Sekolah Srikandi Desa, Saat Perempuan di Batu Mencoba Lebih Berdaya
Perempuan di Kota Batu, Jawa Timur, berdaya berkat Sekolah Srikandi Desa. Di sekolah informal itu, mereka tak hanya mendapat ilmu, tapi juga pengalaman untuk bekal menjalani hidup lebih mandiri.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·5 menit baca
Sambil duduk lesehan di atas karpet, sekitar 30 perempuan berkumpul di pendopo Balai Desa Giripurno, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur. Dari mereka yang hadir, beberapa di antaranya membawa anak yang masih kecil. Bahkan, salah satu anak masih terlelap di gendongan ibunya.
Rabu (10/3/2021) sore itu, tidak hanya alumni Sekolah Perempuan (SP) yang hadir di tempat itu, tetapi juga calon peserta sekolah yang sama. Ada juga pengurus organisasi Suara Perempuan Desa (SPD), pengurus PKK desa setempat, hingga perwakilan dari Dinas Pendidikan Kota Batu.
Setelah vakum setahun akibat pandemi Covid-19, baru kali ini mereka kembali menggelar kegiatan. Bersamaan dengan peringatan Hari Perempuan Internasional, mereka meluncurkan nama baru—untuk menggantikan nama sekolah yang sama—menjadi Sekolah Srikandi Desa (SSD).
Pada peluncuran SSD ini mereka juga mendapat pencerahan soal literasi digital dengan tema ”Cerdas Bermedia Sosial” dengan narasumber akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang dan jurnalis dari Aliansi Jurnalis Independen Malang.
Berbeda dengan saat masih menjadi SP, dalam SSD ini muatan pendidikan ditambah dengan penguatan ekonomi perempuan. Sebelumnya, materinya lebih banyak berupa pengetahuan praktis, pengetahuan strategis, dan keterampilan. Juga isu-isu kesehatan, penyalahgunaan narkotika, kampanye menolak pernikahan dini, dan hak-hak perempuan lainnya.
”Penguatan ekonomi dipilih, katanya perempuan kebanyakan tidak bisa mencari nafkah. Makanya kita dibekali dengan keterampilan supaya sambil momong anak, kita tetap bisa menghasilkan pendapatan ekonomi dari rumah,” ujar Ketua SSD Mianah.
Meski berganti nama, SSD tetap merangkul para perempuan desa sebagai peserta. Siapa pun boleh masuk, apakah itu mereka yang berlatar belakang petani, pedagang, ibu rumah tangga, dan lainnya.
Mianah awalnya adalah satu peserta sekolah informal ini. Ia merupakan siswa SP angkatan ketujuh. Dia tidak ingin kegiatan pendidikan di SP berakhir pascawisuda, setelah itu tidak ada lanjutan. Oleh karena itu, dirinya bersama yang lain berharap terus ada tindak lanjut dalam hal pemberdayaan bagi perempuan.
Untuk mendukung penguatan ekonomi itu, mereka membentuk koperasi simpan pinjam pada Februari 2021. Saat ini, anggota koperasi baru mencapai 20 orang. Usahanya pun mandiri, patungan. Satu anggota dikenai iuran pokok Rp 50.000 dan iuran wajib Rp 10.000 per bulan.
Ke depan, koperasi yang baru berumur satu bulan itu diharapkan bukan hanya melayani simpan pinjam anggotanya, melainkan juga bisa berbuat banyak dalam rangka pemberdayaan. Koperasi akan menampung hasil karya murid SSD—setelah mereka dibekali keterampilan.
”Hasil karya teman-teman akan kami tampung di koperasi. Mereka yang sudah dapat keterampilan akan dipinjami uang dari koperasi untuk modal membuat keterampilan. Nanti koperasi yang akan menampung dan menjualkannya,” ucapnya.
Pengembangan ekonomi melalui koperasi dinilai menjadi alat yang pas bagi peserta SSD dalam meningkatkan daya tahan ekonomi mereka. Karena tanpa kekuatan ekonomi, perempuan akan sulit mengakses hak-haknya. Mereka akan terus kalah dibandingkan dominasi laki-laki.
