Merekam Peradaban Yogyakarta Lewat Dana Keistimewaan
Aktivitas perfilman di Daerah Istimewa Yogyakarta ikut didukung pendanaan pemerintah daerah. Melalui dana keistimewaan, lahir sejumlah film sarat prestasi yang merekam dinamika masyarakat kecil.
Medio Agustus 2020, di tengah sesaknya situasi pandemi Covid-19, publik begitu terhibur dan tergelitik dengan viralnya film pendek Tilik. Hingga kini, film produksi sineas muda Yogyakarta itu telah ditonton hingga 25 juta kali di kanal Youtube. Di balik suksesnya, Tilik hanyalah satu dari puluhan karya yang didukung pemerintah daerah melalui dana keistimewaan.
Catur Panggih Raharjo (29) antusias saat mengetahui ide film dokumenter yang digagasnya lolos seleksi pendanaan dari Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tahun 2019. Kala itu, ia berniat mengangkat kisah seorang lansia yang masih aktif bekerja sebagai pelukis sepatbor atau penutup roda becak di Yogyakarta.
Film berdurasi 37 menit itu diberi judul Cipto Rupo. Tak hanya dana, ia dan timnya dari rumah produksi Mentari Project juga mendapat pendampingan dari tenaga-tenaga berpengalaman di dunia perfilman. Kesempatan berharga yang jarang didapat.
”Pada 2018, kami punya ide membuat film dokumenter tentang lansia karena di Yogyakarta ini, kan, banyak lansia yang masih produktif. Tahun 2019, ada pembukaan untuk kompetisi pendanaan film itu,” kata Catur, Selasa (2/3/2021).
Catur dan timnya dari rumah produksi Mentari Project meyakini ide cerita Cipto Rupo dinilai pas dengan program tersebut. ”Setelah kami membaca petunjuk teknis program itu, ternyata kok sesuai dengan apa yang kami buat karena film kami kan berkait dengan lokalitas Yogyakarta,” tutur lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu.
Sesudah melalui proses seleksi tim kurator yang beranggotakan para pakar dan praktisi film, Cipto Rupo terpilih sebagai satu dari enam film yang menerima pendanaan dari Disbud DIY tahun 2019. Nilai pendanaan untuk produksi film Cipto Rupo itu sekitar Rp 179 juta.
Baca Juga: Menjaga agar Gagasan Penting dalam Film Tetap Sampai ke Publik
Seusai terpilih, Catur dan teman-temannya tidak dilepas begitu saja. Ada pendampingan dari tim supervisi yang ditunjuk Disbud DIY. Tim itu beranggotakan para pekerja film profesional yang sudah malang-melintang di dunia perfilman Indonesia.
Adapun Cipto Rupo pertama kali diputar pada November 2019 dalam acara yang digelar Disbud DIY. Setelah itu, film tersebut diputar di sejumlah festival sekaligus memenangi banyak penghargaan. Di dalam negeri, antara lain, diputar di Festival Film Dokumenter (FFD) 2019 serta Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2020.
Pada FFD 2019, Cipto Rupo meraih penghargaan Jury Special Mention untuk kategori Dokumenter Pendek. Cipto Rupo juga diputar di sejumlah festival film luar negeri, misalnya festival film etnografi IntimaLente di Italia serta Golden Tree International Documentary Film Festival di Jerman.
Catur merasa kompetisi pendanaan pembuatan film dari Disbud DIY itu sangat bermanfaat bagi para sineas di Yogyakarta. Apalagi, selain mendapat dukungan pendanaan, para pembuat film yang lolos seleksi juga dibimbing para pekerja film profesional yang sudah berpengalaman.
Ninndi Raras (31), sutradara muda lulusan Universitas Atmajaya Yogyakarta, mengatakan, film Kitorang Basudara yang juga mendapat dana dari Disbud DIY mengangkat kehidupan keseharian mahasiswa rantau asal Indonesia timur. Kehidupan mereka coba diangkat sebagai bentuk panggung keberagaman Yogya yang kerap dijuluki ”Indonesia Mini”.
Selain mendapat dukungan pendanaan, para pembuat film yang lolos seleksi juga dibimbing para pekerja film profesional yang sudah berpengalaman.
Dalam perbincangan dengan Kompas, Agustus 2020, Wahyu Agung Prasetyo, sutradara film Tilik juga mengatakan, kendati ide mengangkat fenomena membesuk tetangga di kalangan ibu-ibu perdesaan sudah ada sejak 2016, proses produksi baru dimulai 2018 (Kompas, 23/8/2020).
