Bekal Pengetahuan Minimal Berujung Petaka Maksimal Calon Pekerja Migran Brebes
Bekal minim membuat sebagian pekerja migran asal Brebes, Jateng, mendapat sejumlah masalah mulai dari berangkat secara ilegal, gaji tidak dibayar, hingga mendapat kekerasan. Pemerintah perlu memberikan bekal pemahaman.
Desakan kebutuhan ekonomi membuat sebagian orang yang merasa tidak sejahtera di negeri sendiri terpaksa mengadu nasib hingga negeri orang. Di Brebes, Jawa Tengah, misalnya, sebagian pekerja nekat berangkat kerja ke luar negeri meski bekal pengetahuan yang mereka miliki sangat minim.
Ingin bisa membelikan anaknya gawai, merenovasi rumah, dan meningkatkan perekonomian keluarga menjadi alasan Sutiri (38) nekat bekerja sebagai buruh migran di Malaysia. Warga Desa Rungkang, Kecamatan Losari, Kabupaten Brebes, itu tidak pernah menyangka, ikhtiar mewujudkan impiannya tersebut membawanya mengalami sejumlah kekerasan hingga tidak digaji.
Sutiri adalah ibu dari dua anak berusia 9 tahun dan 17 tahun. Sehari-hari, ia dan suaminya bekerja sebagai buruh tani dengan upah Rp 35.000-Rp 75.000 per hari. Ijazah sekolah dasar yang dimiliki Sutiri dan suaminya tidak bisa membantu keduanya mendapat pekerjaan yang mampu menghasilkan lebih banyak uang.
Di tengah kondisi ekonomi yang empot-empotan, Sutiri dibuat kebingungan karena anak bungsunya terus-terusan merengek meminta dibelikan gawai. Keinginan anaknya yang tak terbendung tersebut kemudian mendorong Sutiri sampai pada keputusan untuk merantau ke luar negeri.
Medio 2018, Sutiri berkeluh kesah kepada tetangganya yang sudah bertahun-tahun menjadi penyalur tenaga kerja. Si tetangga tersebut kemudian mengenalkan Sutiri kepada seseorang yang disebut agen penyalur tenaga kerja.
”Agen itu dari Jakarta, datang langsung ke rumah saya. Dia menjelaskan tentang gaji, proses keberangkatan, dan peraturan selama bekerja di sana (Malaysia),” kata Sutiri, Jumat (5/3/2021) di Brebes.
Baca juga: Prapenempatan Pekerja Migran Indonesia Menjadi Awal Persoalan
Kala itu Sutiri diming-imingi gaji sebesar 1.200 ringgit Malaysia atau sekitar Rp 4,2 juta per bulan. Angka itu terbilang besar bagi Sutiri yang setiap bulannya mendapatkan maksimal Rp 500.000 dari hasil buruh tani tersebut.
Tidak hanya gaji besar, syarat keberangkatan yang mudah juga membuat Sutiri semakin terpikat. Kala itu, Sutiri hanya diminta menyerahkan salinan kartu keluarga, kartu tanda penduduk, dan ijazah terakhir.
Sutiri juga diminta menandatangai surat pernyataan bahwa dirinya tidak akan mengundurkan diri dalam dua tahun pertama. Jika Sutiri mengundurkan diri, ia harus membayar biaya penalti sebesar Rp 25 juta.
”Waktu itu yang terpikir hanyalah perasaan senang, akhirnya saya bisa membelikan anak saya gawai. Selain itu, saya juga sudah berharap banget bisa membantu suami membiayai pendidikan anak-anak serta merenovasi rumah. Biar rumah saya ada pagarnya, seperti rumah orang-orang,” ucapnya.
Dalam waktu kurang dari satu bulan, Sutiri berangkat ke Kuala Lumpur, Malaysia. Setibanya di sana, paspor dan sejumlah dokumen milik Sutiri diminta oleh seseorang. Orang itu mengaku sebagai agen dari perusahaan rekanan usaha penyalur tenaga kerja yang memberangkatkan Sutiri. Kepada petugas di Bandara Internasional Kuala Lumpur, agen itu juga menjelaskan bahwa Sutiri hanya akan berlibur selama tiga hari di Malaysia.
