Tinggi Muka Air Danau Toba Menurun Drastis, Modifikasi Cuaca Dilakukan
Teknologi modifikasi cuaca diterapkan di daerah tangkapan air Danau Toba untuk meningkatkan tinggi muka air. Penurunan tinggi muka air membuat banyak dermaga tidak bisa digunakan, PLTA terancam berhenti beroperasi.
Oleh
NIKSON SINAGA DAN AUFRIDA WISMI WARASTRI
·4 menit baca
TARUTUNG, KOMPAS — Teknologi modifikasi cuaca diterapkan beberapa hari terakhir di daerah tangkapan air Danau Toba. Curah hujan mulai meningkat, tetapi tinggi muka air Danau Toba masih terus menurun. Penurunan tinggi muka air membuat banyak dermaga tidak bisa digunakan, PLTA terancam berhenti beroperasi, irigasi terganggu, pasokan air baku rumah tangga dan industri berkurang, serta pariwisata terancam.
Level tinggi muka air (TMA) Danau Toba per Selasa (6/4/2021) pun sudah berada 903,175 meter di atas permukaan laut (mdpl). ”Teknologi modifikasi cuaca diterapkan untuk menahan penurunan TMA Danau Toba agar tidak sampai ke level batas minimum, yakni 902,40 mdpl,” kata Koordinator Lapangan Teknologi Modifikasi Cuaca Daerah Aliran Sungai (DAS) Danau Toba Cornelius A Nababan, Rabu (7/4/2021).
Teknologi modifikasi cuaca dilakukan dengan menyemprotkan bahan semai flare cosat berupa kalsium klorida dan magnesium klorida dari bawah atau atas awan. Metode ini berbeda dengan penyemaian garam (NaCl) ke punggung awan yang biasa digunakan dalam menangani kebakaran hutan.
Pada tahap pertama, BPPT menyiapkan 169 batang flare cosat untuk disemai di awan selama 20 hari dengan menggunakan pesawat jenis Piper Cheyenne II. Kompas berkesempatan mengikuti penyemaian yang terbang dari Bandara Silangit, Kabupaten Tapanuli Utara.
Pesawat berkapasitas tujuh orang itu pun terbang mengelilingi Danau Toba mencari awan yang berpotensi disemai untuk mempercepat penurunan hujan dan meningkatkan curah hujan. Pesawat terbang selama satu jam mengitari seluruh daerah tangkapan air Danau Toba yang meliputi Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Samosir, Dairi, Karo, Simalungun, hingga Toba.
Cornelius mengatakan, rata-rata curah hujan di Danau Toba pada April 203 milimeter. Pelaksanaan TMC diharapkan dapat meningkatkan 20-30 persen dari curah hujan. ”Dalam beberapa hari ini, hujan mulai terjadi di beberapa wilayah di daerah tangkapan air Danau Toba, tetapi TMA Danau Toba masih terus menurun,” kata Cornelius.
Teknologi modifikasi cuaca dilakukan dengan menyemprotkan bahan semai flare cosat berupa kalsium klorida dan magnesium klorida dari bawah atau atas awan. Metode ini berbeda dengan penyemaian garam (NaCl) ke punggung awan yang biasa digunakan dalam menangani kebakaran hutan.
Menurut Cornelius, ada beberapa faktor yang membuat TMA Danau Toba masih menurun. Kemungkinan pertama, air hujan masih mengisi air tanah yang sudah kering. Kemungkinan lainnya, air yang keluar yang digunakan untuk PLTA masih lebih besar daripada air hujan yang masuk ke daerah tangkapan air Danau Toba.
Direktur Eksekutif Operasi dan Produksi PT Inalum (Persero) Reinaldy Harahap menyampaikan, batas minimum TMA Danau Toba 902.40 mdpl agar PLTA dapat beroperasi normal. ”Kondisi saat ini cukup mengkhawatirkan sehingga perlu langkah praktis untuk meningkatkan TMA Danau Toba. Salah satu solusinya adalah menerapkan teknologi modifikasi cuaca,” ujarnya.
Danau Toba menjadi sumber air utama tiga bendungan dan dua PLTA yang dikelola PT Inalum. Tiga bendungan itu yakni Bendungan Pengatur, Sigura-gura, dan Tangga. Sedangkan PLTA yaitu PLTA Sigura-gura dengan daya 286 megawatt dan PLTA Tangga 317 megawatt. Listrik itu digunakan untuk pabrik peleburan aluminium PT Inalum.
Staf Operasi PLTA PT Inalum Said Achmad Syah menjelaskan, laju penurunan TMA Danau Toba kini sekitar 1 sentimeter per hari. Setelah dilakukan modifikasi cuaca, penurunan TMA masih terjadi, tetapi lajunya menurun menjadi 0,7-0,8 sentimeter per hari.
Menurut Said, pihaknya menggunakan air Danau Toba dengan transparan dan prosedur ketat. Ketika TMA sudah berada di bawah 902,40 mdpl, PT Inalum hanya akan mengoperasikan dua dari delapan turbin pembangkit listrik. Daya listrik itu hanya untuk memanaskan tungku peleburan aluminium, tetapi tidak untuk berproduksi. ”Itu pernah terjadi sekitar tahun 1998,” kata Said.
Said mengatakan, berbagai langkah mereka lakukan ketika TMA Danau Toba sudah mendekati batas minimum. Ketika TMA sudah berada di 903,20 mdpl, langkah yang diambil adalah modifikasi cuaca di daerah tangkapan air Danau Toba.
Kerusakan lingkungan
Pelaku pariwisata Samosir, Ombang Siboro, mengatakan, dampak penurunan TMA Danau Toba sangat dirasakan warga. Yang paling terasa adalah semakin tingginya dermaga dari kapal yang merapat. ”Jadi penumpang kapal bukan lagi turun ke dermaga, tetapi naik,” kata Ombang.
Pantauan di lapangan, kondisi ini terjadi hampir di semua dermaga. Banyak dermaga yang tidak bisa lagi digunakan karena lantai dermaga berada sekitar 2 meter di atas dek kapal di kawasan strategis nasional itu.
Kapal-kapal kayu milik masyarakat tidak bisa bersandar di pelabuhan, tetapi menggunakan tangga kayu turun langsung ke pantai di samping dermaga. Di dermaga juga ditambahkan jembatan beton yang terjal agar mobil dari feri bisa naik ke dermaga.
TMA Danau Toba yang merupakan anggota Global Geopark Unesco itu pun turun hingga 2,5 meter. Garis pantai pun menyusut hingga 80 meter. Degradasi lingkungan telah membuat ratusan sungai yang bermuara di Danau Toba mengering saat musim kemarau dan banjir saat musim hujan. Mata pencarian warga pun terpuruk akibat kerusakan lingkungan itu.
Selain karena kerusakan lingkungan, Ombang menilai penggunaan air untuk PLTA selama ini tidak transparan karena penurunan air tidak hanya terjadi pada musim kemarau, tetapi juga pada musim hujan. Upaya meningkatkan TMA Danau Toba pun diharapkan tidak hanya dengan solusi jangka pendek dengan modifikasi cuaca. ”Hal yang paling penting adalah dengan menyelamatkan lingkungan hidup di daerah tangkapan air Danau Toba,” kata Ombang.