Keberanian korban merupakan kunci pengungkapan kasus pelecehan seksual. Kasus yang menimpa keponakan dosen Universitas Jember ini juga terkuak setelah korban memberanikan diri bersuara.
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·3 menit baca
BANYUWANGI, KOMPAS — Keberanian korban pelecehan seksual membuka suara membuat kasus pelecehan seksual yang menyeret dosen Universitas Jember, Jawa Timur, terkuak. Setelah kasus ini terkuak, LBH Jentera Perempuan Indonesia kini mulai mendapat laporan serupa.
Dosen Universitas Jember, RH, dilaporkan atas dugaan pelecehan seksual kepada keponakannya yang masih berusia 16 tahun. Korban dalam dua tahun terakhir ini tinggal dan diasuh di rumah terlapor.
Dihubungi dari Banyuwangi, Yamini, Direktur LBH Jentera Perempuan Indonesia, mengatakan mulai mendapat laporan dari korban pelecehan seksual lainnya. Para korban terdorong untuk menyampaikan pengalaman pahitnya setelah mengetahui ada keberanian dari korban lainnya.
”Setidaknya hingga kemarin malam sudah ada tiga orang yang mengaku bahwa dirinya pernah menjadi korban pelecehan seksual. Mereka menghubungi kami untuk sekadar cerita karena selama ini hanya memendamnya,” kata Yamini.
LBH Jentera Perempuan Indonesia merupakan lembaga bantuan hukum yang turut mengawal kasus pelecehan seksual yang dilakukan oknum dosen Universitas Jember. Mereka juga menjamin korban dan keluarganya mendapatkan hak-haknya.
Yamini mengatakan, keberanian korban merupakan kunci pengungkapan kasus pelecehan seksual. Kasus yang menimpa keponakan Dosen Universitas Jember ini juga terkuak setelah korban memberanikan diri bersuara.
”Setelah mendapat kekerasan seksual, penyitas ini mengunggah ulang konten Instagram dari akun @rahasiagadis yang berisi motivasi untuk para korban. Melalui unggahan itu, ia seolah ingin bicara, korban tidak perlu malu, justru pelaku yang harusnya malu,” tutur Yamini.
Selain mengunggah ulang konten @rahasiagadis, korban juga menambahkan beberapa kalimat, yaitu ”Stop pelecehan seksual; Menjadi korban tidak perlu takut; Tidak memandang siapa dirimu; Bahkan pakaian bukanlah penentu”.
Yamini berharap kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi para korban pelecehan seksual. Ia berharap korban-korban pelecehan seksual juga berani bersuara untuk mengungkap kebenaran.
Mekanisme penyelesaian
Dalam suatu kesempatan wawancara bersama wartawan, Rektor Universitas Jember Iwan Taruna mengatakan, pihaknya sudah memiliki mekanisme penyelesaian kasus pelecehan seksual yang melibatkan warga kampus. Kasus yang kali ini terjadi bukanlah yang pertama.
”Seperti kasus-kasus sebelumnya, kami pasti akan memberi sanksi. Sanksi ini diberikan supaya ada efek jera. Sanksi bisa berupa pencopotan jabatan struktural atau bahkan pemecatan. Ini sebenarnya bagian dari mitigasi agar kejadian serupa tidak terjadi kembali,” tutur Iwan.
Iwan juga mengimbau agar korban berani melaporkan dosen-dosen yang dinilai menyimpang. Ia berharap para korban tidak takut dan jangan hanya diam sehingga para pelaku jera dan kasus ini tidak terulang kembali.
Seperti kasus-kasus sebelumnya, kami pasti akan memberi sanksi supaya ada efek jera. Sanksi bisa berupa pencopotan jabatan struktural atau bahkan pemecatan. (Iwan Taruna)
Sementara itu, Ansorul Huda, kuasa hukum dosen RH, mengatakan, tidak semua informasi yang beredar di masyarakat terkait dosen RH benar adanya. Ia menyebut, tidak ada niat pelecehan seksual yang dilakukan kliennya kepada keponakannya tersebut.
”RH tidak memiliki niat melecehkan. Ia justru menganggap keponakannya tersebut seperti anaknya sendiri. RH sudah lama mengasuh keponakannya itu dan membiarkannya tinggal bersama istrinya di rumah,” ungkap Ansorul.
RH sudah merawat anak itu sejak kelas 2 SD. Saat RH studi lanjut di Australia, RH dikembalikan ke orangtua kandungnya. RH kembali dari studi pada 2017, dan sejak 2019 RH kembali mengasuh keponakan tersebut.
Ansorul menyebut, RH terus berupaya mencoba mengambil jalur kekeluargaan untuk menyelesaikan kasus ini. Ia berharap kasus ini bisa selesai tanpa merugikan pihak mana pun.