Anak pekerja migran menghadapi berbagai persoalan. Oleh karena itu, pemenuhan hak-hak mereka harus menjadi perhatian semua pihak.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·5 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Berbagai persoalan yang dihadapi anak-anak pekerja migran di Nusa Tenggara Barat belum menjadi perhatian bersama. Selain kurang mendapat kasih sayang karena berubahnya pola pengasuhan, mereka juga berhadapan dengan masalah pendidikan, kependudukan, hingga rentan mengalami perundungan atau stigma dan kekerasan.
Provinsi Nusa Tenggara Barat hingga saat ini masih menjadi salah satu kantong pekerja migran Indonesia (PMI). Dari data penempatan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) pada 2020 mencapai 113.173 orang, NTB berada di posisi kelima dengan jumlah PMI mencapai 8.261 orang.
Secara jumlah, pekerja migran Indonesia asal NTB memang berkurang dari tahun sebelumnya, yakni 32.557 orang pada 2018 dan 30.706 orang pada 2019. Dari total jumlah PMI asal NTB yang ditempatkan pada 2020, dua terbesar berasal dari Lombok Timur sebanyak 3.019 orang dan Lombok Tengah sebanyak 2.093 orang.
Masih besarnya jumlah PMI asal NTB, terutama dari dua kabupaten, yakni Lombok Timur dan Lombok Tengah, berdampak pada banyaknya jumlah anak pekerja migran di daerah itu.
Hal itu ditemukan Yayasan Tunas Alam Indonesia (Santai), lembaga swadaya masyarakat yang selama ini fokus pada isu perlindungan anak, pemberdayaan kelompok muda, perempuan, dan kelompok marjinal.
Direktur Santai Suharti di Mataram, Selasa (2/3/2021), mengatakan, sejak 2016 hingga kini pihaknya melaksanakan program pendampingan anak pekerja migran di Lombok Timur, seperti di Desa Wanasabe dan Lenek Lauk (2016-2017) serta Desa Pandang Wangi dan Desa Pemongkong (2017-sekarang), juga di Lombok Tengah, yakni Desa Sukaraja dan Jago (2017-sekarang).
Desa-desa itu menjadi kantong pekerja migran sekaligus ditemukan banyak anak pekerja migran. Santai mencatat, di Desa Pandan Wangi, misalnya, tercatat ada sekitar 423 anak pekerja migran, Pemongkong sekitar 202 anak, Jago sekitar 331 anak, Sukaraja sekitar 521 anak, Wanasaba sekitar 396 anak, dan Lenek Lauq 347 anak.
Menurut Suharti, pihaknya juga mengidentifikasi persoalan yang melekat pada anak pekerja migran. Sedikitnya ada empat persoalan yang ditemukan, yakni pengasuhan, pendidikan, dokumen kependudukan, dan rentan kekerasan.
Terkait pengasuhan, ada yang diasuh oleh salah satu dari orangtua, bisa ibu atau bapak. Hal itu karena hanya salah satu dari dua orangtua yang menjadi pekerja migran. Namun, ada juga yang kedua orangtuanya menjadi pekerja migran sehingga pengasuhan diserahkan ke keluarga lain, seperti nenek atau kakek, bibi atau paman, kakak, ibu atau bapak tiri, dan orang lain.
Di Pandan Wangi, Kompas menemukan satu keluarga (nenek dan kakek) mengasuh empat cucu sekaligus yang salah satunya berusia di bawah tiga tahun. Empat cucu merupakan anak dari putra dan putrinya (bersama pasangan) menjadi pekerja migran ke Malaysia dan Arab Saudi.
Kondisi itu membuat keluarga tersebut sering kerepotan. Sang nenek yang lebih dominan menemani (karena suaminya mengalami stroke ringan) harus membagi waktu untuk mengurus empat anak sekaligus, termasuk mengantar mereka ke sekolah dan menjaga saat mereka berada di rumah.
”Ada juga yang tinggal bersama salah satu, misalnya ibu. Namun, dalam perjalanannya, ibunya menikah lagi. Itu membuat anak tidak mendapat perhatian penuh,” kata Suharti.
Perundungan
Pola pengasuhan (yang bukan langsung oleh orangtua), menurut Suharti, membuat perhatian dan pengawasan terhadap anak berkurang. Hal itu mengarah pada persoalan lain yang dihadapi anak pekerja migran, seperti rentan pernikahan usia dini, berhadapan dengan hukum, dan kekerasan seksual.
Ketua Forum Pemerhati Perempuan dan Anak Desa Pandan Wangi Ahmad Zahidun menambahkan, dalam setiap kasus pernikahan dini yang terjadi, selalu ada anak pekerja migran. Pada 2018, dari 14 kasus, sebanyak 8 kasus adalah anak pekerja migran. Sementara sepanjang 2020-2021, dari 13 kasus, 5 kasus dialami anak pekerja migran.
”Mereka juga menjadi korban kekerasan oleh pengasuh, misalnya dipukul. Termasuk juga dieksploitasi secara ekonomi, yakni ikut bekerja bersama kakek atau neneknya,” kata Zahidun.
Mereka juga menjadi korban kekerasan oleh pengasuh, misalnya dipukul. Termasuk juga dieksploitasi secara ekonomi, yakni ikut bekerja bersama kakek atau neneknya.
Tidak hanya kekerasan secara fisik, anak pekerja migran kerap mendapat kekerasan berupa stigma atau perundungan. Menurut Zahidun, di Pandan Wangi muncul istilah seperti ”Anak Sawit” untuk anak yang orangtuanya pergi ke Malaysia, ”Anak Unta” untuk anak yang orangtuanya ke Arab Saudi, dan ”Anak Oleh-oleh” untuk anak yang lahir di luar negeri dan dibawa pulang oleh orangtuanya.
Menurut Suharti, anak pekerja migran juga menghadapi persoalan pendidikan, antara lain rentan putus sekolah, kehilangan semangat belajar karena tidak dikontrol langsung oleh orangtua, dan persoalan uang jajan harian. Terkait administrasi kependudukan, anak pekerja migran tidak memiliki akta kelahiran.
Perundungan terhadap anak berdampak pada mental anak. Itu yang ditemukan guru-guru di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Anak Pekerja Migran Al-Ikhlas Pandan Wangi di mana anak-anak tersebut cenderung pendiam.
Sementara anak yang tumbuh tanpa orangtua lengkap atau tinggal bersama nenek atau kakek di dalam kelas bertindak hiperaktif. Mereka tidak bisa diam untuk mencari perhatian yang memang tidak mereka dapatkan selama ini.
Meski demikian, ada juga orangtua tunggal (karena pasangan mereka menjadi pekerja migran) yang bisa tetap memberi perhatian kepada anaknya. Nurmayani (30), misalnya, harus merawat sendiri dua anaknya, Nita Hartini (10) dan Muhammad Zain yang baru berusia 18 bulan, karena suaminya ke Malaysia.
Menurut Nurmayani, sejauh ini suaminya hampir setiap hari menghubungi untuk mengetahui kondisi mereka, baik lewat panggilan suara maupun video. Anak-anaknya juga aktif mengikuti kegiatan Forum Anak Pandan Wangi.
Nurmayani mengatakan, satu hal yang berada di luar kendalinya adalah perundungan yang diterima anaknya dari masyarakat. ”Misalnya ada yang bilang anak saya tidak disayang bapak. Tetapi, saya selalu berusaha meyakinkan dia bahwa itu tidak benar. Bapaknya bekerja ke Malaysia untuk dia,” tuturnya.