Produksi Tiga PLTA Terancam, PLN Angkat Eceng Gondok dan Sampah di Danau Tondano
PT PLN berupaya membersihkan daerah aliran Sungai Tondano dari eceng gondok dan sampah demi meningkatkan produksi listrik tiga pembangkit bertenaga air di Sulawesi Utara. Namun, masalah sedimentasi masih membayangi.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
MINAHASA, KOMPAS — PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) berupaya membersihkan daerah aliran Sungai Tondano dari eceng gondok dan sampah demi meningkatkan produksi listrik tiga pembangkit bertenaga air di Sulawesi Utara. Namun, potensi berkurangnya pasokan air akibat penyempitan dan pendangkalan Danau Tondano di hulu masih membayangi.
Setidaknya tiga bulan terakhir, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tonsealama, Tanggari I, dan Tanggari II dapat menghasilkan daya 27,7 megawatt (MW) dari total kapasitas terpasang 51,38 MW. Sebelumnya, kemampuan produksi tiga PLTA di Minahasa dan Minahasa Utara itu hanya 18,5 MW setiap bulan.
Saat ini, volume air yang masuk ke dua pipa pesat (penstock) PLTA Tonsealama diperkirakan 9 meter kubik per detik akibat sedimentasi di hulu. Gulma dan sampah yang terbawa aliran sungai turut menekan pasokan air. Padahal, tiga mesin di PLTA itu bisa menampung maksimal 20,52 m kubik air per detik.
”Debit kami terganggu eceng gondok dan sampah yang terbawa arus ke pipa intake (masuk pasokan) PLTA Tonsealama. Itu masalah yang dominan dari hulu. Maka, kami rutin membersihkan daerah aliran sungai (DAS) demi memaksimalkan operasi pembangkit,” kata Manajer Unit Pelaksanaan Pengendalian dan Pembangkitan (UPDK) Minahasa PT PLN Andreas Arthur Napitupulu, Minggu (21/2/2021).
Eceng gondok dan sampah dari hulu ditahan dengan pelampung penjebak sampah (trash boom), lalu dialihkan ke kolam penangkap sampah yang dibuat di samping DAS, sekitar 5 kilometer dari outlet Danau Tondano di Desa Toulour. Sebuah mesin (trash rake) akan mengangkatnya ke bak truk untuk dibawa ke tempat pembuangan.
Pada Jumat (19/2/2021) sore, kolam penangkap sampah masih penuh hamparan hijau dengan sampah plastik di sela-selanya. Frangky, salah satu sopir truk sampah, mengatakan, ada empat truk yang mengangkat eceng gondok dan sampah setiap hari pada pukul 08.00-17.00 Wita. ”Satu truk bisa bolak-balik 14 kali karena muatan banyak sekali,” katanya.
Andreas mengatakan, keadaan ini harus diatasi dengan semua peralatan yang dimiliki UPDK Minahasa. Sebuah ekskavator dan mesin pengeruk amfibi milik PT PLN juga dikerahkan setiap hari di DAS menuju pintu air Tonsealama. Hasilnya dapat dinilai dari selisih tinggi air di pos duga air otomatis (PDAO) di outlet danau dan di pipa intake Tonsealama yang ditargetkan hanya 10 cm.
Menurut Andreas, elevasi air di PDAO biasanya 270-300 sentimeter (cm). Maka, tinggi air di intake Tonsealama harus 260-290 cm. Ambang batas atas di pipa intake tercapai menurut pantauan pada Jumat sore. ”Sebelum pembersihan, selisihnya bisa 20-25 cm. Harapan kami, dengan kondisi alam bagaimanapun juga, kapasitas produksi kami bisa tetap meningkat. Agar PLTA bisa operasi maksimal, kami masih butuh elevasi 320 cm di intake Tonselama dan 330-340 cm di PDAO,” katanya.
Revitalisasi
Walakin, target elevasi itu sulit dicapai akibat sedimentasi di hulu selama dua dekade terakhir. Kedalaman Danau Tondano, yang pada 1934 diperkirakan 40 meter, pada 2015 hanya tersisa 14 meter. Luas danau pun menyusut dari kisaran 4.700-5.000 hektar menjadi 4.616 hektar. Hasil pengukuran Pemkab Minahasa bahkan lebih kecil, yaitu 3.925 hektar.
