Akhir Perjalanan di Luar Rencana Bus Sri Padma Kencana
Kecelakaan bus di Sumedang sekali lagi menjadi pelajaran berharga bagi dunia transportasi. Pemeriksaan kemampuan kendaraan hingga kesiapan pengemudi jelas tidak boleh disepelekan.
Perjalanan bus Sri Padma Kencana berakhir di jurang di sekitar Tanjakan Cae, Desa Sukajadi, Kecamatan Wado, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Rabu (10/3/2021). Sebanyak 29 orang meninggal dan 37 lainnya luka-luka. Kisah perjalanan pamungkas itu menguak sejumlah kemungkinan di belakangnya.
Dari data Badan Pendapatan Daerah Jabar yang diakses daring, bus bernomor polisi T7591 TB ini menggunakan sasis Hino RK8 buatan tahun 2018. Kompas.com menuliskan, bus memakai bodi Jetbus 3 Super High Deck (SHD) yang memiliki bagasi luas dan dek kabin tinggi. Untuk itu, harus dilakukan modifikasi di bagian kaki-kaki, dari per daun menjadi suspensi udara.
Sasis RK8 atau R260 ini terbilang populer karena digunakan banyak perusahaan otobus di Indonesia. Harganya cenderung lebih murah, selisih Rp 100 juta dibandingkan bus tipe sejenis. Selain itu, bus diklaim memiliki kendali yang dapat diandalkan hingga mudah perawatannya. Kapasitas mesinnya 7.684 cc.
Bus dengan sasis jenis ini biasanya mampu menyediakan 59 tempat duduk. Jika fakta menyebutkan ada 66 orang di dalam bus Sri Padma Kencana, tujuh orang di antaranya tanpa tempat duduk sendiri. Namun, hal ini tak lantas menyebut bus naas itu kelebihan penumpang. Butuh pendalaman lebih jauh dari pihak berwenang terkait hal ini.
Dengan spesifikasi itu, bus memulai perjalanannya dari Cisalak, Subang, ke Pamijahan di Tasikmalaya dan Pantai Pangandaran, Jabar. Perjalanannya dilakukan dua hari, Selasa (9/3/2021) dan Rabu (10/3/2021).
Baca juga : 27 Tewas dalam Kecelakaan Bus di Sumedang, Perlu Tambahan Rambu dan Penerangan
Bus memilih melintasi jalan utama di jalur selatan menuju Pamijahan tanpa berhenti. Lewat aplikasi Google Maps, perjalanan menempuh 161 kilometer. Lama perjalanan saat siang hari bisa mencapai 5 jam 29 menit. Bus melintasi Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, Kota Tasikmalaya, dan Kabupaten Tasikmalaya.
Dalam perjalanan, bus melintasi sejumlah titik rawan. Salah satunya Nagreg di perbatasan Bandung-Garut. Jalan di kawasan ini nyaman dilewati dua bus besar. Namun, konturnya naik-turun dan banyak kelokan tajam. Titik rawan ada di sekitar Tanjakan Citiis dan Tanjakan HP. Sepanjang 300 meter, sudut kemiringannya sekitar 30 derajat.
Kawasan rawan lain adalah Gentong di perbatasan Garut-Tasikmalaya. Kawasan ini memiliki kemiringan 90-130 derajat, lebar jalan 7-8 meter, dan kelandaian 15-20 derajat.
Selanjutnya, jalanan relatif datar hingga Kota Tasikmalaya. Tantangan baru muncul di sekitar Kawalu, perbatasan Kota dan Kabupaten Tasikmalaya menuju Pamijahan.
Di sana, jalannya kembali menyempit, 5-6 meter. Pengemudi bakal menemui lagi ragam kontur jalan naik-turun serta kelokan tajam hingga Pamijahan. Dari keterangan penumpang selamat, bus tiba di Pamijahan siang hari. Mereka lantas berziarah dan menginap di sana.