”Waktu mendengar agen itu berbohong sama petugas, perasaan saya langsung tidak enak. Karena takut, saya diam saja, takut salah,” tutur Sutiri.
Sutiri kemudian dijemput calon majikannya dan mulai bekerja pada hari berikutnya. Setelah sebulan bekerja, Sutiri mengharapkan upah. Ia bertanya kepada majikannya perihal upah. Namun, majikannya mengatakan bahwa seluruh upah Sutiri sudah dibayarkan kepada agen penyalur kerja.
Saat bertanya kepada Agen, Sutiri tidak mendapatkan jawaban memuaskan. Upah Sutiri bulan itu tidak diberikan dengan alasan sebagai biaya penggantian tiket pesawat dan paspor. Pada bulan-bulan berikutnya, upah untuk Sutiri masih belum juga dibayar. Saat protes, Sutiri malah dimaki-maki, diancam akan dibunuh, dan mendapat kekerasan fisik.
Hingga 2020 atau dua tahun sejak pertama kali bekerja, Suitiri masih belum juga mendapat sepeser pun upah. Padahal, ia terus bekerja tanpa henti. Dalam dua tahun tersebut Sutiri sudah lima kali berpindah majikan. Tugas Sutiri yang awalnya hanya menjaga orang jompo dipaksa merangkap sebagai pengasuh anak dan asisten rumah tangga. Semua itu dilakukan Sutiri karena perintah agen.
Baca juga: Kementerian Ketenagakerjaan Bangun 45 Layanan Terpadu Satu Atap
Tak tahan dengan perlakukan agen, Sutiri melarikan diri. Setelah beberapa hari di jalanan, ia memutuskan untuk melapor ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur. Di sana, Sutiri bercerita kepada petugas KBRI tentang perlakuan yang ia dapatkan selama di Malaysia. Ia juga mengadu bahwa paspornya ditahan oleh agen.
”Agen itu dipanggil ke KBRI kemudian dimarah-marahi. Orang KBRI menyebut tentang perdagangan manusia. Saya tidak tahu kata itu maksudnya apa, yang jelas habis itu si agen itu minta maaf,” ucap Sutiri.
Agen tersebut kemudian menyanggupi untuk memulangkan Sutiri dan membayar gaji Sutiri yang sudah dua tahun belakangan ditahan. Di depan petugas KBRI, agen tersebut berjanji akan memberikan uang sebesar 5.000 ringgit Malaysia (sekitar Rp 17,5 juta) terlebih dahulu. Sisanya akan disusulkan.
Nyatanya, Sutiri tetap tidak mendapatkan sepeser pun uang yang dijanjikan. Ia hanya dibelikan tiket pesawat dari Kuala Lumpur ke Jakarta. Adapun ongkos dari Jakarta ke Brebes menggunakan uang pribadi Sutiri. Sutiri tiba di Brebes pertengahan Januari 2021.
”Rasanya lega banget bisa pulang dalam keadaan sehat dan selamat. Tapi saya masih tetap berharap, upah kerja saya selama dua tahun itu dibayar. Uangnya mau saya pakai untuk modal buka warung,” imbuhnya.
Sulit
Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Dinperinaker) Brebes Warsito Eko Putra menuturkan, pekerja migran yang berangkat secara ilegal tidak bisa mendapatkan perlindungan hukum yang maksimal. Saat terjerat masalah, penyelesaiannya juga menjadi jauh lebih sulit.
”Kasus itu (Sutiri) tidak dilaporkan kepada kami. Dulu, waktu berangkat juga tidak melapor kepada kami, jadi kami tidak tahu. Kalau berangkat tanpa izin, begitu ada masalah sulit penyelesaiannya,” kata Eko.
Sepanjang 2020, ada 1.129 warga Brebes yang terdaftar sebagai pekerja migran di sejumlah negara, seperti Brunei, Hong Kong, Jepang, Malaysia, Polandia, Singapura, dan Taiwan. Jumlah tersebut, menurut Eko, jauh lebih sedikit dari jumlah pekerja migran yang terdaftar pada 2019 dan 2018.
