Penyintas Sinabung Sambut Hidup Sejahtera di Tanah Pengharapan
Setelah lima tahun menjalani kehidupan baru di rumah dan ladang bantuan pemerintah, penyintas bencana letusan Gunung Sinabung bangkit. Tanaman di lahan pertanian mereka tumbuh subur dan memberikan penghidupan baru.
Oleh
NIKSON SINAGA
·5 menit baca
Setelah lima tahun menjalani kehidupan baru di rumah dan lahan pertanian bantuan pemerintah, para penyintas bencana letusan Gunung Sinabung mulai bangkit. Tanaman di lahan pertanian mereka tumbuh subur dan memberikan penghidupan baru. Para penyintas meninggalkan hidup kelam di posko pengungsian dan kini menyambut kesejahteraan dari kehidupan baru.
Suasana di hamparan lahan usaha tani para penyintas bencana di kawasan Siosar, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, terasa sangat sejuk, Kamis (4/3/2021) pagi. Berbagai jenis tanaman tumbuh subur di hamparan ladang pertanian yang berada di ketinggian sekitar 1.500 meter di atas permukaan laut itu.
Tanaman kopi arabika mendominasi di hamparan lahan pertanian dengan topografi berbukit-bukit itu. Kopi berbuah lebat dengan warna merah cerah. Petani juga menanam pisang dan berbagai jenis hortikultura, seperti kol, cabai, tomat, mentimun, dan kentang, yang tumbuh subur di antara tanaman kopi.
Para penyintas pun tampak riang gembira mengolah lahan pertaniannya. Di antara mereka ada pasangan suami-istri Siangkaan Ginting (44) dan Permata beru Karo (43). Anak-anak mereka pun ikut membantu mereka menyiangi rumput dan menabur pupuk untuk tanaman sayuran.
”Kami sangat bersyukur saat ini sudah punya kehidupan baru. Lahan setengah hektar bantuan pemerintah menjadi sumber kehidupan kami saat ini,” kata Permata.
Dari ladangnya, Permata memanen rata-rata 70 kilogram kopi per dua minggu. Dengan harga Rp 20.000 per kilogram, ia mendapat Rp 1,4 juta per dua minggu. Saat harga kopi normal sekitar Rp 30.000 per kilogram, ia mendapat hasil lebih banyak.
Selain dari kopi, Permata juga mendapat hasil dari penjualan pisang, kol, cabai merah, dan tomat yang ia tanam secara tumpang sari di sela-sela tanaman kopi. ”Kami sudah senang bisa tinggal di sini. Kalau diminta ke tempat lain pun kami tidak mau lagi,” kata Permata.
Kehidupan para penyintas di kawasan relokasi Siosar telah melewati jalan berliku yang panjang. Setelah Sinabung meletus secara terus-menerus sejak 2010, warga dari sekitar Sinabung bolak-balik mengungsi.
”Terakhir, saya dan keluarga hidup di posko pengungsian bekas Universitas Karo selama 2,5 tahun. Anak saya yang paling kecil, Neila beru Ginting (6), bahkan lahir di posko pengungsian. Sekarang dia sudah sekolah di taman kanak-kanak,” kata Permata.
Para pengungsi memulai hidup baru setelah mendapat bantuan rumah dan ladang setengah hektar per keluarga pada 2015. Relokasi tahap I diperuntukkan bagi pengungsi dari Desa Bekerah, Sukameriah, dan Simacem, kawasan yang kini telah tertimbun batu dan abu letusan Sinabung. Relokasi dilakukan dengan membangun 473 rumah dan menyediakan 457 bidang lahan pertanian.
Sabar Ginting (67), penyintas lainnya, mengatakan, hidup mereka tidak serta-merta berubah setelah mendapat bantuan rumah dan ladang yang dibangun di bekas hutan pinus yang sudah dilepas dari kawasan hutan. Saat pertama kali ke sana, batang pinus masih menumpuk di ladang.
