Pasokan Vaksin Belum Optimal di Jabar, Vaksinasi Mandiri Dipertanyakan
Di tengah keputusan pemerintah mengizinkan pihak swasta menggelar vaksinasi mandiri atau gotong royong, Jabar masih kekurangan vaksin. Vaksinasi seharusnya memprioritaskan kelompok rentan karena pasokan terbatas.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Pasokan vaksin Covid-19 di sejumlah daerah di Jawa Barat belum sesuai kebutuhan. Pada saat yang sama, pemerintah mengizinkan pihak swasta menjalankan vaksinasi mandiri. Kebijakan tersebut dipertanyakan karena dinilai memicu ketidakadilan akses vaksin.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Cirebon Edy Sugiarto mengatakan, vaksinasi tahap kedua mulai digelar pekan depan di Gedung Sekretariat Daerah Kota Cirebon. Vaksinasi ini menyasar pelayan publik, seperti aparat kelurahan hingga pegawai negeri sipil setempat.
Sekitar 5.200 warga membutuhkan vaksin tahap kedua. ”Ini lucu. Pemerintah pusat menargetkan vaksinasi 5.200 orang, tetapi yang dikirim baru 4.600 vaksin. Jadi, kalau semuanya habis, kami tetap tidak mencapai target,” ujarnya, Minggu (28/2/2021), di Cirebon.
Edy berharap, pemerintah pusat segera mengirim tambahan vaksin untuk vaksinasi Covid-19 tahap kedua. Apalagi, masih ada sekitar 400 tenaga kesehatan (nakes) yang belum menjalani vaksinasi.
Dia memastikan, kapasitas tempat penyimpanan vaksin di Gudang Farmasi cukup, mencapai 15.000 vial vaksin. Adapun total kebutuhan vaksin di Cirebon 454.569 vial yang ditargetkan tuntas April 2022.
Tidak hanya Cirebon yang kekurangan pasokan vaksin. Pemprov Jabar pun baru menerima 1,14 juta dosis vaksin atau 8,6 persen atau sekitar 570.000 sasaran vaksinasi. Padahal, kebutuhan vaksin adalah 13,2 juta dosis vaksin untuk 6,6 juta orang.
Sasaran vaksinasi itu meliputi warga lanjut usia 4,4 juta orang, tenaga pendidik (681.037), tokoh agama (10.578), dan pedagang pasar (737.029). Ada juga pegawai pemerintah (232.033), aparat TNI dan Polri (69.357), pekerja bidang transportasi (146.939), serta petugas pelayanan publik lainnya.
”Vaksin yang datang sekarang baru 8 persen dari sasaran. Jadi, kami bersama pemerintah kabupaten/kota akan menyusun yang menjadi prioritas di awal mendapat vaksin di tahap dua ini,” ujar Ketua Divisi Penanganan Kesehatan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Jabar Marion Siagian. Vaksinasi tahap kedua ditargetkan rampung Maret ini (Kompas, 26/2/2021).
Sebagai provinsi berpenduduk hampir 50 juta orang, Jabar menjadi salah satu daerah dengan kasus Covid-19 tinggi. Data Pusat Informasi dan Koordinasi Covid-19 Jabar, Minggu, menunjukkan, 210.442 warga terkonfirmasi positif Covid-19. Sebanyak 2.305 orang meninggal dan 36.618 pasien masih dirawat.
Vaksinasi mandiri
Dicky Budiman, epidemiolog Indonesia di Griffith University, Australia, pun mempertanyakan keputusan pemerintah mengizinkan pihak swasta menggelar vaksinasi mandiri atau disebut gotong royong. Padahal, sejumlah daerah masih kekurangan vaksin. ”Kebijakan yang tidak konsisten melahirkan masalah baru,” katanya.
Vaksinasi mandiri tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19 yang ditandatangani Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pada 24 Februari 2021. Jenis vaksin yang digunakan di luar vaksinasi program pemerintah.
Pendanaan vaksinasi mandiri dibebankan kepada perusahaan sehingga semua penerima vaksinasi tidak dipungut biaya. Program ini diharapkan mempercepat terbentuknya kekebalan komunitas sehingga penyebaran Covid-19 bisa terkendali.
Menurut Dicky, kekebalan komunitas yang mensyaratkan 181,5 juta penduduk menerima vaksin merupakan target jangka panjang. Apalagi, secara global, pasokan vaksin belum menjawab kebutuhan berbagai negara, termasuk Indonesia.
Di tengah keterbatasan itu, pemerintah seharusnya fokus menuntaskan vaksinasi terhadap kelompok rentan, seperti tenaga kesehatan dan lansia. Keterlibatan pihak swasta dalam vaksinasi seharusnya mendukung hal itu.
Kalau mau menyelamatkan banyak orang, selamatkan dulu yang paling rawan.
”Kalau mau menyelamatkan banyak orang, selamatkan dulu yang paling rawan. Inilah tujuan vaksinasi di era pandemi, bukan untuk pemulihan ekonomi,” ujarnya dalam diskusi ”Adil dan Bijakkah Vaksin Mandiri?” yang digelar LaporCovid-19, Sabtu (27/2), via daring.
Sementara, dalam vaksinasi mandiri, penerima vaksin adalah karyawan sebuah perusahaan, bukan berdasarkan kerentanan orang tersebut.
Kondisi ini bisa memicu ketidakadilan akses terhadap vaksin. Misalnya, kelompok rentan harus mengantre lebih lama untuk menerima vaksin, sedangkan pihak swasta bisa dengan mudah menikmati vaksin. Belum lagi jika vaksinasi dilakukan berdasarkan kelompok tertentu atau satu partai.
Di sisi lain, lanjutnya, pihak swasta belum berpengalaman melakukan vaksinasi mandiri. ”Bagaimana quality control (pemantauan kualitasnya), pelaporannya, kapasitas sumber dayanya? Ada isu, muncul vaksin palsu, pencurian, hingga nepotisme,” ungkapnya.
Untuk itu, Dicky mendorong pemerintah memperjelas skema vaksinasi mandiri. ”Pemerintah tidak bisa mengandalkan swasta karena ini barang publik. Vaksin juga tidak akan berhasil jika hal mendasar tidak dilakukan, yakni 3 T (tes, pelacakan, dan isolasi),” ujarnya.