Ulama disegani
Pamijahan adalah dusun di perbukitan kapur Jabar selatan, 56 kilometer dari pusat Kota Tasikmalaya. Namun, kampung ini terkenal di seluruh Indonesia hingga ke luar negeri berkat Syekh Abdul Muhyi (1650-1730). Dari dusun itu, sang ulama dikenal menyebarkan pesan-pesan lingkungan melalui ajaran Islam.
Meninggalkan tempat tinggalnya di Gresik, Jawa Timur, tahun 1678, bukan perkara mudah bagi santri Muhyi menemukan tempat misterius, sebuah goa di hutan belantara Jabar selatan. Kala itu, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels di Hindia Belanda baru memulai pembukaan trans-Jawa tahun 1808-1811.
Pengembaraan selama 11 tahun berakhir ketika tiba di daerah perbukitan kapur. Ia menamakannya Safarwadi karena letaknya berada di atas lembah. Di sana, ia menemukan goa yang mirip dengan apa yang dipesankan gurunya saat menunaikan ibadah haji di Mekkah. Satu bibit padi yang ditanam hanya tumbuh setangkai.
”Saya menduga, selain diutus menyebarkan Islam, Syekh Abdul Muhyi diberi kepercayaan membangun daerah tandus dan kering. Keberadaan goa kapur dan padi tumbuh satu tangkai cukup menggambarkan keadaan sulit di daerah itu,” kata Guru Besar Sejarah Universitas Padjadjaran (Unpad) Nina Herlina Lubis.
Tempat itu kini dinamakan Pamijahan di Kecamatan Bantarkalong, Kabupaten Tasikmalaya. Istilah pamijahan muncul karena banyaknya pengunjung yang datang bermukim, lalu beranak pinak. Kebiasaan pengikutnya berziarah setelah wafatnya Syekh Abdul Muhyi masih berlangsung hingga kini. Setiap tahun, rombongan dari Cisalak rutin melakukan ziarah ke Pamijahan.
Salah satu pesan yang masih dipegang teguh hingga sekarang oleh warga Pamijahan adalah larangan merokok dalam radius 300 meter dari makam Kanjeng Syekh Abdul Muhyi Waliyulah dan tempat bersemadinya, Goa Pamijahan.
Salah satu pesan yang masih dipegang teguh hingga sekarang oleh warga Pamijahan adalah larangan merokok dalam radius 300 meter dari makam Kanjeng Syekh Abdul Muhyi Waliyulah dan tempat bersemadinya, Goa Pamijahan.
Padahal, lokasi itu merupakan tempat terbuka dengan angin pegunungan bertiup kencang di sela-sela pepohonan besar. Larangan itu tidak hanya berlaku bagi warga lokal, tetapi juga siapa pun yang datang ke tempat ziarah.
Mengutip cerita turun-temurun warga setempat, larangan itu muncul saat Syekh Abdul Muhyi hendak ibadah jumatan ke Mekkah menggunakan jalur bawah tanah lewat goa. Saat beristirahat kedinginan di bawah laut, Syekh Abdul Muhyi menyalakan rokok. Namun, tak disangka, asap rokok membesar menjadi kabut dan menghalangi jalur yang hendak ditempuh.
Jauh sebelum warga modern sadar bahaya rokok bisa menimbulkan kanker, serangan jantung, impotensi, serta gangguan kehamilan dan janin, ratusan tahun lalu, Syekh Abdul Muhyi sudah paham bahwa mengisap tembakau itu hanya membawa kerugian. Beratus tahun kemudian, keyakinan Syekh terbukti. Dalam setahun (dengan asumsi harga rokok Rp 1.000 per batang), perokok di negeri ini telah membakar uang Rp 270 triliun!
Selain merusak kesehatan perokok itu sendiri, asap nikotin yang mengepul di rumah-rumah mereka telah meracuni jutaan anak dan ibu-ibu yang terpaksa menjadi perokok pasif. Sementara di sekelilingnya, kemiskinan struktural mencengkeram kehidupan mereka turun-temurun.
