Pesan Terlupakan dari Kecelakaan Lalu Lintas, Lawas tapi Bisa Jadi Menyelamatkan
Potensi bahaya, termasuk kecelakaan lalu lintas, yang terjadi saat ini bisa jadi sudah disadari sejak lama. Ragam mitigasi pun dilakukan masyarakat zaman dulu, mulai dari penamaan kawasan hingga mitos menyeramkan.
Kecelakaan menusuk hati kembali terjadi di Tanjakan Cae, Desa Sukajadi, Kecamatan Wado, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Rabu (10/3/2021) menjelang malam. Korban meninggal tercatat 29 orang dan 37 orang lainnya luka-luka.
Ironi pun muncul. Kecelakaan fatal pernah terjadi di daerah yang sama. Penyebabnya pun serupa. Seperti banyak daerah rawan kecelakaan lainnya, di Tanjakan Cae ada pesan terlupakan sehingga rentan membuat nyawa melayang begitu saja.
Tanjakan Cae berada di sekitar wilayah perbatasan Kabupaten Garut dan Sumedang. Tempat tersebut berjarak sekitar 30 kilometer menuju pusat kota Sumedang dan 70 kilometer dari pusat kota Bandung. Dengan lebar jalan 5-6 meter, kondisi geografisnya dikenal memiliki lintasan curam sekaligus kelokan tajam.
Meski membuat pengemudi harus ekstra hati-hati saat melintasinya, jalur ini tetap jadi pilihan. Tanjakan Cae juga menjadi jalur alternatif menghindari kemacetan di jalur selatan, khususnya saat melintasi kawasan Nagreg.
Akan tetapi, pilihan itu beberapa kali berdampak fatal. Berdasarkan catatan Kompas, dua kecelakaan fatal sebelumnya pernah terjadi di Tanjakan Cae. Pada tahun 2012, bus Maju Jaya yang mengangkut 30 penumpang dari Tasikmalaya menuju Cikampek terguling ke jurang sedalam 10 meter di Desa Sukajadi. Sebanyak 12 orang di antaranya tewas dalam kejadian ini.
Selanjutnya pada tahun 2018, bus sewaan yang ditumpangi rombongan pengantin terperosok ke jurang di kawasan yang sama pada 23 Juni 2018. Seorang tewas dan 29 orang lainnya terluka.
Semuanya memiliki pola sama. Kecelakaan melibatkan bus. Semuanya terjadi saat bus melintasi jalan menurun. Dalam kecepatan tinggi, rem bus-bus tersebut blong.
Khusus untuk kecelakaan terakhir, beberapa saksi mengatakan rem blong. Bau asap kampas rem sampai masuk ke ruang penumpang.
Akan tetapi, Kepala Polda Jabar Inspektur Jenderal Ahmad Dofiri mengatakan belum bisa menyimpulkan penyebabnya. Alasannya, olah tempat kejadian perkara belum selesai dilakukan.
”Hasilnya besok (Jumat) atau lusa (Sabtu). Tetapi, yang jelas, kondisinya kemarin dalam keadaan hujan. Kemudian jalan ini bukan untuk bus (besar). Kalau kita lihat, ini kan jalur alternatif,” ujar Dofiri.
Baca juga : Pascakecelakaan Maut di Sumedang, Kendaraan Uji Keliling Disiapkan di Jabar
Dataran tinggi
Meski kerap terjadi kecelakaan memakan korban jiwa, warga sekitar menolak kawasan itu angker. Dalam satu percakapan dengan Kompas beberapa waktu lalu, Udin Sobar, warga Desa Sukajadi, mengatakan, tidak ada kisah menyeramkan di Tanjakan Cae. Namun, ia mengakui jalur ini berbahaya bagi yang tidak terbiasa. Tanjakan dan turunannya ekstrem. Beberapa kelokannya juga menikung tajam.
”Warga di sini saja harus hati-hati bila melintasi Tanjakan Cae,” katanya.
Udin berharap tidak ada stigma terhadap kawasan itu. Namun, ia setuju jika rambu hingga pembatas jalan dibuat di Tanjakan Cae. Tujuannya, agar pengguna kendaraan lebih waspada saat melintasinya.
Akan tetapi, apabila menilik penamaan kawasan, orang di sana waktu zaman dulu sepertinya sudah menandai tempat itu sebagai kawasan di ketinggian. Dalam buku Toponomi: Susur Galur Nama Tempat di Jawa Barat karya T Bachtiar, ”cae” adalah satu dari 181 jenis tumbuhan di Cekungan Bandung yang digunakan menjadi nama kawasan. Bachtiar mengatakan, penamaan-penamaan itu adalah bukti kepiawaian leluhur melihat tanda alam yang khas.
Selain di Sumedang, nama ”cae” juga digunakan di kawasan perbukitan di Garut. Salah satunya di hulu Sungai Cikamiri, anak Sungai Cimanuk, yang dikenal masyarakat setempat dengan nama Puncak Cae.
