PLTA Tonsealama, Simpul Persahabatan Manusia dengan Danau Tondano
PLTA Tonsealama adalah sumber terang lampu pertama di tanah Minahasa. Tabir kehidupan modern manusia pun terbuka di Sulawesi Utara dalam persahabatan dengan alam Tondano. Kini, persahabatan itu diuji.
Dari sebuah bangunan tua di lembah Desa Tonsealama, listrik pertama kali dipantik untuk memberi terang bagi tanah Minahasa. Layanan kelistrikan umum pun membuka tabir kehidupan modern bagi Sulawesi Utara. Seiring itu pula, terjalinlah persahabatan antara manusia dan Danau Tondano.
Unit Layanan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tonsealama, bangunan tua itu, masih kokoh berdiri. Letaknya di Desa Tonsealama, Kecamatan Tondano Utara, Kabupaten Minahasa, Sulut, sekitar 35 kilometer dari Manado. Bentuk konstruksinya masih sama sejak dibangun pemerintah kolonial Belanda. Ia termasuk tujuh pembangkit pertama milik s’Lands Waterkracht Bedriven, perusahaan listrik di Hindia Belanda yang didirikan pada 1927.
Turbin pertama PLTA itu, tipe Francis Vertical/6007 buatan Escher Wyss & Cie tahun 1917, juga masih berfungsi. Berkombinasi dengan generator General Electric buatan Amerika Serikat, jadilah pembangkit berkapasitas 4,44 megawatt (MW). Pemerintah kolonial Jepang mendatangkan turbin dan generator itu sekitar 1942-1945 setelah mengambil alih wilayah Indonesia dari Belanda.
”Sempat ada pihak dari Jepang yang mau mengambil mesin ini, katanya mau dimuseumkan. Mereka akan ganti dengan mesin baru, tetapi kami tolak karena mesin ini bagian dari sejarah bangsa kita,” kata Sonny Lembong, Manajer Unit Layanan PLTA Tonsealama, Rabu (17/2/2021).
Setelah rentetan perpindahan kekuasaan kolonial, PLTA Tonsealama baru mulai beroperasi penuh pada 1950 dengan memanfaatkan aliran dari Danau Tondano. Ia menjadi saksi bisu perjalanan bangsa mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kehidupan banyak orang pun berubah, termasuk Allo Lapian (81). Semasa kecil di Desa Kayuuwi, Kawangkoan, Kabupaten Minahasa, hanya lampu dian yang menerangi malamnya. Baru pada 1960-an, layanan listrik mengalir ke desanya. ”Listrik lebih dulu masuk ke Manado. Asalnya, ya, dari PLTA di Tondano,” katanya.
PLTA itu merekam pula perjuangan mempertahankan Republik pada 1958. Lubang-lubang bekas peluru dari baku tembak antara TNI dan pasukan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) masih ada di tiang kayu gedung, pagar balkon, hingga badan generator. Seorang operator generator, Benyamin Kri Yoma, tewas dalam kejadian itu akibat peluru nyasar.
Baca juga:Produksi Tiga PLTA Terancam, PLN Angkat Eceng Gondok dan Sampah di Danau Tondano
Menurut Sonny, yang mulai bekerja bagi PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) pada 1988, nilai historis PLTA itu akan hilang jika dipisahkan dari beragam komponen fundamental pertamanya. ”Jarang kita memiliki (mesin-mesin) saksi sejarah bangsa yang sampai sekarang masih bisa beroperasi. Ini bikin kami makin semangat merawatnya,” ujarnya.
Kapasitas terpasang PLTA Tonsealama meningkat ke 14,38 MW setelah ketambahan pembangkit berdaya 4,5 MW pada 1970 dan 5,44 MW pada 1981. Ketiganya terus bekerja berkat Danau Tondano yang senantiasa menghidupkan.
Prioritas
Semakin menua, PLTA Tonsealama justru semakin penting bagi masa depan kelistrikan di wilayah Sulut dan Gorontalo (Sulutgo), apalagi sumber energinya bersih dan berkelanjutan. Dalam keadaan apa pun, operasionalisasinya akan selalu diprioritaskan ketimbang pembangkit jenis lain.
Sebab, kata Kepala Unit Pelaksana Pengendalian dan Pembangkitan (UPDK) Minahasa PT PLN Andreas Arthur Napitupulu, biaya variabel PLTA sangat murah, hanya pajak permukaan air Rp 20 per kWh (kilowatt jam). Coba bandingkan dengan PLT Diesel yang butuh 0,25 liter solar per kWh.
”Kalau harga solar Rp 6.000 saja, variable cost-nya sudah Rp 1.500 per kWh,” kata Andreas. Sebagai pembanding, tarif pelanggan listrik untuk rumah berdaya 900 VA (volt ampere) adalah Rp 1.352 per kWh.
PLTA Tonsealama juga menjadi kunci produksi optimal PLTA Tanggari I (18 MW) dan Tanggari II (19 MW) yang berdiri di terusan alur Sungai Tondano. Andreas mengandaikan sistem cascading (turun bertahap) ini seperti menuang air dari satu botol ke botol lain yang berdiameter lebih kecil dengan bantuan corong.