”Opo-opo nek ngenteni diwenehi bojo sulit (apa-apa kalau menanti diberi oleh suami maka sulit bagi perempuan). Kalau punya pendapatan sendiri, mereka lebih leluasa untuk belanja apa yang diinginkan,” tutur pendiri SP dan SPD, Salma Safitri Rahayaan.
Menurut Salma, proses panjang telah dilalui oleh SP di Batu. Tidak hanya memberikan pemahaman melalui kelas, mereka juga beberapa kali menggelar aksi damai di Alun-alun Kota Batu. Aksi yang mereka lakukan, antara lain, menolak perkawinan anak, menentang pornografi, penyalahgunaan narkotika, hingga berkunjung ke tempat ibadah umat beragama lain dalam rangka memupuk toleransi.
Penguatan ekonomi dipilih, katanya perempuan kebanyakan tidak bisa mencari nafkah.
Keberadaan SP sendiri berawal dari 2013. Saat itu, SSD dan Karya Bunda Community menyelenggarakan SP di tujuh desa, termasuk Desa Giripurno yang pesertanya pada tahun 2016 peserta paling banyak (70 orang lebih).
”Dalam perjalanan waktu, siswa mrotholi (keluar) adalah hal biasa karena mereka punya kesibukan momong anak dan lainnya,” kata Salma.
Menurut Salma, sekolah bagi kaum perempuan sengaja didirikan dengan alasan mereka punya hak untuk mendapatkan pengetahuan dan pendidikan. Namun, banyak di antara kaum perempuan yang tidak punya akses, baik pendidikan formal maupun nonformal.
Sebagai gambaran berdasarkan data statistik, menurut Salma saat pendirian sekolah, dari total populasi penduduk di Batu (200.000 jiwa), hanya 67 yang menyelesaikan pendidikan dasar SD/SMP. Perempuan berumur 17-18 tahun banyak yang menikah. Yang tamat kuliah tidak sampai 1 persen dan tamat SMA tidak sampai 20 persen.
Perempuan lulusan SMP yang kemudian bekerja dan menikah tentu tidak memiliki banyak bekal pengetahuan guna mendidik anak-anak mereka. Karena itu, perempuan desa perlu diberi akses untuk mendapatkan pendidikan dan pengetahuan guna mengembangkan diri mereka dan membina keluarganya.
Sejak 2013 sampai 2019, sudah ratusan orang yang bergabung dengan SP. Untuk memberikan materi, SP menggandeng instansi pemerintah, organisasi nonpemerintah, hingga perguruan tinggi guna memberikan materi.
Sebagai gambaran melihat data Badan Pusat Statistik tahun 2019, angka partisipasi sekolah terbesar berada pada kelompok umur 12-17 tahun. Semakin meningkat kelompok umur, nilai partisipasinya menurun. Untuk kelompok umur 16-18 tahun, angka partisipasinya 77,67 persen. Artinya, masih ada 22,33 persen penduduk pada kelompok ini yang tidak sekolah.
Kepala Bidang Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, Dinas Pendidikan Kota Batu, Farida Anifah mengatakan, Pemerintah Kota (Pemkot) Batu mendukung keberadaan SP. Karena apa yang mereka lakukan akan meningkatkan hajat hidup perempuan desa.
Dukungan yang diberikan Pemkot Batu, menurut Farida, berupa peralatan dan konsumsi. Namun, program itu terhenti pada tahun 2020 lantaran semua anggaran dialihkan untuk penanganan Covid-19.
”Ke depan, ada wacana baru lagi, kegiatan ini akan diikutsertakan pada Dinas pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana. Tidak lagi ikut ke Dinas Pendidikan seperti 2018-1019,” katanya. Menurut Farida, kondisi pendidikan perempuan di Batu relatif lebih maju ketimbang daerah lain.
Oleh karena itu, tidak berlebihan kiranya jika upaya yang coba diraih oleh kaum perempuan di Batu bakal membuat mereka lebih berdaya lagi, terutama dari sisi ekonomi.