”Waktu itu kami enggak punya budget yang mumpuni untuk memproduksi film itu secara independen,” ujar Agung, lulusan Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Produksi Tilik baru terealisasi 2018 setelah Agung dan timnya mendapat bantuan pendanaan dari Dinas Kebudayaan DIY.
99 film
Kepala Bidang Pemeliharaan dan Pengembangan Adat, Tradisi, Lembaga Budaya, dan Seni Disbud DIY Yuliana Eni Lestari Rahayu mengatakan, kompetisi pendanaan pembuatan film itu sudah dimulai sejak 2010. Awalnya, pendanaan program berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DIY. Namun, sejak 2014, sumber pendanaan memanfaatkan dana keistimewaan DIY yang dikucurkan pemerintah pusat kepada Pemda DIY.
Yuliana memaparkan, kompetisi pendanaan pembuatan film itu bertujuan mendukung pengembangan aktivitas perfilman di DIY. Oleh karena itu, program itu hanya bisa diikuti kreator film asal DIY yang dibuktikan dengan kartu tanda penduduk (KTP) atau surat keterangan domisili di DIY. Selain itu, film yang dibuat harus berkaitan dengan dinamika kebudayaan di DIY.
Menurut Yuliana, hingga kini, sudah ada 99 film yang diproduksi dengan bantuan pendanaan dari program itu, terdiri dari 42 film fiksi dan 57 film dokumenter. Jumlah film yang diproduksi setiap tahun berbeda-beda bergantung ketersediaan anggaran.
Pada 2014, misalnya, ada tiga film fiksi dan 28 film dokumenter yang diproduksi. Setahun kemudian, terdapat 15 film fiksi dan 8 film dokumenter yang didanai. Sementara pada 2019, hanya ada 3 film fiksi dan 3 film dokumenter yang diproduksi.
Adapun pada 2020, ada 6 film fiksi dan 4 film dokumenter lolos seleksi, tetapi belum diproduksi karena pandemi Covid-19. Sebanyak 10 film hasil seleksi tahun lalu itu akan diproduksi tahun ini.
Baca juga : Film Independen Masuk Ekosistem ”Video on Demand”
Yuliana mengatakan, jumlah bantuan pendanaan untuk setiap film juga berbeda. Untuk film yang akan diproduksi tahun ini, bantuan pendanaan maksimal Rp 190 juta per film. ”Tapi, tidak semua film mendapat Rp 190 juta karena kami sesuaikan dengan proposal yang masuk. Ada yang mendapat Rp 150 juta, Rp 170 juta, dan sebagainya,” ujarnya.
Dalam proses seleksi, Disbud DIY membentuk tim kurator yang beranggotakan para ahli film. Pada 2020, tim kurator antara lain beranggotakan sutradara Ifa Isfansyah, sutradara Senoaji Julius, seniman Indra Tranggono, dan dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Budi Irawanto.
Disbud DIY juga membentuk tim supervisi yang beranggotakan praktisi film profesional. Anggota tim supervisi tahun ini misalnya, Greg Arya peraih penghargaan penyunting gambar terbaik FFI 2019; Arya Sweta produser film Hiruk Pikuk si Alkisah; serta sutradara Triyanto ”Genthong” Hapsoro.
Baca Juga: Gosip Tak Pernah Mati
Prestasi
Pelibatan para pakar dan praktisi film profesional itu penting agar film yang diproduksi benar-benar berkualitas. Hasil campur tangan mereka tecermin dari prestasi yang diraih sejumlah film yang mendapat pendanaan Disbud DIY.
Pada FFI 2017, misalnya, dua film meraih prestasi membanggakan. Film dokumenter The Unseen Words karya Wahyu Utami Wati meraih penghargaan Film Dokumenter Pendek Terbaik, sedangkan film fiksi karya Makbul Mubarak yang berjudul Ruah meraih penghargaan Film Pendek Terbaik.
Beberapa film lain juga pernah masuk menjadi nominasi FFI. Pada FFI 2016, film Kitorang Basudara karya Ninndi Raras masuk Nominasi Film Pendek Terbaik, sedangkan film Di Kaliurang masuk Nominasi Film Dokumenter Pendek Terbaik.