”Sudah ada saluran yang dibuat khusus sehingga debit air dari Tonsealama tetap sama hingga masuk ke Tanggari. Kalau intake (saluran masuk) Tonsealama ditutup dan air dibiarkan mengalir lewat jalur sungai alami, volumenya tidak akan cukup di Tanggari I dan II,” katanya.
Baca juga:Pembersihan Eceng Gondok Awali Revitalisasi Danau Tondano
Otomatis, PLTA Tonsealama terdepan dalam menjaga proporsi energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi listrik di wilayah Sulutgo. Kapasitas terpasang tiga PLTA di daerah aliran sungai (DAS) Tondano itu 51,38 MW, hampir 10 persen dari 516,64 MW kekuatan kelistrikan Sulutgo. Adapun kontribusi EBT di Sulutgo kini 219 MW (42 persen).
Persentase EBT di Sulut itu cukup menggembirakan. Pasalnya, secara nasional, kapasitas terpasang listrik adalah 70.900 MW, tetapi EBT baru menyumbang 10.400 MW atau 14,6 persen. Pemerintah bertekad mencapai kapasitas terpasang dari EBT sebesar 47.500 MW pada 2035, termasuk 7.815 MW dari PLTA untuk menerangi negeri.
Kerusakan alam
Di atas segala signifikansinya, PLTA Tonsealama menjadi ”meterai” persahabatan antara manusia dan Danau Tondano. Jika manusia berkhianat dengan merusak alam, Tonsealama pasti akan menguaknya.
Hampir sepanjang 2020, produksi listrik PLTA Tonsealama hanya 4-6 MW. Tiga mesinnya jarang beroperasi serempak. PLTA Tanggari I pun hanya mampu menghasilkan 6,5-7 MW, sedangkan Tanggari II 8-9 MW. Total produksi ketiganya tak sampai 50 persen dari keseluruhan kapasitas terpasang.
Debit air yang masuk ke PLTA Tonsealama menipis, hanya 9 meter kubik per detik pada musim hujan. Padahal, tiga turbin PLTA itu mampu menampung 20,52 meter kubik per detik. Inilah satu dampak dari kerusakan alam yang meluas di daerah tangkapan air (DTA) Danau Tondano.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat, luas hutan primer dan sekunder hanya tersisa 750,87 hektar (3,6 persen) dari 20.862,83 hektar DTA. Sebagian besar wilayah itu (83,46 persen) telah beralih fungsi menjadi sawah, ladang, dan perkebunan.
Erosi tak terhindarkan di 35 sungai yang bermuara (inlet) ke Danau Tondano. Kedalaman danau pada 2015 tersisa 14 meter, jauh dari 40 meter pada 1934 akibat sedimentasi 40 sentimeter tiap tahun. Danau pun menyempit, tersisa 3.925 hektar menurut hitungan Pemkab Minahasa dari mulanya 4.700-an hektar.
Penyempitan makin parah karena warga mendirikan rumah dan tempat usaha seperti restoran di tepian. ”Danau semakin ditekan oleh kebutuhan masyarakat. Banyak yang sudah punya sertifikat di sempadan danau, bahkan di atas air,” kata Kepala Balai Wilayah Sungai Sulawesi I (BWSS I) Bastari.
Danau yang termasuk 15 danau prioritas nasional itu pun tercemar. Limbah pertanian, peternakan, dan keramba jaring apung menyuburkan eceng gondok, sementara sampah rumah tangga menumpuk.
Rexy (28), warga Desa Toulour di tepi outlet danau, menyayangkan rendahnya kesadaran warga yang berujung pada nasib Danau Tondano kini. ”Airnya sekarang bau. Banyak ikan mati. Eceng gondok juga makin menyebar. Saya khawatir, 20 tahun lagi mungkin danau ini sudah tidak layak,” kata dia.
Ini menghambat volume air yang masuk ke intake Tonsealama.
Menurut penghitungan BWSS I, kini eceng gondok menghampar seluas 175 hektar di permukaan Danau Tondano, belum termasuk DAS-nya. ”Dia tumbuh sekitar 41 persen sejak Oktober 2020. Pertumbuhannya memang cepat sekali, Kami perkirakan bisa sampai 314 hektar per Juni 2021,” ujar Bastari.
Masalah sedimentasi dan eceng gondok, ditambah lagi sampah, seperti lagu sumbang yang tak kunjung berhenti berputar bertahun-tahun. ”Ini menghambat volume air yang masuk ke intake Tonsealama,” kata Andreas.
Tiga PLTA di DAS Tondano pun hanya mampu berkontribusi 5-6 persen bagi beban puncak sistem Sulutgo yang saat ini 365 MW. Memang tak sampai terjadi defisit listrik seperti dekade 1995-2005. Namun, ini berarti sebagian besar kebutuhan listrik Sulutgo dipasok oleh energi yang biaya variabelnya lebih mahal, bahkan tak ramah lingkungan.
