Hutan Alam dan Lahan Gambut agar Dikeluarkan dari ”Food Estate”
Program ”food estate” didukung oleh sejumlah paket kebijakan dari beragam kementerian. Namun, kebijakan itu justru mengancam kelestarian hutan alam dan gambut yang dikhawatirkan bakal berujung bencana.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kawasan hutan alam dan ekosistem gambut yang masuk dalam program lumbung pangan (food estate) perlu dikeluarkan. Selain akan berdampak pada bencana alam, kawasan itu harusnya direstorasi, bukan diubah fungsinya dalam program pangan sekalipun.
Hal itu mengemuka dalam diskusi publik virtual yang diselenggarakan Yayasan Madani Berkelanjutan dengan menghadirkan beberapa pembicara, seperti Manajer Manajemen Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan Anggalia Putri, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB Prof DR Dwi Andreas Santosa, dan Direktur Eksekutif Centre for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia and Pacific (CCROM-SEAP) Prof DR Rizaldi Boer. Sayangnya, beberapa narasumber dari pemerintah pusat tidak bisa menghadiri kegiatan itu.
Menurut Anggalia, masa depan pangan dan pertanian Indonesia bergantung pada terjaganya hutan alam dan gambut, juga peningkatan upaya untuk keluar dari krisis iklim. Hal itu yang mendasari pihaknya menilai hutan alam dan gambut perlu dikeluarkan dari kawasan program lumbung pangan.
”Ada tiga hal yang kami sorot, yakni soal hutan alam dan ekosistem gambut, lalu potensi nilai kayu jika ditebang untuk food estate, dan bagaimana konstruksi kebijakannya,” kata Anggalia di Jakarta, Rabu (24/2/2021).
Dari data yang dikemukakan Yayasan Madani Berkelanjutan, setidaknya terdapat kawasan hutan alam seluas lebih dari 1,57 juta hektar di dalam daerah lokasi food estate di empat provinsi, yakni Provinsi Kalimantan Tengah, Papua, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan, yang disebut sebagai Area of Interest (AoI).
Selain itu, Yayasan Madani Berkelanjutan mencatat setidaknya terdapat 40 persen atau seluas 1,42 juta hektar area lokasi food estate yang tersebar di ekosistem gambut. Rinciannya, 582.000 hektar gambut lindung dan 838.000 hektar gambut budidaya. Sebesar 87,8 persen kawasan itu berada di Papua dan 9,4 persen berada di Kalimantan Tengah.
”Jika ditebang hutannya dan dikeringkan gambutnya, potensi kebakaran hutan dan lahan itu bakal meningkat tajam, seperti di Kalimantan Tengah beberapa tahun lalu,” ujar Anggalia.
Dari 1,57 juta hektar kawasan hutan alam itu, volume kayunya mencapai 243 juta meter kubik dengan nilai Rp 209,36 triliun.
Anggalia menambahkan, potensi keuntungan dari menjual kayu di kawasan food estate juga besar. Dari 1,57 juta hektar kawasan hutan alam itu, volume kayunya mencapai 243 juta meter kubik dengan nilai Rp 209,36 triliun. Penebangan kayu pun, tambah Angglia, didukung dan diizinkan oleh kebijakan karena masuk dalam program kedaulatan pangan, juga pemulihan ekonomi nasional (PEN).
”Pemerintah harus benar-benar menjalankan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam program ini,” kata Anggalia.
Di Kalimantan Tengah, Badan Cadangan Logistik Strategis (BCLS) sudah mulai membuka kawasan hutan produksi di Desa Tewai Baru, Kecamatan Sepang, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Ratusan hektar lahan di tempat itu sudah dibuka untuk program cadangan logisitik pangan untuk komoditas singkong. Pada November 2020, lokasi itu sempat dikunjungi Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono yang saat itu menjabat Wakil Menteri Pertahanan RI.
Tak hanya Singkong, program food estate untuk komoditas padi sudah berjalan sejak tahun lalu. Penanaman perdana padi dilakukan sendiri oleh Presiden Joko Widodo di Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng.
Dalam Rapat Kerja Percepatan Tanam di Wilayah Pengembangan Kawasan Food Estate di Banjarmasin, Kalsel, pada Sabtu (13/2/2021) terungkap, di Kabupaten Kapuas target penanaman yang mencapai 1.200 hektar baru terealisasi 19 hektar lantaran lahan yang mau digunakan terendam air. Meskipun demikian, pemerintah mengklaim lahan seluas 9.000-10.000 hektar sudah siap tanam.
Sekretaris Daerah Kalimantan Tengah Fahrizal Fitri dalam pertemuan itu mengungkapkan, pihaknya akan mendukung penuh program tersebut agar target-target yang diinginkan bisa tercapai. Hal itu tentu membutuhkan dukungan semua pihak.
Dwi Andreas menjelaskan, pemerintah perlu menerapkan empat pilar pengembangan lahan pangan, yakni kelayakan tanah, kelayakan infrastruktur, kelayakan budaya dan teknologi, dan yang terakhir kelayakan sosial ekonomi. Menurut dia, hingga kini program food estate dari tahun ke tahun belum memenuhi empat pilar itu sehingga berakhir gagal.
”Sebenarnya ada nuansa batin yang lain, karena di lokasi itu sebenarnya sudah porak-poranda. Jangan membayangkan wilayah-wilayah (yang porak-poranda) itu bakal menjadi lumbung pangan,” kata Andreas.
Rizaldi Boer menambahkan, food estate bukan ide baru, tetapi tetap perlu perencanaan yang matang agar tidak mengulangi kesalahan atau kegagalan program serupa di masa lalu. Menurut dia, kawasan gambut yang bakal dimanfaatkan pada program ini tidak sampai 100.000 hektar dengan kedalaman 100 sentimeter.
”Kunci dari semua kesepakatan adalah transparansi agar terbangun kepercayaan, penanganan perubahan iklim harus bersama-sama,” kata Rizaldi.