Pelaporan Kasus Penolakan Jenazah Covid-19 di Banyumas Dilandasi Empati Kemanusiaan
Kasus penolakan pemakaman jenazah pasien Covid-19 di Banyumas, Jateng, dilaporkan ke penegak hukum karena rasa empati dan demi melindungi kemanusiaan. Kasus ini diharapkan jadi pembelajaran supaya tidak terulang lagi.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
Slamet (46), perangkat desa, menangis karena terjerat pidana terkait penolakan jenazah pasien terkonfirmasi positif Covid-19 di Desa Glempang, Pekuncen, Banyumas, Jawa Tengah, Kamis (18/3/2021).
PURWOKERTO, KOMPAS — Kasus penolakan pemakaman jenazah pasien Covid-19 di Banyumas, Jawa Tengah, yang dibawa hingga meja hijau berakar dari rasa empati dan keberpihakan terhadap nilai kemanusiaan. Diharapkan kasus serupa tidak terjadi lagi.
”Saya tidak bisa menerima perlakuan yang seperti itu. Tidak ada seorang pun yang bisa memilih meninggal dengan cara apa, termasuk tidak ada orang yang memilih dengan cara Covid-19. Itu bagian dari takdir dan Covid-19 itu, kan, sebagai musibah yang harus kita sikapi bersama,” kata Tri Wuryaningsih, pelapor dalam kasus ini, di Purwokerto, Banyumas, Jumat (19/3/2021).
Tri menyampaikan, dirinya mewakili Forum Perempuan Peduli Covid-19 Kabupaten Banyumas melaporkan kasus penolakan pemakaman jenazah pasien Covid-19 ke Kepolisian Resor Kota Banyumas pada 2 April 2020. Hal itu dilakukan setelah mengikuti kronologi kasus penolakan pemakaman itu.
”Penolakannya sangat keras, ada pelemparan. Bahkan, dalam insiden itu, sampai ada petugas BPBD yang kepalanya bocor dan dijahit. Perilaku seperti itu, kan, jelas jauh dari nilai-nilai kemanusiaan ataupun juga nilai-nilai agama,” ujar Tri.
KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
Tri Wuryaningsih
Tri mengatakan, perlakuan seperti itu tidak bisa diterimanya secara pribadi, apalagi jika dialami oleh keluarganya sendiri. ”Misalnya, itu terjadi pada keluarga saya, itu saya tidak bisa terima. Artinya, ini muncul dari rasa empati terhadap perlakuan penolakan yang seperti itu,” kata Tri.
Menurut Tri, pihaknya tidak berpikir jenis hukuman apa atau berapa lama hukuman yang akan diberikan kepada para pelaku penolakan pemakaman jenazah Covid-19 itu. Namun, pelaporan ini adalah demi pembelajaran.
”Saya tidak berpikir hukuman apa, mau 2 bulan, 6 bulan atau apa. Artinya, saya berpikir itu untuk pembelajaran supaya tidak jadi preseden buruk, supaya tidak ada lagi kasus-kasus penolakan seperti itu,” ujar Tri. Saat ini, kata Tri, pihaknya menghormati proses hukum yang sedang berjalan.
”Hukuman pidana itu, kan, bukan satu-satunya. Saya tidak berpikir mau divonis berapa pun, monggo itu proses hukum. Saya menghormati proses hukum. Bagaimanapun, penegak hukum itu punya pertimbangan matang-matang. Ada payung hukum, ada undang-undang yang mengatur tentang itu. Para hakim itu juga tidak mengada-ada,” ujarnya.
KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) Kabupaten Banyumas menunjukkan surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo untuk membebaskan Slamet (46) yang terjerat hukuman terkait penolakan jenazah pasien terkonfirmasi positif Covid-19 di Desa Glempang, Pekuncen, Banyumas, Jawa Tengah, Kamis (18/3/2021).
Ketua Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) Kabupaten Banyumas Slamet Mubarok menyampaikan, pihaknya masih menunggu putusan Mahkamah Agung (MA) atas kasasi yang diajukan demi membebaskan Slamet (46), perangkat Desa Glempang, Kecamatan Pekuncen, yang telah divonis 6 bulan penjara oleh Pengadilan Tinggi Jawa Tengah. ”Kami menunggu putusan MA sambil melihat situasi dan kondisi,” kata Slamet Mubarok.
Diberitakan Kompas.id, Kamis (18/3/2021), PPDI Kabupaten Banyumas menyerukan pembebasan Slamet (46), Kepala Urusan Perencanaan Desa Glempang, dari hukuman terkait penolakan pemakaman jenazah pasien Covid-19. Mereka melayangkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo atas kasus ini.
Slamet Mubarok menyampaikan, proses hukum Slamet ini bersamaan dengan dua warga lainnya, yaitu Karno (47) dan Tio (35), yang divonis penjara 2 bulan oleh Pengadilan Negeri Purwokerto dari tuntutan jaksa 6 bulan. Dalam putusan banding, pengadilan tinggi memvonis para tersangka 6 bulan penjara. Atas putusan itu, Slamet mengajukan kasasi ke MA.
Slamet mengatakan, dia keberatan atas putusan itu karena semata-mata dirinya hanya bekerja menjalankan amanah kepala desa untuk melindungi warga dari Covid-19. Akibat pengetahuan yang minim terkait Covid-19 saat itu, warga memblokade jalan untuk menghalangi mobil ambulans yang dipakai untuk membawa jenazah pasien Covid-19.