Menarik melihat persamaan antara Tanjakan Cae dan Puncak Cae. Keduanya berada di ketinggian dan perbukitan curam itu. Tempat-tempat itu juga adalah kawasan perbatasan. Tanjakan Cae ada di antara Sumedang-Garut, sedangkan Puncak Cae di antara Garut-Bandung.
Ironinya, alih fungsi lahan di Puncak Cae juga berakibat fatal. Hal itu ikut memicu banjir bandang di Garut akibat luapan Sungai Cimanuk tahun 2016. Bencana itu merenggut 34 korban jiwa dan 19 orang hilang.
Bisa jadi, penamaan ”cae” sebagai tanda peringatan kawasan itu ada di kawasan yang tinggi. Dengan begitu, cara hidup dan menyikapinya harus disesuaikan dengan fakta itu.
Baca juga : Sopir Truk Lalai, Lima Tewas dalam Kecelakaan di Cisarua
Naga besar
Kearifan masyarakat menandai zaman juga terlihat di Puncak. Kawasan ini dikenal sebagai destinasi wisata unggulan. Sepanjang 2017 tercatat ada 7,4 juta wisatawan lokal yang berkunjung ke Kabupaten Bogor.
Akan tetapi, kawasan yang dikenal sebagai destinasi unggulan sejak Hindia Belanda ini juga rawan kecelakaan. Setidaknya ada 10 kecelakaan dengan korban jiwa 2-19 orang di setiap kejadian periode 2012-2021. Lokasi paling rawan memakan banyak korban jiwa ada titik Cisarua (Bogor) dan Ciloto (Cianjur).
Menariknya, selain fakta rem blong hingga pengemudi yang lalai, Kompas mendapati kisah naga yang menggulung di kedua tempat itu dari warga setempat. Kisah-kisah itu biasanya ramai dibicarakan di warung kopi pinggir Puncak saat ada kecelakaan. Bagi mereka yang setiap hari melihat jalan penuh kelokan, tanjakan, dan turunan curam, bentuk naga itu bisa jadi terlihat.
Akan tetapi, karena dipandang sebagai hal remeh, belum ada penelitian ilmiah yang menelisik bagaimana mitos itu tumbuh dan hidup di sana. Padahal, besar kemungkinan, mitos itu menjadi bagian ilmu pengetahuan masyarakat zaman dulu merespons potensi bahaya atau bencana. Bukankah, baik bencana alam maupun kecelakaan lalu lintas bakal berujung pada kehilangan nyawa apabila tidak diantisipasi dampaknya?
Dalam diskusi bertema ”Kajian Multidisiplin dalam Pengurangan Bencana” pada 22 Oktober 2020, Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Eko Yulianto menuturkan, rekam jejak bencana di masa lalu dapat ditemui dari cerita rakyat (folklore) yang ada di antara masyarakat. Kisah-kisah tersebut menjadi penanda bencana besar yang dinilai secara nalar orang-orang masa lalu.
”Instrumen pembentuk mitos itu sama dengan sains. Semua folklore dihasilkan ilmuwan masa lalu,” ujarnya.
Eko mencontohkan legenda Nyi Roro Kidul dalam Serat Srinata dari Babad Tanah Jawi. Dalam beberapa petikan tulisan dari tulisan kuno tersebut terdapat beberapa ciri dari tsunami. Beberapa di antaranya adalah toya munggah ngawiyat (air naik ke angkasa) dan apan kadya amor mina toyanipun (bahkan airnya bercampur dengan ikan).
Menurut Eko, kisah-kisah tersebut membuktikan rekam jejak tsunami yang sudah ada di bagian selatan Jawa dari zaman dahulu melalui kisah turun-temurun tersebut. ”Mereka membaca fenomena dunia nyata tentang alam semesta dengan menampilkan mitos, yang dianggap benar-benar terjadi dan punya cerita,” ujarnya.
Baca juga : Tanjakan Emen Kembali Telan Korban
Kisah di Tanjakan Cae dan Puncak bisa diperkuat dengan fenomena serupa di Tanjakan Emen di Subang. Seperti Puncak, titik ini tenar sejak lama.
Tanjakan Emen pernah menjadi saksi akses transportasi kebun teh milik Inggris. Sejak zaman Belanda, kawasan itu menghubungkan kawasan wisata Gunung Tangkubanparahu dengan Ciater yang memiliki sumber air panas.
Belakangan, kawasan ini semakin ramai setelah Tol Cipali rampung dibangun. Warga Jakarta bisa lebih mudah masuk Bandung tanpa terhadang kemacetan di jalur lama seperti Gerbang Tol Pasteur.
Akan tetapi, hingga kini, kontur Tanjakan Emen tidak banyak berubah. Kemiringannya curam. Kelokan tajam juga masih ada dan sulit direkayasa. Hal itu kerap memicu kegagapan pengemudi saat melintasinya.
Periode 2018-2020, terjadi beberapa kecelakaan besar di Tanjakan Emen. Pada Sabtu (10/2/2018), 27 orang tewas dalam kecelakaan sebuah bus pariwisata di jalan turunan di Kampung Dawuan, Desa Ciater, Kecamatan Ciater, Subang. Bus yang terguling itu total mengangkut 43 orang. Enam orang lainnya menderita luka berat dan 10 orang luka ringan.
