Ratusan Pengungsi akibat Badai Seroja di Kota Kupang Masih Bertahan
Kota Kupang menetapkan darurat bencana. ATM dan SPBU hanya beberapa yang beroperasi. Jaringan PLN dan internet belum berfungsi menyeluruh.
KUPANG, KOMPAS — Sebanyak 803 pengungsi akibat badai siklon tropis Seroja yang melanda Kupang masih bertahan di lokasi pengungsian. Rumah mereka rusak berat.
Kota Kupang menetapkan darurat bencana. Total kerugian sampai hari ini diperkirakan mencapai Rp 47 miliar. Anjungan tunai mandiri (ATM) dan stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) hanya beberapa yang beroperasi. Jaringan PLN dan internet belum berfungsi menyeluruh.
Kepala Pelaksana BPBD Kota Kupang Maxi Didok, Kamis (8/4/201), di Kupang, mengatakan, korban yang terdampak 6.320 orang atau 1.224 keluarga. Satu orang meninggal dan tujuh orang luka berat. Pemerintah Kota (Pemkot) Kupang telah menetapkan darurat bencana badai siklon tropis Seroja terhitung sejak Rabu (7/4/2021) sampai 14 hari ke depan.
”Dengan penetapan masa tanggap darurat di Kota Kupang, maka anggaran bencana tahun 2021 senilai Rp 5 miliar dapat dimanfaatkan. Laporan kerusakan 1.264 rumah dengan total kerugian mencapai Rp 47 miliar. Saat ini kami masih melakukan evakuasi dan pembersihan di jalan-jalan utama akibat pohon tumbang untuk membuka dan pemperlancar akses,” kata Didok.
Baca juga: Badai Siklon Tropis Seroja Terjang Kupang, Tiga Tewas
BPBD juga memberikan bantuan bersifat emergency kepada pengungsi di Gereja Elim dan Gereja Betlehem berupa selimut dan tikar yang tersisa tahun 2020. Logistik untuk 2021 belum ada stok. Karena itu, Pemkot telah menyurati Bulog, PLN, dan Telkom untuk menyiapkan logistik tambahan bagi warga terdampak.
Koordinator Pengungsi SDI Oesapa Selatan Kota Kupang, Petrus Liavithola, di lokasi pengungsian, mengatakan, para pengungsi ini berasal dari RT 005 RW 002 dan RT 006 RW 002 Kelurahan Oesapa Selatan, Kota Kupang. Awalnya, Senin (5/4/2021) pagi, mereka mengungsi di Kantor BPBD Kota Kupang, tetapi kemudian dipindahkan ke Gedung SDI Oesapa Selatan, Selasa (6/4/2021).
”Jumlah pengungsi 150 orang. Sebagian besar rumah mereka rusak berat. Kerusakan terjadi pada bagian atap yang terbongkar dengan rangka kayu atau bajanya. Sekitar 49 anak balita dan 21 warga lanjut usia ikut mengungsi. Jumlah pengungsi pada awalnya lebih dari 300 orang, tetapi 150 orang sudah pulang, menginap di rumah keluaga,” kata Petrus.
Baca juga: 11 Wilayah di NTT Terdampak Bencana, 68 Warga Meninggal Dunia
Siang hari, sebagian besar pengungsi pulang ke rumah, mengamankan barang-barang. Malam hari, kaum perempuan dan anak-anak pulang ke pengungsian, sementara laki-laki tetap berjaga di rumah.
Soal kebutuhan makan, minum, dan obat-obatan ditanggung dari pihak TNI dalam hal ini Korem 162/Wirasakti Kupang. Mereka membuka dapur umum, mengadakan tandon air, dan poliklinik darurat untuk membantu pengungsi. Namun, pengungsi masih membutuhkan selimut, tikar, bantal, popok bayi, dan pembalut.
Sekitar 49 anak balita dan 21 warga lanjut usia ikut mengungsi.
”Kami tidak tahu sampai kapan bertahan di pengungsian karena rumah tidak bisa ditempati. Semua pengungsi ini adalah warga miskin, sesuai laporan dari ketua RT masing-masing. Kami tunggu kebijakan lanjutan dari Pemerintah Kota Kupang,” kata Petrus.
