Rapat koordinasi untuk menyamakan persepsi pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, khususnya minuman keras berbasis budaya.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Para pihak, baik birokrasi pemerintahan maupun penegak hukum, di Nusa Tenggara Timur, mulai menyamakan persepsi legalisasi bisnis produksi minuman lokal warisan budaya, termasuk moke, tuak, atau arak. Hal ini merespons pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang disahkan Februari lalu dan membuka peluang usaha produksi minuman keras berbasis budaya lokal.
Kepala Biro Humas dan Protokol Sekretariat Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) Marius Ardu Jelamu di Kupang, Senin (1/3/2021), mengatakan, Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal ini berlaku bagi empat provinsi, yakni Bali, Papua, NTT, dan Sulawesi Utara. Pemprov melihat perpres itu sebagai peluang masyarakat meningkatkan kesejahteraan hidup selain melestarikan budaya daerah.
”Segera digelar rapat koordinasi atau rakor untuk menyamakan persepsi dari tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, TNI-Polri, dan pemda masing-masing daerah. Rakor ini penting dalam penerapan perpres di lapangan sehingga tidak merugikan masyarakat yang sudah antusias menyambut perpres tersebut,” katanya.
Sebelum perpres itu keluar, Gubernur NTT telah mengeluarkan Pergub Nomor 44 Tahun 2019 tentang Pemurnian dan Tata Kelola Minuman Tradisional Beralkohol Khas NTT. Peraturan itu juga mendasari produksi minuman keras lokal bernama Sophia.
Menurut Jelamu, para pihak di NTT harus bertemu untuk menyamakan persepsi mengenai sebutan minuman keras (miras). Tafsir selama ini dinilai terlalu umum sehingga melebar ke mana-mana dan menimbulkan gejolak di masyarakat.
Kepala Polda NTT Irjen Lotharia Latif mengatakan, dirinya masih menunggu pembahasan lanjutan dari Pemprov NTT soal Perpres Nomor 10 Tahun 2021 sebagai realisasi UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 itu. ”Di NTT akan ada pembahasan bersama dengan Gubernur, Ketua DPRD, Kepala Kejaksaan Tinggi, dan instansi lain terkait,” katanya.
Di sejumlah daerah, minuman mengandung alkohol sudah turun-temurun digunakan dalam ritual masyarakat adat. Menjadi bagian dari budaya daerah, yang diwariskan turun-temurun dari nenek moyang.
Mereka menyadap pohon lontar, kelapa, dan enau untuk minuman sehari-hari, memberi sesajian kepada nenek moyang, meneguk miras sambil bertutur adat, serta mempererat persaudaraan dan kekeluargaan melalui tegukan bersama. ”Zaman dulu, mereka duduk keliling, meneguk milo (minuman lokal) bersama dengan menggunakan satu wadah yang sama, yakni tempurung. Tempurung itu diedarkan dari satu mulut ke mulut lain demi persaudaraan tadi,” katanya.
Ada beberapa penamaan miras ini. Di Timor disebut sopi, Flores menyebutnya moke, arak, atau tuak. Bulir lontar, enau, atau kelapa disadap sebelum mengeluarkan buah untuk menghasilkan nira, kemudian disuling menjadi sopi, arak, atau moke.
Kadar alkohol
Terkait penerapan perpres itu, miras lokal yang beredar di masyarakat nantinya wajib melalui proses laboratorium untuk menetapkan kadar alkoholnya. Ini juga untuk menjaga higienitas sehingga jelas dan tidak merugikan kesehatan konsumen.
Ke depan, miras yang beredar di masyarakat memiliki kadar alkohol bervariasi. Ada yang diproduksi untuk minuman harian di rumah dengan kadar alkohol misalnya 2-3 persen dan aturan lain untuk konsumsi level restoran, hotel, hingga produk ekspor.
”Kita inginkan miras bernilai ekspor setingkat minuman sake di Jepang, champagne dari Paris, vodka dari Rusia, whisky dari Irlandia, dan brandy dari Belanda. NTT sudah mengembangkan miras sejenis ini, berkelas internasional dengan sebutan Sophia oleh badan pengembangan dan penelitian Universitas Nusa Cendana Kupang bekerja sama dengan pemprov,” kata Jelamu.
Minuman keras Sophia sudah diatur dalam Pergub NTT Nomor 44 Tahun 2019. Bupati dan wali kota pun segera menyusun peraturan yang sama sebagai penjabaran Perpres Nomor 1 Tahun 2021 sesuai UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan NTT Abdul Nazir mengatakan, pemprov akan mendatangkan 100 mesin pemroses minuman lokal sesuai standar kesehatan. Miras yang beredar di masyarakat akan dipastikan aman karena higienis, lalu kadar alkohol yang disesuaikan. Tahun ini sedang diuji coba enam mesin untuk perajin minuman lokal.
Sarana budaya
Dosen Fakultas Universitas Katolik Kupang, Mikhael Feka, menyebut, seiring perpres ini, penyitaan dan pemusnahan miras oleh aparat kepolisian segera dihentikan. Sopi, moke, arak, dan tuak bukan lagi minuman yang dilarang, tetapi sudah dinyatakan legal.
Dalam perpres itu, miras bukan lagi sarana kriminalitas, tetapi sarana budaya. Perbuatan manusianya yang harus menjadi fokus penegakan hukum, bukan lagi sopi atau moke yang dikriminalisasi. Karena itu, semua pihak perlu menyamakan persepsi soal ini.
Agus Taduhere (32), penyuling miras dari pohon lontar di Desa Tuamese, Kecamatan Biboki Anleu, Timor Tengah Utara, mengatakan, peraturan gubernur yang ada sebenarnya sudah bagus. Namun, praktik di lapangan kadang tidak sesuai. Polisi yang bertugas di desa sering menakut-nakuti para perajin miras lokal.
”Saat Pergub diterbitkan 2019, kami senang, lalu memproduksi miras lima drum. Tetapi, kemudian disita aparat kepolisian dengan alasan produksi itu ilegal karena pergub belum disosialisasikan sampai tingkat bawah. Mudah-mudahan kali ini benar-benar jual-beli bebas,” kata Taduhere.