Pasrah dan Melawan, Semoga Hasilnya Tak Berujung Sama Saja
Malaysia adalah salah satu tempat favorit bagi pekerja migran Indonesia dari pantai utara Jawa Barat. Namun, sejumlah celah masih ada. Pergi tanpa dokumen hingga berakhir disiksa masih mewarnai kisah pilu mereka.
Setelah belasan tahun mengadu nasib di Malaysia, Umaya (59) akhirnya pulang ke kampung halamannya di Cirebon, Jawa Barat. Tidak lama kemudian, ia berpulang untuk selamanya, membawa semua kisah pahitnya.
Rabu (3/3/2021) itu adalah hari ke-40 perginya Umaya. Tidak ada yang istimewa di rumahnya di Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati. Bangunannya justru tampak rapuh. Dindingnya bata tanpa plafon. Untuk masuk, tubuh harus menyerong karena bagian depan rumahnya terimpit tembok tetangga.
Meskipun lama kerja di Malaysia, Umaya tidak menyimpan uang jutaan rupiah seperti pekerja migran lainnya. ”Waktu pulang 10 bulan lalu, kakak saya hanya membawa Rp 40.000. Penglihatannya terganggu. Tiga bulan berikutnya, dia enggak bisa jalan karena diabetes,” kata Afifah (50), adik Umaya.
Umaya berangkat ke Malaysia 2005 silam. Itu kali ketiga ia menjadi pekerja migran Indonesia (PMI) setelah di Arab Saudi dan Brunei Darussalam. Perempuan lajang itu terpikat iming-iming pekerjaan di pabrik garmen milik temannya. Ia meninggalkan tiga mesin bordir miliknya hasil kerja di Brunei. Barang-barang itu disimpan dalam kamar, terkunci.
Baca juga: Bekal Pengetahuan Minimal Berujung Petaka Maksimal Calon Pekerja Migran Brebes
Malaysia memang diminati. Negara ini dipilih PMI asal Cirebon terbanyak kedua pada 2020, yakni 509 orang. Penempatan PMI asal Cirebon paling banyak ada di Hong Kong, sejumlah 541 orang.
Afifah berangkat tanpa paspor. Pilihan fatal yang bakal berujung panjang di kemudian hari. Sempat ditampung di Medan, kakaknya mampu menembus Malaysia melalui jalur darat. Di tempat baru, kisah suramnya dimulai.
”Ternyata, temannya itu menjual kakak saya. Di sana dia jadi buruh nyuci di warung. Dia berpindah-pindah majikan. Gajinya juga enggak dibayar penuh,” katanya.
Seingat keluarga, Umaya sempat mengirim Rp 10 juta. Itu pertama dan terakhir kalinya. Komunikasi sempat terputus beberapa tahun. Bahkan, anak kelima dari 10 bersaudara itu terlunta-lunta di jalanan selama 5 bulan. Ia tidur di emperan Malaysia. Foto Umaya lalu tersebar di media sosial.
”Di sana tulisannya, siapa yang merasa kehilangan keluarganya? Untungnya, ada orang Indonesia yang menolong. Tapi, dia minta uang Rp 9 juta untuk antar kakak saya sampai bandara,” cerita Afifah.
Andai saja tidak ada yayasan dan pemerintah yang membantu kepulangan Umaya, ia mungkin sudah memenuhi permintaan orang tersebut untuk membayar Rp 9 juta.
Umaya akhirnya pulang ke Tanah Air. Awal-awal di Cirebon, bahasanya masih campur dengan Melayu Malaysia. Kadang, ia juga meminta ke kedai seperti di Negeri Jiran. Keluarga beberapa kali mengajak Umaya ke rumah sakit untuk memeriksakan matanya yang tidak normal. Namun, ia selalu saja menolak.
Sakitnya kian parah. Ia bahkan tidak bisa berjalan meski hanya ke kamar mandi. Jangankan jaminan sosial, kartu tanda penduduk elektronik saja Umaya tak punya. Tidak ada pengobatan, ia pergi untuk selamanya. ”Sampai mau meninggal, kakak saya, tuh, enggak percaya dia dijual,” ucapnya.
