Menjadi anak yang besar tanpa kasih sayang ibu karena harus merantau ke Malaysia membuat Tri berusaha mandiri. Hampir 23 tahun dia tidak pernah mendengar dan tidak berjumpa dengan ibunya karena hilang kontak.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·4 menit baca
Selembar foto lawas menjadi satu-satunya kenangan bagi Tri Subekti (34) terhadap Purwanti (57), almarhum ibunya. Bungsu dari tiga bersaudara ini sudah ditinggal ibunya merantau ke Malayasia menjadi pekerja migran Indonesia sejak usia 11 tahun. Hampir 23 tahun kemudian, Tri tidak pernah berjumpa dengan ibunya. Ketika Sang ibu pulang ke Indonesia pada 2014 di Desa Kedungwuluh Kidul, Kecamatan Patikraja, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Tri hanya berjumpa selama dua hari yang kemudian wafat pada akhir 2014.
”Waktu itu kami berpikir, kalau ibu pulang, ya, syukur. Kalau mungkin sudah meninggal di sana, ya, kami ikhlas,” tutur Tri saat ditemui di rumahnya di Desa Kedungwuluh Kidul, Jumat (5/3/2021).
Seperti diberitakan Kompas (24/10/2014), Purwanti (57), pekerja migran Indonesia asal Dusun Srowot, Desa Kedungwuluh Kidul, Patikraja, Banyumas, Jateng, dikabarkan telantar di Selangor, Malaysia, dalam kondisi sakit dan lemah ingatan. Dia akhirnya ditolong komunitas WNI di Selangor. Aswan (70), suami Purwanti, setelah mendengar kabar itu, meminta pemerintah membantu pemulangan istrinya.
Tri mengisahkan, sang ibu pertama kali pergi menjadi pengasuh bayi dan asisten rumah tangga di Malaysia pada 1988 atau saat Tri duduk di bangku kelas 4 sekolah dasar. Dua tahun berselang, sang ibu kembali ke Indonesia karena kontraknya habis. Setelah itu, ibunya kembali merantau ke Singapura selama setahun. Setelah sempat pulang lagi, Purwanti kembali bekerja ke Malaysia pada 1991. ”Ibu memilih Malaysia karena secara bahasa masih serumpun dan relatif mudah berkomunikasi. Saya ingat saat mau ke Singapura, ibu harus kursus bahasa Inggris dulu beberapa bulan,” kata Tri.
Menurut Tri, sekitar tiga tahun pertama merantau ke luar negeri, ibunya rajin membalas surat yang dikirimkan keluarga. Uang kiriman pun lancar sebulan sekali berkisar Rp 200.000 hingga Rp 500.000 saat itu untuk kebutuhan hidup Tri bersama dua kakak dan ayahnya yang sehari-hari bertani. ”Namun, setelah berangkat lagi ke Malaysia, Ibu sudah tidak ada kabarnya. Surat-surat kami tidak pernah ada balasan,” ujarnya.
Tri mengatakan, menurut kisah kakaknya, sang ibu sempat kembali ke Indonesia untuk menghadiri pernikahan kakaknya di Jakarta sekitar tahun 1996. Namun, Tri tidak ikut dalam pernikahan itu sehingga tidak berjumpa dengan ibunya. Dalam perjalanan waktu, Tri tumbuh tanpa kasih sayang ibu dan selepas sekolah di STM, dia pun merantau bekerja di pertambangan batubara di Kalimantan Timur.
Mendengar kabar sang ibu telah pulang ke kampong halaman, Tri mengambil cuti untuk pulang pada Desember 2014. Dua hari di rumah dan bertemu dengan ibunya menjadi penawar rindu setelah puluhan tahun tidak pernah berjumpa. Secara fisik, menurut Tri, sang ibu sehat. Namun, kadang tampak linglung saat diajak berbicara. ”Waktu itu diagnosanya, ibu sakit diabetes. Saat di rumah, ibu tampak sehat-sehat saja. Bisa masak sendiri,” kata Tri.
Tri dan keluarganya tidak bisa banyak menggali kisah sang ibu yang berpuluh tahun tidak memberi kabar dan bagaimana bisa linglung dan telantar di pinggir jalan di Malaysia. Saat itu, bagi keluarga, yang terpenting adalah ibunya sudah pulang. ”Setahu saya, majikan Ibu baik. Majikannya punya rumah makan dan Ibu diminta membeli sesuatu, tapi kemudian linglung, lalu kebingungan di tepi jalan. Alhamdulilah ditemukan teman-teman sekomunitasnya dari Notog, lalu dibawa ke KBRI untuk dipulangkan,” katanya.
Menurut Tri, ada satu luka atau bekas jahitan di perut ibu. Namun, keluarga tidak tahu luka apakah itu. Setelah ditemukan teman sekomunitas sesama pekerja migran itu, sang majikan pun tidak pernah memberikan kabar apa pun kepada keluarga. ”Kami tahu Ibu telantar di tepi jalan dari postingan Facebook teman di Notog,” tuturnya.
Menurut Tri, ketika pihak keluarga mencari informasi dan data ibunya di dinas tenaga kerja setempat, filenya tidak ditemukan. Meski demikian, Tri yakin ibunya berangkat secara legal ke Malaysia. Tri dan keluarganya bersyukur Pemerintah Indonesia membantu kepulangan ibunya sampai ke rumah. ”Waktu itu petugas dari dinas ketenagakerjaan bersama Bapak menjemput Ibu di Bandara Semarang,” ujar Tri.
Tri mengatakan, persis setelah 40 hari pulang ke rumah, ibunya meninggal dunia. ”Saya saat itu sudah kembali ke Kalimantan. Dikabari bahwa Ibu jatuh di kamar mandi dan drop, lalu 31 Desember 2014 siang Ibu meninggal,” kata Tri.
Bagi Tri, tumbuh besar tanpa kasih sayang ibu membuatnya hidup mandiri dan cepat berpikir dewasa. ”Sejak kecil terbiasa menyiapkan apa-apa sendiri karena hanya ada Bapak dan kakak-kakak,” papar Tri yang berharap kisahnya jangan sampai dialami oleh orang lain yang ditinggal pergi merantau dan tidak ada kejelasan kabar. Tri bahkan pernah tinggal kelas di STM karena harus mencari uang dengan menjadi kernet angkutan umum akibat kesulitan biaya sekolah.
Kepala Desa Kedungwuluh Kidul Warsikin menyampaikan, pihak desa tidak memiliki data pasti berapa banyak warganya yang menjadi pekerja migran Indonesia. ”Jumlahnya mungkin ada sekitar 10 orang. Ada yang ke Malaysia, Taiwan, dan Arab,” tutur Warsikin.
Warsikin mengatakan, pihaknya akan berusaha mendata ulang berapa jumlah warganya yang merantau sebagai arsip desa dan meminimalkan risiko ada pekerja migran ilegal. Desa yang berjarak sekitar 11 kilometer di selatan alun-alun Purwokerto ini dihuni oleh 953 keluarga dengan total 2.832 jiwa. Sekitar 60 persen warga di sini bekerja sebagai buruh, baik tani maupun bangunan.