Karena itu, sejak November 2020, UPDK Minahasa PT PLN mengintensifkan pembersihan DAS. Eceng gondok dan sampah yang terbawa arus ditahan dengan pelampung perangkap (trash boom). Material pengganggu itu kemudian dikumpulkan di sebuah kolam sebelum ditampung untuk dibawa truk-truk sampah ke tempat pembuangan.
Hasilnya, produksi PLTA Tonsealama bisa tumbuh hingga 7,7 MW. Daya mampu di Tanggari I mencapai 9 MW, sedangkan Tanggari II 11 MW. Produksi pun meningkat hingga 53,9 persen dari daya terpasang ketiga PLTA. Pasokan listrik itu dapat dinikmati setidaknya 38.470 pelanggan daya 900 VA.
”Ini tantangan bagi kami, bagaimana terus menaikkan produksi dalam kondisi alam seperti ini,” kata Andreas.
Kerja bersama
Kendati begitu, masalah di hulu belum hilang. Awal 2020, Pemkab Minahasa telah menyiapkan Rp 6,6 miliar untuk merevitalisasi Danau Tondano. Pemprov Sulut mendukung dengan Rp 20 miliar. Warga dilibatkan mengangkat eceng gondok secara padat karya, tetapi hasilnya belum terlihat.
Program serupa akan diadakan lagi dalam waktu dekat dengan anggaran Rp 4,9 miliar dari Pemkab Minahasa. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Minahasa Vicky Kaloh mengatakan, pemkab juga akan merampungkan instrumen pengendalian pemanfaatan Danau Tondano dalam bentuk peraturan bupati.
Peraturan daerah tentang rencana detail tata ruang (RDTR) sekitar Danau Tondano juga sedang dalam tahap penyelesaian. ”Itu akan menjadi payung hukum untuk menata danau. Misalnya, wilayah keramba jaring apung itu di area mana saja, luasnya berapa, berapa meter menjorok ke danau,” kata Vicky.
Upaya pencegahan sedimentasi, terutama di lahan sekitar 35 inlet Danau Tondano, juga akan diatur dalam perda itu. ”Ini terkait upaya rehabilitasi DTA. Ada kewajiban pemerintah dan masyarakat,” kata Vicky.
Sementara itu, BWSS I fokus menyelamatkan luasan Danau Tondano dengan tanggul keliling sepanjang 18,5 kilometer. Anggarannya Rp 1,33 triliun selama 2021-2024. Bastari mengatakan, tanggul itu dapat mencegah masyarakat mengokupasi area permukaan danau, terutama yang telah mendangkal.
Ini bisa menjadi pasokan air bagi PLTA Tonsealama, Tanggari I, dan Tanggari II.
Tanggul itu akan dilengkapi saluran limbah untuk mencegah pencemaran danau dari sawah dan permukiman sekitar. Harapannya, pertumbuhan eceng gondok bisa ditekan. Berbagai manfaat lain danau, seperti sumber air baku, pariwisata, dan pembangkit listrik, dapat dipulihkan.
Bangunan tanggul baru jadi sepanjang 3 meter. Saat tanggul rampung, tinggi air di danau bisa bertambah 1 meter. Volume danau bisa bertambah 46 juta meter kubik jika mengacu pada luas danau 4.616 hektar hasil hitungan BWSS I. ”Ini bisa menjadi pasokan air bagi PLTA Tonsealama, Tanggari I, dan Tanggari II,” kata Bastari.
Pembangunan sebuah pintu air di outlet juga telah masuk rencana. ”Pintu air itu nantinya bisa dikelola secara KPBU (kerja sama pemerintah dan badan usaha). PT PLN bisa ambil bagian di situ,” kata Bastari.
Soal eceng gondok, Bastari menilai, kerja padat karya adalah cara paling efektif, asalkan dikerjakan serentak dan konsisten. BWSS I berencana menggandeng Komando Daerah Militer XIII/Merdeka untuk bergotong royong membasminya. ”Kalau sebagian sudah terangkat, mudah mengontrol pertumbuhannya,” ujar Bastari.
Andreas sepakat. UPDK Minahasa pun telah siap dengan dua perahu motor untuk membersihkan eceng gondok dan memantau sedimentasi. ”Kami memang sudah bayar pajak air. Tetapi, kami akan mendukung pemerintah karena keadaan Danau Tondano berdampak langsung kepada pembangkit kami,” ujarnya.
Baca juga:Elektrifikasi dari Energi Terbarukan Diprioritaskan
Budayawan Minahasa, Ivan Kaunang, dalam buku Minahasa: Epistem Kebudayaan (2015), mengajak warga Minahasa menghidupkan lagi semangat mapalus (gotong royong) demi menyelamatkan Danau Tondano. Jika danau itu kering, Manado dan sekitarnya tak akan lagi memiliki air sumber kehidupan. ”Maka, matilah generasi berikutnya.”
Upaya penyelamatan Danau Tondano masih jauh dari tuntas. Lagi-lagi, PLTA Tonsealama akan menjadi saksi sejarah keberhasilan atau kegagalan manusia melestarikan Danau Tondano. Deru turbinnya menjadi pengingat agar manusia selalu bersahabat dengan alam.