Pelantikan 178 pasangan kepala daerah-wakil kepala daerah merupakan gelombang pertama pelantikan bupati/wali kota hasil Pilkada 9 Desember 2020. Sebagai "wajah baru" pemerintahan, mereka harus bekerja cepat dan tepat.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO / IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Sekitar 50 persen dari 178 pasangan kepala daerah-wakil kepala daerah, yang dilantik Jumat (26/2/2021), berasal dari non-petahana. Sebagai "wajah baru" di pemerintahan, mereka harus mampu bekerja cepat dan inovatif dalam penanganan pandemi Covid-19 serta pemulihan ekonomi di daerahnya.
Pelantikan 178 pasangan kepala daerah-wakil kepala daerah itu merupakan gelombang pertama pelantikan bupati/wali kota hasil Pilkada 9 Desember 2020. Pilkada itu digelar untuk memilih sembilan gubernur dan wakilnya serta 261 bupati/wali kota. Pelantikan dilakukan di ibu kota provinsi.
Adapun, berdasarkan dataKompas, dari total 178 kepala daerah yang dilantik, terdapat 91 non-petahana. Sisanya, 87 kepala daerah merupakan petahana. Artinya, kepala daerah yang dilantik saat ini didominasi oleh "wajah baru".
Staf Khusus Menteri Dalam Negeri Bidang Politik dan Media Kastorius Sinaga saat dihubungi di Jakarta, Jumat (26/2/2021), mengatakan, kepala daerah yang baru dilantik ini harus mampu menunjukkan kapasitas kepemimpinan mereka sesuai janji dan substansi gagasan yang telah disampaikan pada masa kampanye.
"Kami harapkan para kepala daerah yang dilantik ini tampil sebagai pemimpin tangguh yang muncul dari situasi krisis Covid-19, dan memiliki komitmen untuk menomorsatukan kepentingan bangsa, daerah, dan masyarakatnya, bukan sebaliknya. Kepemimpinan kuat yang berorientasi kepentingan luas masyarakat sangat dibutuhkan di saat krisis Covid-19 saat ini"
Tantangan baru secara khusus juga menanti para kepala daerah non-petahana. Mereka harus cepat beradaptasi dalam sistem pemerintahan dan segera mengatasi dampak sosial dan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
"Kami harapkan para kepala daerah yang dilantik ini tampil sebagai pemimpin tangguh yang muncul dari situasi krisis Covid-19, dan memiliki komitmen untuk menomorsatukan kepentingan bangsa, daerah, dan masyarakatnya, bukan sebaliknya. Kepemimpinan kuat yang berorientasi kepentingan luas masyarakat sangat dibutuhkan di saat krisis Covid-19 saat ini," ujar Kastorius.
Analis Kebijakan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman sependapat bahwa langkah cepat para kepala daerah non-petahana dibutuhkan di tengah masa krisis ini. Segala perencanaan diharapkan bisa fokus pada pemulihan dampak pandemi sehingga bisa berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi di daerah.
"Mereka harus belajar pada petahana yang kalah atau tidak lagi maju. Belajar apa yang mereka lakukan, kegagalan apa yang terlihat dan apa yang berhasil untuk kemudian menjadikan itu semua sebagai titik mulai untuk bekerja," kata Herman.
Selain itu, menurut Herman, mereka perlu juga mempersiapkan sebuah kerangka kebijakan untuk meningkatkan kemandirian fiskal terutama pendapatan asli daerah. KPPOD selalu mendorong agar sistem administrasi pajak beralih menjadi sistem pelayanan online. Itu diyakini bisa berdampak positif terhadap peningkatan penerimaan dari sisi pajak dan retribusi daerah.
"Jadi, ini yang perlu diperhatikan para kepala daerah yang baru, bagaimana meningkatkan kemandirian fiskal, terutama dari sisi pajak dan retribusi daerah," tuturnya.
Soliditas
Persoalan lain yang harus diantisipasi bagi kepala daerah baru dan sering muncul adalah perselisihan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah. Sebagai sebuah pasangan, kepala daerah dan wakil kepala daerah diharapkan mampu membangun soliditas hingga akhir masa jabatan. Sebab, di tengah masa krisis ini, soliditas menjadi pondasi utama.
"Saya kira, dampaknya sangat buruk. Publik jadi tak percaya pada pemerintah karena mereka sendiri saja berselisih. Pelayanan publik juga rentan terganggu karena birokrasi, kan, harus taat pada pimpinan. Nah, kalau dua pucuk pimpinan ini tidak solid, itu juga bisa berdampak pada para bawahan, kepala dinas, dan kepala bagian di bawahnya. Ini pasti berdampak pada kinerja pelayanan kebutuhan publik," ucap Herman.
Peneliti politik senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengingatkan, kepala daerah terpilih agar tidak memperpanjang kontestasi yang telah berakhir dan tidak terburu-buru berpikir untuk maju pada Pilpres 2024 karena hanya akan menghambat kinerja pemerintahan. Mereka yang dilantik semestinya segera menjalankan program dari visi dan misi yang ditawarkan kepada rakyat saat berkampanye.
Kebijakan dari kepala daerah baru yang bukan merupakan petahana menjadi bentuk awal menunjukkan komitmennya menyejahterakan masyarakat. Apalagi kondisi sekarang terdampak pandemi Covid-19, kepala daerah dituntut untuk membantu masyarakat terdampak pandemi selama setahun terkahir yang telah berdampak ke aspek sosial, ekonomi, dan politik.
“Tahun pertama kepala daerah baru perlu segera memetakan dan menyelesaikan masalah utama di daerah yang sudah diidentifikasi saat masa kampanye”
“Tahun pertama kepala daerah baru perlu segera memetakan dan menyelesaikan masalah utama di daerah yang sudah diidentifikasi saat masa kampanye,” katanya.
Kepala daerah baru diharapkan memiliki inovasi-inovasi dan bisa berpikir di luar kotak dibandingkan kepala daerah terdahulu. Mereka perlu berkolaborasi dengan berbagai pihak agar program-program yang direncanakan bisa diimplementasikan secara maksimal sehingga memberikan kesejahteraan kepada masyarakat.
“Inovasi harus dilakukan untuk meningkatkan daya saing daerah sehingga pembangunan tidak hanya bergantung pada anggaran negara,” kata Siti.