Pencabutan Perpres Investasi Miras Didukung Masyarakat Papua
Masyarakat Papua mendukung keputusan Presiden Joko Widodo yang membatalkan lampiran Perpres Investasi terkait minuman keras. Hal ini sejalan dengan perda larangan peredaran miras di Papua sejak 2013.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA/Kristian Oka Prasetyadi
·4 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Keputusan Presiden Joko Widodo mencabut lampiran Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021, khususnya terkait pembukaan investasi di bidang industri minuman keras, didukung berbagai pihak di Papua. Hal ini untuk melindungi masyarakat setempat dari dampak negatif minuman keras.
Sekretaris II Dewan Adat Papua John Gobay, di Kota Jayapura, Rabu (3/3/2021), mengatakan, pihaknya mengapresiasi keputusan Presiden Jokowi yang mencabut regulasi investasi minuman keras (miras) itu. Hal ini sesuai dengan aspirasi tokoh adat dan tokoh agama di Papua.
Ia berpendapat, seharusnya ada koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah sebelum menetapkan kebijakan investasi di daerah. Tujuannya agar program pusat sesuai dengan kebutuhan masyarakat, khususnya di Papua.
”Alangkah baiknya pusat menjalin komunikasi dengan pemda dan pihak terkait untuk pengelolaan sumber daya alam di Papua,” kata John.
Ia menuturkan, seharusnya ada pemetaan terlebih dahulu sebelum menentukan kebijakan investasi agar tepat sasaran dan sesuai dengan potensi daerah. ”Investasi di Papua sangat potensial dan bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Papua memiliki potensi sumber daya alam baik di bidang pertambangan, perkebunan, dan perikanan,” tambahnya.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Papua Jery A Yudianto mengatakan, pihaknya mendukung penuh keputusan Presiden Jokowi mencabut lampiran Perpres Nomor 10 Tahun 2021, khususnya terkait pembukaan investasi di bidang industri minuman keras.
Ia menilai keputusan Presiden sesuai dengan implementasi Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pelarangan Produksi dan Pengedaran Minuman Keras di Papua.
Pada 30 Maret 2016, seluruh kepala daerah dari 28 kabupaten dan 1 kota bersama Gubernur Papua Lukas Enembe telah menandatangani lima poin dalam pakta integritas untuk pelaksanaan perda miras. Salah satu poin tersebut adalah saling bekerja sama dengan instansi lain untuk mengawasi pelarangan kegiatan produksi dan penjualan minuman beralkohol.
”Kami berharap adanya regulasi investasi yang bersifat padat karya dan sesuai dengan kearifan lokal masyarakat Papua, seperti kopi dan sagu. Kedua komoditas ini berpotensi besar untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Papua,” tutur Jery.
Sementara itu, pencabutan lampiran Perpres No 10/2021 mendapat beragam respons di Sulawesi Utara. Anggota Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Sulut, Daniel Pesik, misalnya, menyayangkan pembatalan tersebut. Potensi peningkatan ekonomi daerah menjadi korbannya.
”Ini merugikan daerah (Sulut) karena kita punya potensi yang besar sekali (dari miras lokal). Banyak sekali masyarakat kita yang bergerak dalam produksinya, tidak bisa disamakan dengan daerah-daerah lain. Jadi, para pelaku usaha keberatan dengan pembatalan tersebut,” kata Daniel, Rabu (3/3/2021).
Minuman keras lokal yang paling dikenal dari Sulut, terutama daerah Minahasa, adalah fermentasi air nira pohon aren yang dikenal sebagai Cap Tikus. Sejumlah daerah, seperti Tumaluntung di Minahasa Utara, Tuur Maasering di Tomohon, dan Motoling di Minahasa Selatan, merupakan penghasil Cap Tikus.
Peminatnya sangat besar, dan itu sudah kami promosikan ke mana-mana. Jadi, pembatalan perpres sangat merugikan.
Pada pertengahan 2018, Sulut memiliki lahan perkebunan aren seluas 5.837,57 hektar. Dinas Perkebunan Sulut hanya menghitung produktivitas perkebunan aren dalam bentuk gula merah yang produktivitasnya 445,44 kilogram per hektar. Ada 8.557 keluarga yang menggantungkan kehidupannya pada tanaman ini. Selama ini, petani memproduksi Cap Tikus secara mandiri dalam kemasan botol bekas air mineral. Satu botol 600 mililiter dijual kisaran Rp 20.000. Dengan kadar alkohol 40 persen ke atas, penjualannya tak teregulasi.
Hingga kini, baru ada satu perusahaan besar produsen Cap Tikus, yaitu PT Jobubu Jarum Minahasa di Minahasa Selatan. Produknya adalah dua varian minuman tersebut dalam rasa asli dan kopi. Dengan kadar alkohol 45 persen, minuman tersebut dijual dalam kemasan 320 ml seharga Rp 70.000. Ia dikenai cukai Rp 60.000 per liter.
Menurut Daniel, kehadiran investasi bisa saja semakin menyejahterakan para kelompok tani Cap Tikus sebagai pemasok utama minuman tersebut. Para pengusaha pun berkesempatan menjualnya di pasar lokal maupun internasional.
”Peminatnya sangat besar, dan itu sudah kami promosikan ke mana-mana. Jadi, pembatalan perpres sangat merugikan,” katanya.
Sementara itu, belum jelas tanggapan Pemprov Sulut terkait pembatalan legislasi ini. Kepala Dinas Kebudayaan Sulut Patricia Mawitjere mengatakan, belum ada kajian yang diumumkan kantor gubernur Sulut terkait rencana perpres tersebut. Yang jelas, Cap Tikus adalah satu produk kuliner sekaligus kebudayaan Sulut.
Meski demikian, Patricia tidak menampik adanya efek negatif dari minuman keras tersebut, seperti peningkatan kriminalitas dalam bentuk, misalnya, penikaman. Menurut dia, dampak sosial dan kebudayaan bagi masyarakat Sulut perlu dikaji jika kebijakan tersebut akan diloloskan.
Adapun Ketua DPRD Sulut Fransiscus Andi Silangen menyerahkan segala keputusan kepada pemerintah pusat. Kader PDI-P ini menyatakan, pemberian pengecualian kepada beberapa daerah adalah kebijakan pemerintah pusat. Ia pun yakin, wacana tersebut telah melalui kajian yang matang.
”Sebenarnya, ini bisa sangat menguntungkan. Petani (Cap Tikus) bisa semakin semangat bekerja. Cap Tikus ini, kan, bukan cuma menghasilkan sesuatu yang membahayakan, tetapi bisa jadi bahan dasar alkohol untuk disinfektan. Macam-macam hasil olahannya,” katanya.