Tak Hanya Dipecat, Dua Polisi dan Seorang Tentara Terancam Vonis Mati
Tak hanya dipecat, dua anggota Polri yang menjual senjata dan seorang anggota TNI AD yang menjual 600 butir peluru juga terancam hukuman mati. Sasaran penjualan itu adalah kelompok kriminal bersenjata di Papua.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN DAN FABIO M LOPES
·4 menit baca
AMBON, KOMPAS — Tanpa harus menunggu putusan pengadilan, institusi Polri dan TNI menegaskan akan memecat dua polisi dan seorang tentara AD yang menjual senjata api serta amunisi kepada jaringan kelompok kriminal bersenjata di Papua. Ketiga orang yang kini berdinas di Ambon, Maluku, itu pun terancam hukuman mati.
Penegasan itu disampaikan Kepala Bidang Humas Polda Maluku Komisaris Besar M Roem Ohoirat dan Komandan Detasemen Polisi Militer Komando Daerah Militer XVI/Pattimura Kolonel CPM J Pelupessy dalam konferensi pers di Ambon, Selasa (23/2/2021). Sanksi tegas itu mengingat para anggota yang terlibat dianggap melawan upaya negara dalam memerangi kelompok kriminal bersenjata (KKB).
Hadir Kepala Polres Kota Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease Komisaris Besar Leo Simatupang serta perwakilan dari Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Maluku, Reserse dan Kriminal Umum Polda Maluku, serta Penerangan Kodam XVI/Pattimura. Para tersangka juga dihadirkan beserta sejumlah barang bukti.
Leo mengatakan, dua polisi yang terlibat yaitu Bigadir Kepala SAT dan Brigadir Kepala MRA. SAT membeli senjata rakitan laras panjang menyerupai jenis SS1 kepada seorang pembuat di Ambon dengan harga Rp 6 juta. Senjata itu lalu dijual kepada tersangka J dengan harga Rp 20 juta. Transaksi jual-beli antara SAT dan J sudah berlangsung dua kali.
Sementara itu, lanjut Leo, MRA meminjam senjata dari saudaranya yang berdinas di Pangkalan TNI Angkatan Udara Pattimura, Ambon. Senjata jenis revolver itu lalu dijual kepada SN dengan harga Rp 5 juta. Oleh SN, senjata itu dijual kepada J dengan harga Rp 12 juta. J dimaksud masih orang yang sama yang membeli SS1 rakitan dari SAT.
Adapun pelaku AT membeli 600 butir peluru kaliber 5,56 milimeter dari Prajurit Kepala MS, anggota Batalyon 733/Masariku, Ambon. AT lalu menjual peluru itu kepada J dengan total uang sebesar Rp 2 juta. J dimaksud masih orang yang sama. ”Dia (J) terbang dengan pesawat dari Papua ke Ambon, lalu membeli senjata dan amunisi itu, terus pulang ke Papua menggunakan kapal laut,” ujar Leo.
J berangkat menggunakan kapal dari Pulau Seram ke Papua Barat. Ia membawa senjata serta peluru itu dan hendak menjualnya kepada penadah untuk nantinya didistribusikan kepada jaringan KKB. Pada 3 Februari 2021, J ditangkap personel Polres Bintuni, Papua Barat. J kini diproses di Bintuni.
Leo mengatakan, para tersangka dijerat dengan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951. ”Para tersangka diancam dengan hukuman mati, hukuman seumur hidup, dan hukuman setinggi-tingginya maksimal 20 tahun penjara,” kata Leo seraya menambahkan hukuman paling berat akan dijatuhkan kepada aparat.
Kolonel CPM J Pelupessy menambahkan, ancaman hukuman serupa akan diterapkan kepada tentara yang terlibat. Kini, pelaku sedang diperiksa, dan penyidik mendalami kemungkinan keterlibatan orang lain. Kepada penyidik, pelaku mengaku mendapat 600 butir peluru itu dari tempat latihan menembak. ”Kami tidak percaya begitu saja,” ujar Pelupessy.
Kepala Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Perwakilan Wilayah Papua Frits Ramandey menuntut pelaku penjualan amunisi dan senjata api ke KKB dijerat hukuman berat. Pelaku harus dijerat pasal berlapis agar memberikan efek jera sehingga kasus tidak terulang lagi.
Perbuatan para pelaku termasuk kejahatan kemanusiaan.
Frits mengatakan, Komnas HAM meminta pelaku yang terlibat kasus tersebut tidak hanya dijerat Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang penyalahgunaan senjata api dan amunisi. Para pelaku juga bisa dikenai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
”Perbuatan para pelaku termasuk kejahatan kemanusiaan. Mereka secara sadar menjual amunisi dan senjata api yang membahayakan nasib aparat TNI-Polri dan warga sipil. Perbuatan pelaku secara tidak langsung telah memicu konflik di Papua,” ucap Frits.
Berdasarkan data Polda Papua, terjadi 49 kasus gangguan keamanan oleh KKB sepanjang tahun 2020. Teror penembakan KKB terjadi di tujuh wilayah hukum Polda Papua, meliputi Nduga, Intan Jaya, Paniai, Mimika, Puncak Jaya, Keerom, dan Pegunungan Bintang. Sebanyak 17 orang meninggal akibat perbuatan KKB tersebut.
Pada 2021, KKB melanjutkan terornya, salah satu yang menjadi sasaran adalah Kabupaten Intan Jaya. Sejak awal tahun, tercatat sudah terjadi tujuh serangan KKB di daerah itu. Tiga anggota TNI dan dua warga sipil meninggal serta seorang anggota TNI dan warga mengalami luka berat karena terkena tembakan.
Frits menambahkan, Komnas HAM mengapresiasi upaya kepolisian yang berhasil mengungkap kasus peredaran senjata api dan amunisi dari dan di Papua. ”Upaya penegakan hukum yang terukur bagi oknum yang terlihat penjualan amunisi sangat tepat. Upaya ini dapat menghentikan aksi kekerasan yang terus terjadi di tanah Papua selama bertahun-tahun,” katanya.
Kepala Polres Nabire Ajun Komisaris Besar Kariawan Barus terus berusaha memperketat pengamanan di jalur darat, bandara, dan pelabuhan untuk mencegah penyelundupan amunisi dan senjata api ke KKB. ”Kami terus berkoordinasi dengan jajaran kepolisian di Papua Barat dan Maluku,” ujar Kariawan.