Gerakan berkebun yang dilakukan sebagian masyarakat Denpasar menjadi alternatif sumber penyediaan pangan kala pandemi Covid-19. Aktivitas ini bisa meningkatkan ikatan sosial serta mengurangi stres akibat pandemi.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 setahun ini memukul industri pariwisata Bali. Sebagian warga mencoba bertahan dengan memanfaatkan pekarangan dan berkebun. Hasilnya bisa untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga dan sekitarnya.
Meski tak terlibat langsung dalam industri pariwisata Bali, Nyoman Sudarma (39) juga merasakan hantaman pandemi. Saat rumah produksi tempatnya bekerja sepi order, ia pun mengelola kebun sayur dan kolam lele bersama 30-an anggota Kelompok Mina Tani Sari Dewi, Banjar Tegeh Sari, Desa Tonja, Kota Denpasar.
Selasa (2/3/2021) siang, Nyoman dibantu pegiat lingkungan dari Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali, Anom Muliawan, membuat bak komposter di sebuah kebun yang dikelola pengurus warga Banjar Tegeh Sari. Tempat itu akan digunakan untuk memproduksi kompos, dengan bahan baku sampah organik dari rumah-rumah warga di sana.
”Hasil kompos untuk pupuk organik di kebun,” katanya.
Nyoman merasakan betul, di tengah minimnya pendapatan dari rumah produksi akibat pandemi, hasil dari berkebun dan budidaya lele bisa membantu ekonomi keluarga.
Panyarikan atau Sekretaris Banjar Tegeh Sari, Putu Aditama, mengatakan, kegiatan berkebun dan beternak lele itu menjadi sumber alternatif penyediaan pangan warga saat pandemi Covid-19. Lahan kosong di lingkungan banjar dimanfaatkan, tanpa mengutak-atik hak kepemilikan lahan.
Berkebun memanfaatkan lahan pekarangan yang kosong tidak melulu terkait masalah ekonomi. Demi menjaga semangat guru-guru yang jarang sekali bertatap muka dengan siswa karena pembelajaran dilakukan secara daring, Sekolah Luar Biasa (SLB) Sushrusa di Denpasar juga memanfaatkan lahan kosong seluas 500 meter persegi di halaman sekolah untuk kebun sayur. Bercocok tanam di kebun sekolah menjadi sarana penyegaran bagi guru-guru.
Uniknya lagi, sebagian dari hasil kebun berupa kacang panjang, terong, dan cabai juga dibagikan kepada warga sekitar sekolah. Sejak kebun bisa dipanen, warga sekitar boleh mengambil hasil panen untuk konsumsi sehari-hari.
”Sepetak lahan untuk kebun sayur ini sekaligus menjadi jembatan sosial antara sekolah dan warga sekitar,” kata Kepala SLB Sushrusa Ni Made Raka Witari,
Memperkuat ikatan sosial lewat berbagi hasil kebun, seperti yang dilakukan SLB Sushrusa Denpasar, bukannya tanpa alasan. Sekolah bagi penyandang tunarungu itu merupakan ”pendatang baru” di wilayah Banjar Mertha Gangga, Desa Tegal Kertha, Denpasar Barat. Sekolah yang semula berlokasi di kawasan Renon, Denpasar Selatan, sejak Agustus 2020 pindah ke Denpasar Barat dan menempati lahan seluas 2.100 meter persegi milik Pemerintah Provinsi Bali di Banjar Mertha Gangga.
Pandemi Covid-19 memang berdampak pada seluruh aspek kehidupan, tak terkecuali aspek psikologis warga. Ketua Yayasan Tamiang Bali Mandiri Nyoman Baskara mengatakan, kekhawatiran atas penularan Covid-19, serta berkurangnya waktu bekerja maupun kegiatan produktif lainnya, rentan memicu kecemasan hingga depresi. Apalagi selama pandemi, sebagian besar warga Bali yang terlibat dalam industri pariwisata sangat terdampak. Hal ini salah satunya tecermin dari kondisi ketenagakerjaan Bali.
Data Badan Pusat Statistik Bali menunjukkan, jumlah pengangguran di Bali per Agustus 2020 bertambah 105.210 orang. Adapun pada awal November 2020, jumlah penduduk di Bali yang bekerja berkurang hingga 45.590 orang.
Menurut Baskara, selain menjadi sumber pangan alternatif bagi keluarga, berkebun juga bisa menjadi aktivitas untuk mengurangi risiko stres.
”Ketika pariwisata yang menjadi lokomotif Bali tidak bergerak, nyaris tidak ada aktivitas. Hal itu menjadi potensi stres karena sebagian masyarakat kehilangan aktivitasnya,” ujar Baskara yang juga merintis Agro Learning Center (ALC) di Kecamatan Denpasar Utara.
Kecemasan dan depresi akibat pandemi Covid-19 memunculkan fenomena trauma kolektif yang diistilahkan sebagai ”Blue Corona”. Dalam International Journal of Advanced Culture Technology Volume 8, yang terbit tanggal 30 September 2020, Ann Myung Suk menyebutkan masyarakat merasa mengalami perubahan besar yang diakibatkan pembatasan sosial dan pembatasan lainnya selama pandemi Covid-19.
Ketika pariwisata yang menjadi lokomotif Bali tidak bergerak, nyaris tidak ada aktivitas. Hal itu menjadi potensi stres karena sebagian masyarakat kehilangan aktivitasnya. (Nyoman Baskara)
Koordinator Pekarangan Pangan Lestari Smansa Urban Farming (Surfing) I Gede Dedi Kusuma Antara mengatakan, berkebun atau mengolah pekarangan menjadi aktivitas pengisi waktu luang yang bermanfaat di tengah situasi pandemi Covid-19. Ketua Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) Denpasar itu mengapresiasi inisiatif warga maupun komunitas yang turut dalam gerakan berkebun dan memanfaatkan pekarangan itu.
Tak ketinggalan, Wali Kota Denpasar I Gusti Ngurah Jaya Negara juga terlibat dalam kegiatan berkebun yang dikelola komunitas urban farming di Kota Denpasar. Ia memberikan dukungan secara pribadi maupun sebagai kepala daerah.
”Tidak hanya menjadi upaya alternatif menyediakan sumber pangan keluarga, berkebun juga aktivitas yang positif, termasuk untuk menjaga kesehatan mental,” ujar Jaya Negara.
Bali dan industri pariwisatanya boleh jadi terpuruk akibat pandemi. Untuk pemulihannya pun butuh waktu. Inisiatif berkebun dan memanfaatkan lahan pekarangan yang kosong memang tidak sepenuhnya bisa menggantikan roda perekonomian dari industri pariwisata Bali. Namun, setidaknya, geliat warga dan sejumlah komunitas lewat gerakan berkebun bisa menjadi oase di tengah badai pandemi yang entah kapan berlalu.