Danau Toba Surut 2,5 Meter
Kerusakan daerah tangkapan air di kawasan Danau Toba telah menyebabkan penurunan permukaan air hingga 2,5 meter selama tiga tahun terakhir. Garis pantai pun bergeser hingga 50-80 meter. Keseimbangan ekosistem mulai terganggu.
SAMOSIR, KOMPAS Kawasan Danau Toba menghadapi kerusakan lingkungan hidup dari hulu hingga hilir. Hutan di daerah tangkapan air rusak karena perambahan dan kebakaran. Danau dibebani limbah budidaya ikan dan limbah domestik yang melampaui daya dukung. Di hilir, air Danau Toba digunakan untuk pembangkit listrik tenaga air.
Dampak dari kerusakan lingkungan itu terlihat jelas dari penurunan tinggi permukaan air setinggi 2,5 meter yang menyebabkan bergesernya garis pantai 50-80 meter semakin ke tengah danau selama tiga tahun ini. Lebih dari 100 sungai di Pulau Samosir mengering sepanjang musim kemarau dan hanya mengalir beberapa hari saat musim hujan.
Bergesernya garis pantai Danau Toba terlihat jelas di kawasan wisata Pantai Pasir Putih Parbaba dan Pantai Indah Situngkir di Kecamatan Pangururan, Samosir, Sumatera Utara, Minggu (26/8/2018). Garis pantai saat ini terpaut jauh hingga 80 meter daripada garis pantai tiga tahun lalu.
Di pantai itu tampak dermaga kapal yang tidak bisa lagi digunakan karena jaraknya terpaut jauh dari perairan. Ada sejumlah wahana permainan air, seperti perosotan, yang sebelumnya berada di air kini sudah berada di darat. Sekitar perosotan air itu dipenuhi rumput tinggi dan menjadi tempat penggembalaan kerbau.
”Tiga tahun lalu, perosotan air ini merupakan wahana permainan yang ada di air sedalam satu meter. Air lalu surut secara ekstrem dalam tiga tahun ini,” kata Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Samosir Ombang Siboro.
Proses surutnya garis pantai tampak akan berlanjut karena masih muncul daratan-daratan baru berdiameter 5-10 meter di perairan di tepi danau. Jika musim kemarau berlanjut, daratan-daratan kecil itu akan semakin besar dan menyatu hingga menjadi daratan baru. Sebagian daratan yang sudah terlihat dalam beberapa tahun ini sudah ditumbuhi semak belukar dan jadi tempat penggembalaan kerbau.
Jalur joging di tepi danau di kawasan wisata Parbaba juga terpaut 80 meter dari garis pantai. Padahal, sebelumnya jalur joging itu sengaja dibuat 3-5 meter dari garis pantai agar wisatawan bisa menikmati keindahan danau sambil joging.
Dermaga-dermaga lain di Pulau Samosir, meskipun berada di perairan dalam, juga terdampak. Penumpang kesulitan keluar dari kapal karena dermaga kapal berada sangat jauh dari geladak kapal.
Tiga tahun lalu, dermaga sejajar dengan geladak kapal, tetapi kini sudah sejajar dengan atap kapal. Para kru kapal pun harus berjibaku mengangkat sepeda motor atau barang lain dari dalam kapal. Feri penyeberangan di Pelabuhan Ajibata kini tidak bersandar di dermaga beton, tetapi di dermaga tanah.
Menurut Ombang, kekeringan ini tidak hanya diakibatkan kerusakan di hulu, tetapi penggunaan air Danau Toba secara berlebihan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air Sigura-Gura di hulu Sungai Asahan. Sungai tersebut merupakan satu-satunya sungai pembuangan air Danau Toba.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Kabupaten Samosir Sudion Tamba mengatakan, kekeringan yang terjadi di kawasan Danau Toba disebabkan kerusakan daerah tangkapan air di Pulau Samosir dan di lingkar luar Danau Toba. ”Saat saya masih kecil, hutan di kawasan Danau Toba masih lebat. Meskipun hujan, sungai di Pulau Samosir tetap mengalir karena hujan sehari saja bisa membuat sungai mengalir selama tiga bulan. Kini, hujan hanya bisa membuat sungai mengalir dua jam,” tutur Sudion.
Ia mengatakan, tahun ini sudah lebih dari tiga bulan musim kemarau terjadi di kawasan Danau Toba, khususnya di Pulau Samosir. Musim kemarau panjang juga pernah terjadi sepanjang tahun 2015. Kini, sungai di Pulau Samosir yang jumlahnya lebih dari 100 sungai hampir semuanya mengering. Sudion menyebutkan, hanya dua sungai yang kini masih mengalir, yakni Binanga (Sungai) Silubung dan Binanga Guluan di Kecamatan Palipi. Itu pun debitnya sangat kecil, tidak semua badan sungai dialiri air.
Ia menambahkan, salah satu cara untuk menyelamatkan lingkungan Danau Toba adalah dengan menanam kembali pohon-pohon di daerah tangkapan air Danau Toba. Kebakaran hutan di perbukitan Danau Toba, katanya, juga harus dicegah karena membuat pohon tidak sempat tumbuh karena terbakar setiap tahun.
Mengganggu ekosistem
Menurut dia, berkurangnya air Danau Toba secara signifikan telah mengganggu keseimbangan ekosistem secara hebat. Rawa-rawa tempat pemijahan berbagai jenis ikan telah mengering dan menyebabkan berkurangnya jenis dan jumlah ikan di Danau Toba. Burung yang hidup di rawa tepi danau kini semakin sulit ditemukan.
Sejumlah fenomena yang terjadi di kawasan Danau Toba dalam tiga tahun ini, lanjutnya, diduga berkaitan dengan terganggunya keseimbangan ekosistem Danau Toba. Sudah beberapa kali ikan mati massal di keramba jaring apung. Pekan lalu, air danau di sekitar Kecamatan Harian yang sebelumnya berwarna biru berubah menjadi coklat pekat seperti bercampur lumpur.
Pemerhati lingkungan Danau Toba, Wilmar Simanjorang, mengatakan, kawasan Danau Toba kini sudah darurat lingkungan. Kebakaran lahan di perbukitan Danau Toba hampir terjadi setiap hari sepanjang musim kemarau. Kerusakan hutan di daerah tangkapan air Danau Toba pun tak kunjung diperbaiki. Luas daerah tangkapan air Danau Toba, kata Wilmar, kini tak sampai tiga kali luas Danau Toba, padahal seharusnya paling tidak lima kali luas Danau Toba.
Ia mengatakan, pembangunan pariwisata Danau Toba harus sejalan dengan perbaikan kerusakan lingkungan. ”Pariwisata Danau Toba tidak akan berkembang kalau lingkungan hidupnya rusak. Sekarang, pantai dibuka di mana-mana untuk pariwisata tanpa ada perencanaan jangka panjang yang memperhatikan aspek lingkungan,” kata Wilmar.
Menurut dia, dalam keadaan darurat lingkungan seperti sekarang, pemerintah harus melakukan upaya keras yang terencana dalam jangka pendek dan jangka panjang untuk memperbaiki kerusakan lingkungan hidup Danau Toba. (NSA)