Korban majikan
Ada yang pasrah. Namun, ada juga yang terus memupuk asa. Ketika keluarga Umaya dirundung duka, keluarga Mei Harianti (26) masih penuh harap. Mei adalah pekerja migran asal Cirebon korban kekerasan majikannya. Dalam fotonya, tubuhnya tampak ringkih. Kaki kirinya bengkak. Ada luka bekas siraman air panas.
Baca juga: Prapenempatan Pekerja Migran Indonesia Menjadi Awal Persoalan
Kasus Mei terungkap berkat informasi lembaga swadaya masyarakat Tenaganita di Malaysia. Lembaga itu bersama kepolisian setempat dan KBRI Kuala Lumpur lalu menyelamatkan korban dari rumah majikannya, Selasa (24/11/2021). Majikannya ditangkap pejabat berwenang.
”Mei sampai sekarang belum balik. Di masih di Kuala Lumpur untuk sidang. Sidang pertama sudah selesai, tetapi masih ada kelanjutannya,” ucap Gunawan (31), kakak Mei. Bersama Syafii (60), bapaknya, mata Gunawan kadang berkaca-kaca memandang foto kecil Mei yang memakai kerudung biru berlatar merah.
Mei baru 13 bulan di Malaysia. Lulusan SMA melalui Paket C ini berangkat sesuai dengan prosedur demi memperbaiki ekonomi keluarga. Suaminya hanya mengelola warung kecil dan dua anaknya masih kecil. Keluarganya tinggal di permukiman padat di belakang sebuah hotel tinggi di Pekiringan.
Hanya sepeda motor yang bisa masuk ke daerah tersebut. Saking padatnya, sinar matahari pun terhalang. Rumah keluarganya berukuran 2,5 meter x 8 meter, sengaja dibuat tingkat dua karena kerap dilanda banjir.
Sayangnya, mimpi Mei untuk sejahtera berujung sengsara. Sekitar setahun di Malaysia, Mei hanya menelepon keluarga tiga kali. Pertama, selama 15 menit. Kedua, 10 menit, dan ketiga 9 menit. Majikannya melarangnya berkomunikasi.
Puncaknya, Mei menjadi korban kekerasan fisik oleh majikannya. ”Harapan anak saya ke sana untuk kerja, kenapa disiksa? Pelakunya harus diproses hukum,” kata Syafii.
Perlawanan juga masih dilakukan Sukara (57). Dia pernah jadi korban kekerasan ketika mengadu nasib ke Malaysia. Alih-alih menghasilkan pundi, warga Kecamatan Cilamaya Kulon, Karawang, itu justru dibui. Dia dituding melanggar izin tinggal lebih lama dari waktu yang ditetapkan (overstay). Sukara berharap tidak ada lagi orang Indonesia bernasib seperti dia.
Kisah kelam Sukara bermula dari tawaran seseorang yang baru ia kenal mengaku sebagai sponsor bekerja di Malaysia, tahun 2017 lalu. Sukara dijanjikan gaji Rp 6 juta per bulan. Bagi buruh tani berupah Rp 100.000 per hari atau sekitar Rp 3 juta per bulan, tawaran itu jelas menggiurkan baginya.
Akhir Desember 2017, dia berangkat ke Malaysia. Katanya, dia bakal bekerja di kebun nanas. Sehari, bayarannya 60 ringgit Malaysia atau sekitar Rp 210.000 (kurs Rp 3.500). Jaminan akomodasi tempat tinggal dan makan pun bakal ditanggung.
Tertipu
Akan tetapi, mimpi Sukara ambyar saat tiba di lokasi. Upahnya dipangkas hingga 50 persen. Pembayarannya pun sistem borongan. Dia bekerja selama 11 jam per hari, dimulai pukul 07.00 hingga 18.00. Padahal, kesepakatan awalnya hanya tujuh jam kerja saja. Kekecewaannya bertambah karena sehari-hari dia harus tidur di dalam kontainer dan diberi makan roti.
”Saya cuma sekali mengirimi uang untuk keluarga, jumlahnya pun tak banyak hanya RM 400,” katanya lirih.
Ia hanya bertahan sekitar dua bulan karena tak tahan dengan kondisi tersebut. Kepada sponsor, dia meminta dipindahkan ke tempat lain. Dia lantas bekerja sebagai penjaga ternak sapi. Janjinya, bakal dapat RM 1.200 per bulan. Lagi, lagi, Sukara tertipu. Dia hanya diberi RM 800 per bulan.