Pada FFI 2017, Dluwang: The Past from the Trash karya Agni Tirta menjadi Nomine Film Dokumenter Pendek Terbaik, sedangkan Kleang Kabur Kanginan karya Riyanto Tan Ageraha dan Pentas Terakhir karya Triyanto ”Genthong” Hapsoro masuk Nomine Film Pendek Terbaik. Deretan prestasi itu terkini diikuti viralnya film Tilik karya Wahyu Agung Prasetyo pada 2020 melalui kanal Youtube.
Meski didanai anggaran pemerintah, film-film yang mendapat pendanaan Disbud DIY itu bukan berisi propaganda program, atau sekadar media pencitraan pemerintah daerah. Film-film yang didanai justru berkisah tentang pergulatan masyarakat kecil di Yogyakarta dengan segala dinamikanya.
Baca Juga: Pintu Teater Telah Dibuka Kembali
”Film-film ini memang bukan bertujuan untuk pencitraan positif Pemda DIY,” kata dosen Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Dyna Herlina, yang selama beberapa tahun menjadi anggota tim kurator kompetisi pendanaan pembuatan film Disbud DIY.
Oleh karena itu, film-film yang didukung pendanaan dari dana keistimewaan DIY tersebut juga tidak selalu menceritakan sesuatu yang positif mengenai Yogyakarta. Film Loz Jogjakartoz karya Sidharta Tata, misalnya, justru berkisah ihwal dunia hitam di Yogyakarta yang berisi preman, polisi korup, dan politisi busuk.
Pendanaan
Dalam buku Pemetaan Pembuat Film Yogyakarta (2015), Dyna Herlina dkk mencatat, ada 103 kelompok film di DIY. Sebagian besar pelakunya berusia muda. Hampir dua pertiga memulai aktivitas dalam kelompok informal. Kondisi ini dilatarbelakangi geliat perfilman di Yogyakarta yang biasanya dimulai dari lingkungan pertemanan di kampus. Dengan begitu, wajar jika salah satu kendala komunitas film di Yogyakarta terkait pendanaan.
Ninndi Raras pun mengaku optimistis Yogyakarta bakal tumbuh menjadi magnet perfilman Nusantara. Menurut dia, seluruh infrastruktur dan sumber daya di Yogyakarta saat ini sudah mendukung ke arah itu. Hanya saja, permodalan diakui mesti menggandeng investor-investor Jakarta.
Bahkan, beberapa tahun terakhir, lanjut Ninndi, Yogyakarta telah menjadi salah satu tempat rujukan produksi film dan produk audiovisual lain. Banyak perusahaan atau lembaga memanfaatkan jasa kreator film Yogyakarta untuk memproduksi film, iklan layanan masyarakat dan komersial, hingga video promosi. Ini tentu mengangkat ekonomi tenaga perfilman setempat.
”Sekarang infrastruktur sudah lengkap. Tempat persewaan alat-alat film terbesar juga membuka cabang di Yogya. Dengan SDM mumpuni, masa depan perfilman Yogya sangat cerah,” ujar Ninndi yang juga kerap menggarap video komersial tersebut.
Profesional
Dyna mengungkapkan, kompetisi pendanaan pembuatan film itu akan membantu para pembuat film di Yogyakarta agar bisa memproduksi film yang bagus. Dengan begitu, profesionalisme para pembuat film di Yogyakarta bisa meningkat.
”Program ini tujuannya untuk meningkatkan profesionalisme mereka (pembuat film di Yogyakarta). Cara meningkatkan profesionalisme itu, ya, mereka harus punya kesempatan bikin film yang bagus,” ujar Dyna.
Kompetisi pendanaan pembuatan film itu akan membantu para pembuat film di Yogyakarta agar bisa memproduksi film yang bagus. Dengan begitu, profesionalisme para pembuat film di Yogyakarta bisa meningkat.
Dyna menilai, kehadiran kompetisi pendanaan film oleh pemerintah daerah bertujuan membantu para pembuat film di Yogyakarta agar bisa memproduksi film berkualitas bagus. Karya-karya itu nantinya bisa menjadi portofolio para sineas muda sehingga selanjutnya bisa mendapat kesempatan berkarya di kancah nasional, bahkan internasional.
Bantuan dana istimewa juga seyogianya didukung peran pihak lain, mulai dari pembuat film, lembaga swasta, investor, hingga masyarakat luas. Semua demi mewujudkan ikhtiar menjadikan Yogyakarta salah satu mercusuar industri sinema Nusantara.