Kerusakan hulu di wilayah pegunungan Adonara diduga menjadi penyebab banjir bandang di pulau itu pada hari Minggu lalu.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
LARANTUKA, KOMPAS — Penebangan kayu dan pembukaan lahan marak terjadi beberapa tahun terakhir di wilayah pegunungan Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Kerusakan hulu ini diduga menjadi salah satu faktor pemicu banjir di wilayah ini.
Jejak kerusakan hutan itu terlihat pada kayu gelondongan yang dipotong menggunakan alat sensor. Ada juga kayu utuh yang tercerabut hingga akar-akarnya. Potongan kayu itu terbawa air hujan lewat kali mati antara Desa Waiburak dan Kelurahan Waiwerang. Air pun meluap meluluhlantakkan permukiman warga.
”Jadi, kerusakan itu seperti menunggu momentum kapan berubah menjadi bencana alam. Juga kondisi curah hujan memang terlalu ekstrem. Ini menjadi pelajaran berharga buat kita semua untuk menjaga alam,” kata Robet Mangu (60), warga Kelurahan Waiwerang, Kamis (9/4/2021).
Menurut Robet, di sisi utara Waiwerang dan Waiburak, penebangan kayu terjadi secara masif dalam kurun waktu sekitar 30 tahun terakhir. Kayu itu sebagian dipakai untuk membangun rumah dan sebagian dijual. Penebangan dilakukan secara sporadis di setiap lahan masing-masing warga tanpa terkontrol.
Selain itu, pembukaan lahan untuk perkebunan juga berlangsung terus-menerus seiring bertambahnya jumlah penduduk. Jumlah penduduk di pulau seluas 509 kilometer persegi itu kini sekitar 90.000 jiwa. Mayoritas warga setempat adalah petani. Areal penebangan kayu dan pembukaan lahan itu merupakan hutan adat milik masyarakat setempat.
Penebangan kayu terjadi secara masif dalam kurun waktu sekitar 30 tahun terakhir. Penebangan dilakukan secara sporadis di setiap lahan masing-masing warga tanpa terkontrol.
Selain itu, di sisi jalur aliran air kali mati juga terus tumbuh bangunan. Bahkan, di salah satu titik, seorang pengusaha lokal memperluas tempat penyimpanan kendaraan hingga masuk ke tengah kali. ”Mungkin lebar kali yang sebelumnya puluhan meter menjadi kurang dari 5 meter. Pas banjir ratusan kendaraan hilang,” kata Aleks (39), warga.
Aliran material tersumbat saat melewati badan kali yang sempit, kemudian meluap ke permukiman dengan radius lebih dari 100 meter. Akibatnya, sembilan orang ditemukan meninggal dan dua masih dalam pencarian. Ratusan rumah juga rusak, bahkan hanyut hingga ke laut. Puluhan kendaraan juga ikut tersapu.
Kondisi serupa terjadi di Desa Oyangbarang, sekitar 18 kilometer arah barat Waiwerang. Potongan kayu meluap dari badan kali, lalu menerjang perkampungan. Dua orang meninggal dan seorang lagi dalam pencarian. Adapun kerusakan material berupa puluhan rumah hanyut. ”Di bagian hulu sana orang sering potong kayu,” ucap Yanto Tukan (36), warga.
Sementara itu, di lokasi terparah, yakni Desa Nelelamadike, banjir bandang yang membawa material batu dan pasir menerjang puluhan rumah. Sebanyak 55 orang ditemukan meninggal dan satu korban masih dalam pencarian. Material itu mengalir lewat kali mati.
Menurut penuturan sejumlah warga, di bagian hulu daerah itu tidak ada penebangan kayu. Daerah tersebut berada di atas hamparan material vulkanik Gunung Ile Boleng. Desa itu berada di punggung gunung. Sepanjang jalur banjir bandang itu tumbuh pohon kelapa dan tanaman lainnya.
Sementara itu, Bupati Flores Timur Anton G Hadjon mengakui, kerusakan hutan di wilayah pegunungan menjadi salah satu penyebab. Ia berencana akan memerintahkan dinas terkait untuk memetakan lokasi gundul agar dilakukan reboisasi. Ia juga mengimbau masyarakat agar bijak mengelolah lahan mereka.