, kedalaman pusat gempa pada 88 kilometer yang posisinya adalah 9,130 LS dan 113,040 BT.
Baca juga: Infrastruktur Mitigasi Gempa dan Tsunami Perlu Ditingkatkan di Banyuwangi
Jika melihat lebih jauh, sejarahnya, Jawa Timur dan gempa bumi memang sudah terjadi sejak dahulu kala. Goenawan A Sambodo dari Komunitas Tapak Jejak Kerajaan pernah mencermati dampak gempa bumi pada era awal Kerajaan Majapahit dalam Prasasti Warungahan. Prasasti Warungahan adalah sebuah prasasti yang ditemukan di Kabupaten Tuban.
Prasasti mengenai penetapan Sima itu dibuat tahun 1305. Isinya adalah Sri Maharaja Nararyya Sanggramawijaya telah memberikan sebuah piagam peresmian penetapan ulang daerah. Alasannya adalah karena prasasti sebagai bukti penetapan dahulu hilang ketika terjadi gempa bumi. Artinya, gempa bumi ini sudah terjadi sejak lama. Tinggal bagaimana kita menyikapinya, akan menjadi lengah atau memilih waspada. (DIA/WER/NIT)