Operasi Belum Optimal Hentikan Tambang Minyak Ilegal di Tahura
Operasi pemberantasan praktik tambang minyak ilegal di Batanghari, Jambi, tidak optimal. Setelah operasi selesai digelar, tak lama berselang petambang kembali menambang lagi.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
BATANGHARI, KOMPAS — Rangkaian operasi penegakan hukum masih belum optimal memberantas praktik tambang minyak ilegal di Jambi. Tanpa upaya terpadu, operasi hanya akan memindahkan praktik liar itu dari satu tempat ke tempat lain.
Operasi penegakan hukum tambang minyak ilegal di kawasan Taman Hutan Raya Sultan Thaha Syaifuddin, Batanghari, telah digelar gabungan sejak 2019, berlanjut 2020, dan dua kali pada awal tahun ini belum mampu menyetop aktivitas itu. ”Setelah dioperasi, masih ada juga (petambang) yang melakukan kegiatan kembali,” kata Muhamad Santoso, Wakil Direktur Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Jambi, Senin (5/4/2021).
Operasi kedua pada tahun ini digelar mulai Senin hingga Kamis. Secara teknis, operasi itu menutup lubang-lubang sumur yang masih terbuka, memutus tiang bor dan pipa tambang, dan menangkap pekerja yang masih ditemukan beroperasi.
Menurut Santoso, satu pekan sebelum operasi digelar, aparat mengadakan sosialisasi kepada petambang agar meninggalkan tempat. Para petambang mengetahui akan digelar operasi. Alhasil, saat tim menyebar di tahura, tidak tampak lagi ada aktivitas tambang liar. Namun, Kompas mendapati aroma pekat minyak di sekeliling kawasan itu.
Setelah dioperasi, masih ada juga (petambang) yang melakukan kegiatan kembali.
Tampak tampungan minyak masih mengisi sejumlah bak. Sebagian petambang juga telah memindahkan hasil minyaknya di jeriken dan drum, tetapi belum sempat dipindahkan dari lokasi.
Operasi itu diikuti tim gabungan aparat Polda Jambi dan jajarannya, Polres Batanghari serta Dinas Kehutanan Provinsi, Dinas Lingkungan Hidup Batanghari, dan Pertamina EP bersama PT Prakarsa Betung Meruo Senami (PBMS) selaku pemegang wilayah kerja pertambangan (WKP) dan rekanannya. Selain 180-an petugas, tiga alat berat didatangkan untuk menutup lubang-lubang di areal tambang.
Santoso mengakui operasi itu belum cukup optimal memberantas sebab setelah operasi selesai digelar, tak lama berselang petambang kembali beroperasi. Tahun 2019 terdata sekitar 1.400 lubang sumur tambang minyak ilegal beroperasi. Tahun ini, meskipun jumlahnya berkurang karena sebagian petambang pindah lokasi, ia memperkirakan masih 1000-an lubang sumur beroperasi di sana.
Kepala Bidang Tahura Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Batanghari SandhyaAnanda membenarkan sulitnya menghentikan aktivitas tambang minyak ilegal di wilayah itu. Para petambang kerap kucing-kucingan. Ketika aparat pergi, mereka kembali beroperasi. Akibatnya, upaya pemberantasan sulit berhasil. Padahal, praktik tambang liar di sana telah sangat mencemari lingkungan setempat.
Survei kesehatan lingkungan oleh DLH Batanghari pada 2019 lalu menyimpulkan lokasi itu tidak layak lagi dihuni makhluk hidup. Suhu udara dan air meningkat tajam, sedangkan keasaman (pH) air tinggi. Air sumur didapati ber-pH 5, tidak layak konsumsi karena terlalu asam.
Akibat pencemaran itu, warga pun tak dapat memanfaatkan air bersih dari mata air ataupun sungai. Diperkirakan 15.000 warga di tiga desa, yakni Bungku, Pompa Air, dan Mekar Jaya, Kecamatan Bajubang, terpaksa mendapatkan air bersih dengan cara membeli. Sebab, air dalam sumur-sumur telah tercemar. Limbah minyak hasil tambang menggenang dan meresap ke air tanah. Kondisi itu tidak memungkinkan untuk keberlangsungan kehidupan satwa air.
Polisi Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Kurnia menambahkan, pihaknya terus berupaya mendukung operasi berjalan. Sebab, aktivitas itu telah menyebabkan kerusakan kawasan hutan.