Lama di Ciamis
Rabu (10/3/2021), perjalanan dilanjutkan ke Pangandaran. Dari Pamijahan, Pangandaran terpisah 119 km. Estimasi waktu tempuhnya 3 jam 29 menit. Jalan menuju Pangandaran tidak berbeda dengan Tasikmalaya-Pamijahan. Jalanan yang datar ada saat tiba di pesisir Cipatujah hingga Pangandaran.
Bus diperkirakan tiba menjelang siang di Pantai Pangandaran, salah satu destinasi favorit di Indonesia. Namun, diperkirakan penumpang tidak berlama-lama di sana. Alasannya, pukul 11.00, bus bersiap pulang menuju Subang via Ciamis.
Dengan kondisi jalan relatif bersahabat ketimbang Tasikmalaya-Pamijahan, bus tiba di Ciamis sekitar pukul 13.00. Waktu tempuh itu sedikit lebih cepat ketimbang prakiraan Google Maps. Di sana disebutkan, perjalananan membutuhkan waktu 2 jam 10 menit untuk menempuh 75 km.
Di Ciamis, bus beristirahat. Waktunya terbilang panjang sebelum bus mengalami kecelakaan sekitar pukul 18.30. Jika dikurangi estimasi waktu tempuh Ciamis-Wado hanya 1 jam 48 menit, artinya ada jeda waktu lima jam sebelum bus tiba di lokasi kecelakaan.
Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkannya. Pertama, bus sengaja berhenti lama karena pengemudi kelelahan. Kedua, bus berhenti lama atau berjalan pelan karena ada kendala teknis setelah menempuh perjalanan panjang. Jika kemungkinan kedua tepat, bisa jadi bus sudah bermasalah sejak dari Ciamis atau 66 km sebelum Wado.
Hingga Jumat (12/3/2020), penyelidikan kasus ini masih dilakukan. Sebanyak 22 saksi sudah diperiksa Kepolisian Resor Sumedang. Dari analisis awal, Direktur Penegakan Hukum Korps Lalu Lintas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Kushariyanto memaparkan, kondisi bus sudah tidak stabil saat melalui turunan di sekitar lokasi kejadian.
Beberapa gesekan di sisi kiri dan kanan jalan mulai terlihat. Salah satunya di sisi kanan jalan di bawah SDN Cilangkap, sekitar 50 meter dari lokasi bus terjun ke jurang. Penyelidikan pun masih terus dilakukan.
Titik terang terkait hal itu memang tidak mudah ditemukan. Pengemudi bus, Yudi (41), dan kernetnya, Dede Lili (46), tewas dalam kejadian itu. Namun, dari investigasi sementara, pengemudi diduga lalai saat melintasi Tanjakan Cae.
Kejadian ini diduga dipicu rem blong akibat kelalaian pengemudi. Beberapa buktinya seperti posisi persneling netral, rem tangan yang ditarik, dan kampas rem panas.
Investigator senior Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Achmad Wildan, memaparkan, kejadian ini diduga dipicu rem blong akibat kelalaian pengemudi. Beberapa buktinya seperti posisi perseneling netral, rem tangan yang ditarik, dan kampas rem panas.
Achmad menekankan, kondisi ini terjadi karena pengemudi tidak memanfaatkan pengereman pembantu untuk memperlambat laju kendaraan selama turunan. Saat posisi rem utama panas karena digunakan terus-menerus, kondisi ini berujung menghilangnya fungsi pengereman. Akibatnya, kendaraan tidak bisa dikendalikan.
”Temuan saat kejadian kecelakaan di jalan menurun selalu begini. Pengemudi tidak menggunakan pengereman ganda dari gir rendah ataupun exhaust brake. Mau secanggih apa pun teknologinya, sebagus apa pun kendaraannya, kalau pengemudi hanya mengandalkan rem kaki, bisa berdampak rem blong,” ujarnya (Kompas, 11/3/2021).
Hal itu dikuatkan dengan pengakuan penumpang selamat yang mencium bau hangus di dalam kabin. Sebagian juga mendengar percakapan sopir dan kernet yang kebingungan saat rem tidak berfungsi. Padahal, bus tengah melaju kencang.