Baca juga: Pemulihan Listrik di NTT Butuh Waktu Satu Bulan
Kepala Dapur Umum Pengungsi, Sertu I Wayan Budianya, mengatakan, begitu ada pengungsi di Kota Kupang, Komandan Korem 162/Wirasakti memerintahkan segera dibangun posko dapur umum dan klinik kesehatan untuk pengungsi. Ketiga dapur umum dibuka, bantuan dari beberapa donatur pun berdatangan.
Bantuan itu dari Bank Mandiri berupa bahan pokok, seperti beras, mi instan, minyak goreng, air mineral, susu, gula, kopi, dan teh. Bantuan juga datang dari Partai Golkar berupa bubur kacang ijo, juga beberapa lembaga lain. Selain itu, bantuan perorangan dari beberapa keluarga yang peduli terhadap para korban.
”Bantuan di sini tidak dalam bentuk uang. Kalau ada yang mau serahkan uang kami arahkan ke Dinas Sosial Kota Kupang. Kami hanya terima bahan makanan dan sejenisnya. Itu pun kami arahkan agar diserahkan langsung ke koordinator pengungsi atau perwakilan pengungsi sendiri, biar mereka yang tahu apa jenis bantuan dan berapa jumlahnya,” kata Wayan.
Baca juga: Memahami Anomali Seroja di NTT
Agustina Nale (51), pengungsi di SDI Oesapa, mengatakan, tidak hanya atap rumah yang rusak, tembok rumah pun roboh. Janda tiga anak ini mengatakan lebih memilih mengungsi karena tidak ada anggota keluarga yang bersedia menampung mereka.
Ia pun berharap Pemkot membantu memperbaiki rumahnya yang rusak, juga pengungsi lain, dalam waktu dekat. ”Kami tidak mau berlama-lama di pengungsian. Kami ingin segera pulang ke rumah. Informasi dari BMKG Kupang menyebutkan, hujan masih berlangsung sampai Mei 2021 sehingga saya sangat butuh perbaikan rumah segera mungkin,” kata Nale.
Pengamatan di Kota Kupang, masih terjadi antrean panjang di sejumlah ATM dan SPBU. Listrik pun baru melayani kantor-kantor pemerintah dan dua kelurahan, itu pun tidak semua rumah terlayani.
Baca juga: Siklon Seroja Menjauh, Hujan Ekstrem Masih Bisa Terjadi
Sejumlah warga memilih melakukan transaksi di ATM pada pukul 24.00 Wita sampai dini hari. Saat itu ATM masih sepi pengunjung. Ada lima ATM yang sudah beroperasi melayani nasabah. Rata-rata antrean per ATM mencapai 30-60 orang. Akibatnya terjadi kemacetan di jalan dekat ATM.
Sampai hari ini, listrik hanya menyala di kantor pemerintah. Layanan PLN ditargetkan satu bulan ke depan bisa melayani seluruh warga Kota Kupang. Pihak PLN dalam waktu dekat mengupayakan perbaikan di jalur utama, sementara rumah-rumah penduduk butuh waktu beberapa pekan ke depan.
Jaringan internet pun belum bisa diakses masyarakat Kota Kupang kecuali di Kantor Gubernur dan Wali Kota Kupang. Penormalan jaringan internet butuh waktu beberapa pekan.
Baca juga: Sungai Benanai Meluap, 23 Desa di Kabupaten Malaka NTT Terendam Banjir
Sementara itu, di Malaka, 230 kilometer dari Kota Kupang, 23 desa terendam banjir Sungai Benanai. Ribuan warga memilih mengungsi ke rumah keluarga, puskesmas, kantor desa, dan bahkan ada yang mengungsi ke dataran tinggi.
Kepala Desa Favoe, Kecamatan Malaka Barat, Yoseph Klau mengatakan, 320 warga di desa itu masih mengungsi. Hanya sekitar tujuh keluarga yang memilih bertahan karena rumah mereka didesain seperti panggung dengan ketinggian 5 meter sehingga banjir tidak masuk. Namun, mereka sulit beraktivitas karena dikepung banjir.