Belum lewat sebulan, kecelakaan lalu lintas terjadi di jalur yang sama. Kecelakaan tunggal minibus Elf bernomor polisi E 7548 PB, Senin (12/3/2018), menyebabkan 4 penumpang luka berat dan 12 lainnya luka ringan. Korban kali ini adalah rombongan wisatawan dari Indramayu, Jabar. Mereka baru pulang dari Taman Wisata Alam Gunung Tangkubanparahu yang berjarak sekitar 8 kilometer dari lokasi kejadian.
Baca juga : Kecelakaan Bus Berulang di Jawa Barat, Benahi Sistem Keselamatan
Kisah pilu Tanjakan Emen belum berakhir. Kali ini, kecelakaan tunggal menimpa bus Purnama Sari bernomor polisi E 7508 W di jalur Bandung-Subang, Sabtu (18/1/2020) pukul 17.15. Sebanyak 8 orang tewas, 5 orang luka berat, dan 15 orang luka ringan dalam kecelakaan itu.
Bus berisi 57 penumpang asal Depok, Jabar, yang hendak pulang wisata dari Tangkubanparahu. Kondisi bagian depan bus remuk, sedangkan kaca jendela sisi kanan pecah.
Meski sangat rawan, Tanjakan Emen sebenarnya bukan tanpa peringatan. Seperti Tanjakan Cae dan Puncak, ada mitos serupa mitigasi. Namun, terstigma sebagai takhayul, keberadaannya hanya menjadi bahan guyonan.
Ada banyak versi berbeda tentang penamaan Emen. Ada yang mengatakan Emen adalah sopir pengangkut sayur. Versi lainnya menyebutkan Emen sebagai kernet angkutan umum Subang-Bandung. Ada juga yang menyebut Emen sebagai mata-mata tentara Indonesia saat menumpas DI/TII.
Akan tetapi, semua versi berujung sama. Emen dikisahkan meninggal dunia dalam kecelakaan itu. Arwahnya gentayangan di lokasi itu mengganggu yang melintas. Apabila tidak ingin diganggu, melemparkan uang koin atau rokok yang menyala adalah solusinya.
Sepintas, cara itu di luar nalar. Namun, siapa pun yang memopulerkan cara itu jelas punya pengetahuan mitigasi yang baik. Apabila dilihat lebih arif, bukankah melempar uang koin dan rokok yang menyala bisa jadi menandakan kewaspadaan.
Kedua aktivitas itu pasti dilakukan saat pengemudi tidak sedang mengantuk. Selain itu, siapa pun yang pernah dan takut melintasi Tanjakan Emen pasti bakal menyiapkan diri dan kendaraannya seideal mungkin.
Baca juga : Kesaksian Korban Kecelakaan Maut Sumedang
Kini di zaman milenial, banyak korban tewas masih hadir di Tanjakan Cae, Puncak, hingga Tanjakan Emen. Namun, pelajaran pentingnya adalah pentingnya penguatan mitigasi berbasis kearifan lokal di kawasan rawan itu. Pada akhirnya, hal yang dilupakan bisa jadi justru menyelamatkan manusia.
Akan tetapi, hanya mengandalkan kisah masa lalu jelas bakal tiada arti. Direktur Eksekutif LBH Transportasi Hermawanto mengatakan, kecelakaan di Tanjakan Cae punya kemiripan dengan kecelakaan sebelumnya di tempat yang sama atau Tanjakan Emen. Ada indikasi, kecelakaan muncul akibat tidak dijalankannya sistem keselamatan kendaraan oleh pengemudi atau pemilik bus.
Dalam keterangan tertulisnya, dia menyebutkan hal itu terlihat saat korban tidak mengenakan sabuk keselamatan, rangka kendaraan tidak mampu menahan benturan, hingga dugaan tidak berfungsinya sistem pengereman.
Akan tetapi, pemerintah juga harus berbenah. Menurut dia, standar material rancang bangun bus, crash test (uji tabrak untuk mengukur tingkat fatalitas penumpang ketika terjadi kecelakaan), hingga roll over test (uji guling bus untuk mengukur ketahanan struktur rangka bus jika terbalik) kerap belum diterapkan sepenuhnya. Padahal, elemen itu penting meminimalkan dampak kecelakaan.
”Dalam peristiwa di Tanjakan Cae, patut dicurigai kendaraan yang mengalami kecelakaan itu tidak dirawat dengan baik dan minim pengawasan periodik. Salah satu faktornya, kendaraan diduga tidak dioperasionalkan selama pandemi,” katanya.
Kecelakaan yang menorehkan pilu itu sudah terjadi. Namun, tanggung jawab dari semua pihak mencegahnya terjadi lagi tidak boleh berhenti. Ada banyak perjalanan yang bakal terus dilakukan. Ujungnya harus berakhir bahagia, bukan duka.