Basing Sembiring Memuliakan Kentang dan Pengungsi Sinabung
Oleh
Nikson Sinaga
·5 menit baca
Warga Desa Kuta Rayat tidak bisa langsung bertani saat dipulangkan dari pos pengungsian akibat erupsi Gunung Sinabung, awal tahun 2017 lalu. Setelah 20 bulan ditinggalkan, ladang mereka ditimbun abu dan batu hasil letusan Sinabung hingga setinggi setengah meter. Namun, semangat Basing Sembiring (73) tidak ikut tertimbun. Ia membentuk kelompok tani lalu memproduksi bibit kentang unggul melalui metode kultur jaringan.
Rumah hijau tempat pembibitan kentang yang dikembangkan Kelompok Tani Terakep di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kabupaten Karo, tampak seperti laboratorium percobaan, akhir Mei lalu. Tanaman kentang disusun dua tingkat di dalam rumah hijau berukuran 10 meter x 20 meter. Rumah hijau itu beratap plastik transparan, dinding kain kasa, dan kerangka bambu.
Basing sibuk memotong cabang tanaman kentang yang sudah tumbuh di rumah hijau itu. Setelah diberikan zat perangsang akar, dengan hati-hati ia menanam cabang tanaman itu ke media tanam agar bisa tumbuh menjadi tanaman baru. Sedangkan anggota kelompok lainnya sedang sibuk dengan pekerjaan lainnya. Rumah hijau tempat pembibitan kentang itu dirintis Basing untuk memulihkan ekonomi warga yang baru pulang dari pos pengungsian, Februari 2017.
Produktivitas kentang terus menurun dari tahun ke tahun hingga di bawah 10 ton per hektar per panen per empat bulan. Padahal, sebelumnya hasil kentang mencapai 30 ton per hektar
Saat itu, sebanyak 577 keluarga pengungsi dari Desa Kuta Rayat diperbolehkan pulang dari pos pengungsian setelah desa mereka yang berjarak empat kilometer di utara Gunung Sinabung dinyatakan aman dari awan panas guguran.
Saat pulang itu, warga desa tidak hanya menghadapi bencana letusan gunung api. Hasil pertanian kentang sudah bertahun-tahun anjlok karena kualitas bibit rendah. “Produktivitas kentang terus menurun dari tahun ke tahun hingga di bawah 10 ton per hektar per panen per empat bulan. Padahal, sebelumnya hasil kentang mencapai 30 ton per hektar,” kata Basing.
Metode pembibitan kultur jaringan, kata Basing, menjadi salah satu solusi untuk menghasilkan bibit unggul. Kultur jaringan merupakan metode perbanyakan tanaman secara vegetatif dengan membudidayakan kelompok sel atau jaringan tanaman dalam media botol yang bebas dari mikroorganisme. Metode ini membuat perbanyakan tanaman lebih cepat dan banyak, kualitas seragam, sifat sama dengan induk, dan bebas dari bibit penyakit.
Basing sebenarnya sudah mengetahui penyebab anjloknya produktivitas kentang itu. Bibit yang ditanam petani merupakan generasi G-10 atau lebih. Umbi kentang sering kali busuk dan tanaman layu diserang bakteri Ralstonia solanacearum, Erwinia carotovota, dan jamur Fusarium sehingga sekitar 20 persen umbi yang ditanam tidak tumbuh.
Sebelum letusan Sinabung, Basing sudah berkali-kali mengajak petani membibitkan tanaman dengan kultur jaringan. Namun, gagasan Basing tidak diterima karena mereka masih merasa beruntung meskipun hasilnya menurun. “Warga juga tidak yakin melihat planlet (hasil kultur jaringan di botol) karena tampak hanya seperti akar putih,” kata Basing.
Namun, keterpurukan petani selama bencana membuat mereka mau mencoba kultur jaringan. Basing pun kembali menerapkan ilmu yang ia dapat dari pelatihan dan pendampingan lembaga International Potato Centre dan World Education tahun 1997 hingga 2001 di Karo.
Ia lalu membentuk Kelompok Tani Terakep dengan anggota 22 petani. Dalam bahasa Karo, terakep artinya lebih baik. Nama itu sekaligus akronim dari Tempat Rapat Anggota Kelompok Menyelesaikan Permasalahan Pertanian.