Baca juga : Ada Indikasi Kelalaian Sopir dalam Kecelakaan Bus di Sumedang
Pengawasan ketat
Akan tetapi, kesalahan diduga tidak hanya ada di pundak pengemudi. Pemilik bus juga bisa dimintai tanggung jawab. Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Transportasi Hermawanto mengatakan, kecelakaan dipicu tidak dijalankannya sistem keselamatan kendaraan. Penyebab terjadinya korban meninggal ialah sabuk keselamatan tidak berfungsi dengan baik dan rangka kendaraan tidak mampu menahan benturan.
”Sistem keselamatan berkaitan dengan kelayakan kendaraan untuk jalan, terutama rem. Patut dicurigai kendaraan tidak dirawat dengan baik,” ujarnya.
Menurut Hermawanto, pemerintah perlu menerapkan standar material rancang bangun bus dengan melakukan uji tabrak dan uji guling. Hal ini untuk menghindari korban jiwa akibat terjepit rangka kendaraan.
”Patutlah semua pihak mengedepankan keselamatan lalu lintas sebagai yang utama, tidak hanya kepentingan bisnis kendaraan dan transportasi,” ujarnya.
Salah satu yang berpotensi tidak ditaati adalah kewajiban uji kir. Kementerian Perhubungan menyebutkan, bus yang terjun ke jurang tersebut diduga terlambat uji kir. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi juga telah meminta KNKT menginvestigasi kecelakaan itu.
Kepala Dinas Perhubungan Jabar Hery Antasari mengatakan, uji kir bus yang mengalami kecelakaan maut di Sumedang masih terdaftar di Jateng. ”Informasi awal yang saya dapatkan, kir keluar dari Jateng dan sedang mutasi ke Jabar. Namun, pelat nomornya sudah Subang,” katanya. Pihaknya masih menelusuri hasil uji kir bus tersebut (Kompas.id, 12/3/2021).
Uji kir
Diambil dari bahasa Belanda keur yang artinya ’menyetujui’, kir adalah rangkaian tes vital untuk mengukur kelayakan kendaraan niaga pengangkut orang dan barang, seperti bus. Pemeriksaannya dimulai dari pra-uji, pemeriksaan nonmekanis, serta uji visual.
Dalam pengujian itu akan diuji ketebalan asap kendaraan (smoke tester) untuk kendaraan diesel dan kadar karbon dioksida untuk kendaraan bensin. Ada juga pemeriksaan komponen-komponen lorong bawah kendaraan (play detector), pengukuran intensitas cahaya dari lampu utama kendaraan (head light tester), dan pengecekan roda depan kendaraan (side slip tester).
Selain itu, ada juga penimbangan berat kosong kendaraan (axle road), pengujian efisiensi rem (brake tester), dan tes melihat besarnya penyimpangan alat penunjuk kecepatan (speedometer tester). Estimasi pemeriksaan itu sekitar satu jam.
Sehari pascakecelakaan, Kemenhub menyiapkan kendaraan uji keliling untuk mengecek dimensi, kecepatan, rem, hingga emisi kendaraan di Jabar. ”(Kendaraan) Ini akan kami berikan kepada BPTD (Balai Pengelola Transportasi Darat) di Jabar. Jadi, satu alat itu bisa berkeliling tiga sampai 10 kabupaten,” ujar Budi di Cirebon, Jumat.
Budi mengatakan, uji kir menjadi masalah selama ini. Kompetensi dan kemampuan pembiayaan pemerintah kabupaten/kota terbatas. Itu sebabnya, pihaknya memberikan alat uji kir keliling. ”(Akan tetapi) Yang tidak mudah itu konsisten dan kolaborasi. Saya berharap ada kerja sama dengan pemda, tidak boleh jalan sendiri,” ucapnya.
Kecelakaan memang sudah terjadi. Namun, penyelidikan kasus ini harus tuntas guna mencegah hal naas terulang lagi. Semoga.
Baca juga : Kecelakaan Lalu Lintas di Tanjakan Cae, Dukacita Ini Milik Semua