Pemkab Minahasa telah menginisiasi program revitalisasi Danau Tondano pada Januari 2020. Pemkab Minahasa menggelontorkan Rp 6,6 miliar untuk pengangkatan eceng gondok seluas 315,25 hektar dengan sistem padat karya, dibantu Rp 20 miliar dari Pemprov Sulut. PT PLN juga mengucurkan setidaknya Rp 1 miliar dan menurunkan sekitar 200 personel.
Program itu terhenti setelah realisasi anggaran mencapai 61 persen karena pandemi Covid-19. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Minahasa Vicky Kaloh mengatakan, luas eceng gondok sempat berkurang menjadi 140 hektar saja pada Oktober 2020. Namun, pertumbuhan eceng gondok sangat cepat akibat pencemaran limbah pertanian dan pakan ikan di keramba jaring apung di danau.
Kendati demikian, program serupa akan diinisiasi kembali tahun ini dalam waktu dekat dengan anggaran Rp 4,9 miliar dari Pemkab Minahasa. Pola kerja padat karya itu akan ditata agar tak menimbulkan kerumunan, tetapi tetap efektif.
Vicky menambahkan, pemkab akan segera menyelesaikan peraturan bupati sebagai instrumen pengendalian pemanfaatan Danau Tondano. Peraturan daerah tentang rencana detail tata ruang di sekitar danau prioritas nasional itu juga sedang dalam tahap penyelesaian. Perda itu akan mengatur pula upaya pencegahan sedimentasi.
Menurut hasil pengukuran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2013, di daerah tangkapan air Danau Tondano seluas 20.862,83 hektar, luas hutan lahan kering primer dan sekunder hanya 750,87 hektar atau 3,6 persen.
”Rehabilitasi hutan dan lahan di sekitar danau mesti diatur. Sistem pertanian juga harus dibuat terasering demi mengurangi sedimen ke sungai inlet. Danau Tondano punya 35 inlet, 12 di antaranya besar. Jadi, ada kewajiban pemerintah dan masyarakat,” kata Vicky.
Jangan sampai sedimentasi berlanjut, kemudian dia jadi daratan dan makin banyak masyarakat yang masuk dan mengalihfungsikannya.
Kepala Balai Wilayah Sungai Sulawesi I (BWSS I) Bastari mengatakan, revitalisasi dan pengembangan Danau Tondano sangat mendesak. ”Sumber airnya dibutuhkan masyarakat untuk beberapa keperluan, seperti sumber air baku, irigasi, listrik, pariwisata, dan perikanan, sehingga kelestariannya harus dijaga oleh semua pihak terkait,” katanya.
Saat ini, BWSS I sedang membangun tanggul di sekeliling danau sepanjang 18,5 km. Pemerintah pusat menganggarkan sekitar Rp 1,33 triliun selama 2021-2024. Sejauh ini, badan tanggul sepanjang 3 km sudah selesai.
”Tanggul ini adalah batas air untuk menjaga luasan air yang ada sekarang. Jangan sampai sedimentasi berlanjut, kemudian menjadi daratan dan makin banyak masyarakat yang masuk dan mengalihfungsikannya. Tanggul ini juga berfungsi memisahkan air danau dari pencemaran limbah sawah dan permukiman,” kata Bastari.
Saat tanggul selesai, tinggi air bisa meningkat 1 meter sehingga volume air bisa bertambah 46,16 juta meter kubik. Menurut Bastari, itu bisa menjadi tambahan pasokan air bagi PLTA Tonsealama, Tanggari I, dan Tanggari II.
Sementara, Andreas Arthur berharap, upaya revitalisasi Danau Tondano dapat berlanjut secara konsisten. Pihaknya pun siap mendukung segala upaya untuk mengatasi eceng gondok, sampah, dan sedimentasi, bahkan sampai di hulu.
Saat ini, beban puncak sistem interkoneksi kelistrikan di Sulut dan Gorontalo 365-410 MW dari kapasitas terpasang 516 MW. Sedikitnya 219 MW berasal dari sumber energi terbarukan. Ketiga PLTA di DAS Tondano, meskipun kapasitasnya hanya sekitar 10 persen dari kapasitas terpasang, tetap menjadi prioritas untuk dioperasikan.
”Biaya variabel air hanya pajak permukaan air Rp 20 per kWh (kilowatt jam), paling rendah dibandingkan energi lainnya, seperti solar Rp 1.500 per kWh atau panas bumi Rp 1.000 per kWh. Kalau PLTA berhenti beroperasi, listrik akan semakin mahal. Jadi, kami akan selalu support program pemerintah di Danau Tondano,” kata Andreas.