Lebih dari sepuluh bulan dia bekerja di tempat itu. Semua demi mengumpulkan ongkos pulang ke Indonesia. Ia sempat meminta bantuan majikannya untuk pulang ke Indonesia. Ada saudara majikan yang akan memulangkan Sukara dengan biaya RM 1.500. Sukara pun menyerahkan besaran uang tersebut dengan harapan kepulangannya segera diproses. Namun, tak ada kabar lagi dan uangnya dibawa kabur.
Tawaran kedua datang dari kakak majikannya dengan biaya RM 1.200. Namun, ujungnya penipuan lagi. Dia malah diserahkan ke kantor imigrasi Malaysia untuk ditahan. Semula, Sukara mengira dia akan segera pulang setibanya di kantor ini. Namun, dia dipenjara selama tiga bulan. Semua barang miliknya dan uang tabungan yang disimpan dalam kantong kresek diambil petugas.
Sukara bahkan diperlakukan tak semestinya. Tubuh tuanya dipukul. Dia hanya makan satu kali sehari. Setelah disidang dan dinyatakan bersalah, Sukara dideportasi ke Indonesia. Uang miliknya hanya bersisa RM 150.
”Saya bersyukur bisa kembali ke rumah, bertemu dengan keluarga, dan menggarap sawah. Cukup saya saja yang merasakan ngeri-nya bekerja di sana, lebih baik bekerja di daerah sendiri,” kata Sukara. Kini, ia kembali pada pekerjaann lamanya. Meski upahnya tidak seberapa, setidaknya hidupnya kini jauh lebih tenang.
Sekretaris Serikat Buruh Migran Indonesia Karawang Karyono mengatakan, pihaknya mendampingi kasus yang dialami Sukara dan lebih dari 10 orang lainnya di Desa Sukamulya, Kecamatan Cilamaya Kulon. Hingga kini, kasus itu masih ditangani Polres Karawang.
”Ada juga sejumlah penyintas masih merasakan trauma dari pengalaman tersebut karena ditipu dan mengalami kekerasan,” katanya.
Ketua Pelaksana Harian Yayasan Salman Karawang, organisasi yang kerap mendampingi buruh migran terdampak masalah, Wiharti Ade Permana, menilai, pemerintah daerah harus lebih aktif memberikan sosialisasi terkait dengan penyaluran pekerja migran. Banyak warga tertarik iming-iming gaji besar, tetapi ujungnya jadi korban perdagangan manusia.
Ketidaktahuan mereka dalam mencari informasi sponsor atau agen bisa mengantar mereka pada langkah yang salah. Oleh sebab itu, kegiatan sosialisasi pencegahan perdagangan manusia harus diperbanyak dan diperluas hingga tingkat desa-desa. Sejauh ini, dia menilai, pemda belum banyak melakukan kegiatan tersebut.
Dia juga mengatakan, aturan hukum harus berdiri lebih tegas. Dia mendorong agar rancangan peraturan daerah tentang penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia asal daerah Karawang segera disahkan. Langkah tersebut menjadi secercah harapan bagi warga pekerja migran asal Karawang untuk mendapatkan hak dan kewajiban serta perlindungan bekerja yang diatur secara hukum.
Baca juga: Kementerian Ketenagakerjaan Bangun 45 Layanan Terpadu Satu Atap
Kepala Badan Perlindungan PMI Benny Ramdhani juga mendorong pemerintah segera meninjau ulang Nota Kesepahaman Perekrutan dan Penempatan Tenaga Kerja Domestik Indonesia yang ditandatangani tahun 2006 dan sudah habis masa berlakunya tahun 2016. Dengan begitu, perlindungan terhadap PMI bisa ditingkatkan.
Apalagi, pemberlakuan Sistem Maid Online atau SMO oleh Pemerintah Malaysia sejak Januari 2018 membuka peluang masuknya pekerja domestik perorangan asal Indonesia. Meskipun sistem ini memangkas biaya dan rantai birokrasi, PMI berpotensi tidak tercatat dalam data pemerintah.
Perlindungan negara kepada warganya seharusnya tidak mengenal batas geografis. Pendampingan sebelum pergi jauh lebih baik ketimbang menyelesaikan masalah setelah pulang.