”Ketika itu, kami tidak tahu akan seperti apa hidup kami. Kami tetap semangat karena ini satu-satunya jalan untuk bertahan dari bencana. Kami hampir putus asa hidup bertahun-tahun di posko pengungsian,” kata Sabar.
Para penyintas lalu menyingkirkan tumpukan batang pinus di ladang. Di awal bertani, hasilnya tidak memuaskan. Mereka pun membeli pupuk kandang agar tanahnya bertambah subur dan gembur. ”Kami sudah pergi ke ladang sebelum matahari terbit dan baru pulang ke rumah menjelang malam. Kami bekerja keras agar bisa mengubah hidup kami,” kata Sabar.
Hasil pertanian membaik
Berlahan-lahan, hasil pertanian mereka membaik. Mereka pun bisa membiayai anak bersekolah dan memperbaiki rumahnya. Rumah-rumah penyintas kini semakin besar. Hampir semuanya sudah ditambah dapur, kamar, dan teras rumah.
Sudah banyak juga dari mereka yang membeli sepeda motor dari hasil bertani. Kompleks perumahan mereka juga tampak bersih dan rapi. Anak-anak bermain dengan riang gembira di kawasan itu. Orang-orang tampak mengobrol di warung kopi.
Salah seorang penyintas bahkan ada yang mendirikan kafe di ladangnya, yakni Mbiri Pelawi (45). Para pekerjanya juga anak-anak penyintas. Pengunjungnya adalah wisatawan yang menginap di vila atau berkunjung ke destinasi di dekat kawasan relokasi. ”Awalnya kafe saya hanya kecil. Karena pengunjungnya banyak, saya perluas lagi,” kata Mbiri.
Meskipun hanya kafe kecil milik seorang penyintas bencana, dengan inisiatif sendiri Mbiri melaporkan dan memotong 10 persen hasil penjualannya untuk pajak daerah. Sebagai pengusaha, ia berprinsip harus memenuhi kewajibannya kepada negara.
Masalah relokasi
Kehidupan penyintas di relokasi tahap I di Siosar memang bukan gambaran umum seluruh penanganan pengungsi Sinabung. Relokasi tahap II dan III menyimpan banyak persoalan yang tidak selesai hingga kini. Relokasi tahap II memberikan bantuan membeli rumah Rp 59,4 juta per keluarga bagi 1.811 keluarga dan bantuan membeli ladang Rp 50,6 juta per keluarga bagi 1.858 keluarga.
Masih banyak rumah relokasi tahap II yang tidak bisa ditempati. Uang bantuan juga tidak cukup untuk membeli ladang. Sebagian kini kembali bertani di desanya di zona merah yang berbahaya.
Relokasi tahap III pun hingga kini belum tuntas. Metodenya sama dengan tahap I. Pemerintah membangun 892 rumah di kawasan Siosar dan menyiapkan 1.022 bidang ladang. Rumah mereka sudah selesai, tetapi lahan pertanian belum tersedia.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo Natanael Perangin-Angin mengatakan, penanganan pengungsi bencana letusan Sinabung merupakan prioritas mereka. Mereka menargetkan, relokasi tahap III atau relokasi terakhir bisa tuntas tahun ini. ”Rumah sudah selesai, tetapi belum ditempati karena lahan usaha tani belum siap,” kata Natanael.
Natanael mengatakan, mereka berharap relokasi tahap III bisa berjalan sebagaimana relokasi tahap I. Penyediaan lahan pertanian sangat penting karena akan menjadi sumber ekonomi utama masyarakat. Program relokasi pun akan sangat menentukan kehidupan penyintas ke depan.
Di lahan pertanian Siosar, Permata dan penyintas lainnya sedang sibuk merawat tanamannya. Mereka mungkin tidak akan melupakan rumah, ladang, dan desa mereka yang telah tertimbun batuan dan abu di kaki Gunung Sinabung. Juga kehidupan kelam bertahun-tahun tinggal di posko pengungsian. Namun, mereka kini menyambut kesejahteraan dari kehidupan baru di tanah pengharapan.…