Pada 2019, jumlah pekerja migran, baik sektor formal maupun sektor informal yang terdaftar dari Brebes, sebanyak 4.495 orang. Sebagaian besar dari mereka bekerja di Taiwan. Adapun pada tahun 2018, jumlah pekerja migran yang terdaftar di Dinperinaker Brebes sebanyak 4.356 orang.
Eko menuturkan, pihaknya terus berkoordinasi dengan pemerintah desa untuk mengedukasi warga terkait mekanisme pemberangkatan pekerja migran secara legal. Sosialisasi juga diklaim Eko dilakukan setidaknya sekali dalam satu bulan.
Kurang informasi
Aktivis buruh migran Brebes sekaligus Ketua Badan Buruh dan Pekerja Pemuda Pancasila Jamaluddin menilai, seorang pekerja migran berangkat secara ilegal karena tidak mendapatkan informasi yang cukup. Sosialisasi yang selama ini dilakukan pemerintah hanya berhenti sampai di kepala desa, tidak benar-benar disampaikan ke masyarakat.
”Jarang ada kepala desa yang telah mengikuti sosialisasi dari pemerintah langsung menyampaikan kepada warganya. Rata-rata mereka hanya datang, menyimak, dan sudah. Rasanya hampir tidak ada tindakan nyata dari kepala desa untuk menyebarluaskan hasil sosialisai itu ke masyarakat,” kata Jamal.
Jamal menuturkan, sebagian besar pekerja migran mendapatkan informasi mengenai lowongan pekerjaan atau mekanisme pemberangkatan pekerja migran dari calo atau agen penyalur pekerja. Karena informasi hanya didapatkan dari satu pihak, yakni, calo atau agen, mereka tidak bisa langsung mendeteksi ilegal atau tidaknya praktik penyaluran kerja tersebut.
”Memberikan informasi sejelas-jelasnya dan menyediakan lowongan pekerjaan adalah tugas pemerintah. Coba kalau pemerintah mau memberikan informasi terkait mekanisme pemberangkatan yang legal, lalu memberikan informasi lowongan pekerjaan dari agen penyalur yang resmi, jumlah pekerja yang berangkat secara ilegal pasti menurun. Tapi, kalau tugasnya itu diambil calo atau agen penyalur ilegal, ya, ambyar,” tuturnya.
Sejak tahun 2012, Jamal mengaku sudha berulang kali mengusulkan kepada Pemerintah Kabupaten Brebes agar ada pembentukan komisi perlindungan pekerja migran. Dengan adanya lembaga tersebut, pekerjaan terkait edukasi calon pekerja, pemberian informasi lowongan pekerjaan di luar negeri, hingga pemberian perlindungan terhadap pekerja migran bisa dilakukan. Pergerakan calo atau agen penyalur pekerja ilegal di pedesaan diharapkan juga bisa ditekan oleh komisi perlindungan pekerja migran tersebut. Namun, usalan itu hingga kini tidak pernah direalisasikan.
Jamal menambahkan, persoalan terkait pekerja migran tidak hanya sebatas berangkat legal atau ilegal. Menurutnya, pekera migran juga perlu diberi pelatihan manajemen keuangan dan pelatihan keterampilan usaha. Dengen demikian, uang hasil kerja pekerja migran tidak habis untuk membeli barang-barang habis pakai.
Berdasarkan penuturan sejumlah buruh kepada Jamal, mereka kesulitan mengatur uang mereka. Kebanyakan pekerja migran menghabiskan uang tersebut untuk merenovasi rumah atau membeli kendaraan. Saat uang sudah habis untuk membeli barang-barang tersebut, mereka kembali kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Akibatnya, sebagian besar dari mereka memutuskan untuk kembali berangkat ke luar negeri.
”Kalau ada pelatihan manajemen keuangan, pelatihan keterampilan atau seminar bisnis, para buruh migran akan lebih bijak memanfaatkan uang mereka. Kalau mendapat ilmu bisnis, misalnya, mereka juga pasti akan memilih untuk membuka bisnis dan tidak berangkat ke luar negeri lagi. Selain baik untuk pekerja migrannya, upaya itu juga bisa membuka lapangan kerja baru bagi orang-orang di sekitar pekerja migran tersebut,” imbuh Jamal.