Setelah kelompok terbentuk, Terakep lalu membangun rumah hijau pertama berukuran 5 meter x 20 meter. Mereka mengumpulkan uang untuk membeli kain kasa Rp 1,4 juta dan plastik transparan Rp 200.000. Anggota kelompok juga mencari bambu untuk kerangka rumah hijau.
Setelah rumah hijau berhasil dibangun, mereka membeli 10 botol planlet seharga Rp 50.000 per botol dari Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Kementerian Pertanian di Tongkoh, Karo. Satu botol berisi sepuluh tanaman kentang. “Balitsa memberi kami bantuan lima botol. Jadi ada 15 botol planlet yang kami tanam pertama kali,” katanya.
Kami minta istri para anggota yang memanen agar mereka melihat hasilnya. Ini agar kami bisa dapat modal lagi dari istri
Setelah mendapat planlet dari Balitsa Tongkoh, Kelompok Terakep menyiapkan media tanam steril berupa tanah lapisan atas, kotoran sapi, dan sekam padi dengan perbandingan sama hingga proses pertanian lainnya.
Kelompok Terakep sudah memanen 30.000 umbi kentang G-0, Oktober 2017. Hasilnya dibagikan kepada anggota. “Kami minta istri para anggota yang memanen agar mereka melihat hasilnya. Ini agar kami bisa dapat modal lagi dari istri,” katanya sambil tertawa.
Basing lalu meminta anggota kelompok menanam bibit kentang tersebut di ladang yang belum pernah ditanami kentang untuk menghindari serangan bakteri dan jamur yang sama. Ia meminta agar kentang ditanam setelah melewati masa berhenti tumbuh (dormansi) 3-4 bulan.
Hasil panen pertama dibagi pada tiap anggota, masing-masing mendapat 1.200 umbi kentang. Mereka menanam bibit di ladang dan mendapat 12.000 umbi atau 1,5 ton kentang di lahan sekitar 1 rante (400 meter persegi).
Produktivitas meningkat
Diri Pandia (34), anggota Kelompok Terakep, menyatakan sangat puas dengan hasil bibit kentang itu. “Satu tanaman menghasilkan 1,2 kilogram hingga 1,5 kilogram kentang, lebih tinggi dari hasil bibit kentang yang beredar di pasar yakni 0,5 kilogram per tanaman,” katanya.
Selain mendapat bibit lebih unggul, biaya pembiakan dengan kultur jaringan jauh lebih murah dibanding membeli bibit jadi. Harga bibit kentang di Karo kini Rp 650.000 per 25 kilogram yang jumlahnya 600-700 umbi. Padahal, dengan membiakkan satu botol planlet seharga Rp 50.000, mereka bisa mendapat 1.600 – 1800 umbi kentang.
Risiko kerugian akibat terpapar abu Sinabung juga lebih rendah. Bibit yang lama menghasilkan 8 - 10 ton per hektar sekali panen. Saat tersiram abu Sinabung, produktivitas tanaman bisa turun sampai 50 persen. Jadi, hasil panen bisa turun hingga 4-5 ton per hektar.
Bibit baru ini, produktivitasnya bisa 30 ton per hektar. Kalau toh terpapar abu, hasilnya turun 50 persen, masih diperoleh hasil panen 15 ton atau lebih tinggi dari hasil panen lama. Namun sejauh ini, tanaman belum pernah terpapar abu.
Kelompok Terakep pun terus memperluas rumah hijau mereka. Kini dua rumah hijau berukuran masing-masing sekitar 10 meter x 20 meter sudah beroperasi. Tiga rumah hijau lainnya sedang dibangun.
Hingga kini, Gunung Sinabung masih meletus. Namun, Basing Sembiring tak mau menyerah pada bencana. Ia berharap Kelompok Tani Terakep terus berkembang dan bisa menyediakan bibit kentang unggul untuk para petani di seluruh Karo.
Basing Sembiring
Lahir : 20 Agustus 1945
Istri : Dama beru Sitepu (70).
Pendidikan :
- Sekolah Rakyat Desa Sigarang-Garang, Karo, 1953 – 1959
- SMP Berastagi 1959. Tidak Tamat.
- Pelatihan kultur jaringan dari Centre International Potato 1997 – 2001.