Balap Merpati, Hobi yang Tak Mati Digilas Pandemi
Hobi bermain balap merpati menjadi hiburan di kala pandemi Covid-19. Di Banyumas, Jawa Tengah, sejumlah pehobi burung merpati tetap melatih burung merpati supaya gesit dan lincah dalam kompetisi.
Bau tanah basah masih tercium di sepetak tanah lapang di antara persawahan dan kolam ikan. Hujan seharian menyisakan awan mendung di langit. Sejumlah orang mulai berdatangan menggendong sangkar burung di punggung. Beberapa mulai mengelepakkan burung merpati betina, memancing sekaligus menyambut kehadiran si jantan yang melesat cepat di angkasa.
”Buat hiburan dan menghilangkan jenuh. Apalagi kalau burung bisa masuk kolong dan mendarat di bantalan rasanya senang sekali,” kata Jamil (38), salah satu pehobi burung merpati, Senin (8/2/2021), di Karangnanas, Sokaraja, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Kolong yang dimaksud Jamil adalah arena pendaratan burung merpati. Arena ini berbentuk persegi dengan ukuran sisi 9 meter dan pada keempat sudutnya terdapat tiang bambu dengan ukuran tinggi sekitar 10 meter.
Di ujung atas bambu saling terkait tali berhiaskan bendera-bendera kecil atau umbul-umbul warna-warni. Pada bagian bawah, disiapkan pula bantalan busa sebagai tempat pendaratan burung.
Bagi para pehobi, jika merpati melesat turun melalui kolong di antara umbul-umbul itu untuk mendarat, berarti kualitasnya bagus. ”Burung ini harus dilatih setiap hari. Memang harus sabar dan tekun,” ujar Jamil yang sudah menggemari burung merpati sejak duduk di bangku sekolah dasar.
Merpati-merpati ini dilatih dengan diterbangkan mulai jarak 5 meter, 50 meter, 100 meter, 200 meter, hingga 300 meter di sekitar Desa Karangnanas. Pelepasan burung merpati ini tidak hanya segaris lurus tanpa halangan. Pelepasan burung merpati juga bisa dilepaskan dari balik bangunan gudang-gudang di sekitar arena pendaratan burung.
Burung yang dilepas paling jauh ini disebut burung skor.
Biasanya, para pelepas burung akan pergi menjauh dari arena menggunakan sepeda motor menuju titik pelepasan. Burung-burung pejantan dibawa menggunakan sangkar burung bertingkat tiga. Bagian atas adalah ruang bagi burung-burung yang masih dianggap pemula dan artinya burung-burung ini akan dilepaskan pertama kali di jarak 50-100 meter.
Selanjutnya, pada tingkat kedua digunakan bagi burung-burung yang sudah memasuki tahap menengah dan akan dilepaskan pada jarak sekitar 200 meter serta berada di balik bangunan. Terakhir, bagian paling bawah sangkar dipergunakan bagi burung paling jago dan akan dilepaskan pada jarak 300-500 meter. ”Burung yang dilepas paling jauh ini disebut burung skor,” tutur Jamil.
Baca juga: ”Merpati Pelipur Lelah Hati”
Imam (35), penggemar hobi burung merpati lainnya, menuturkan, melatih burung merpati atau dara menjadi hiburannya di tengah penat pekerjaannya di sebuah gudang distributor makanan di Purwokerto, Banyumas. ”Zaman Covid-19 seperti ini kalau tidak ada hiburan, pikiran akan spaneng. Apalagi kita kan dilarang pergi ke mana-mana ngikutin anjuran pemerintah,” kata Imam yang mempunyai 20 merpati di rumahnya.
Dalam melatih burung, para penggemar ini memiliki tim tersendiri. Setiap tim memiliki nama dan kostum yang unik. Imam bersama dua temannya memilih nama tim ”Kepetek”. Kepetek adalah nama salah satu dusun yang ada di Desa Karangnanas. Kostumnya didesain berlengan panjang dan disertai kupluk atau penutup kepala untuk melindungi dari sengatan panas matahari. Kostumnya berwarna cerah dominasi kuning dan oranye. Di bagian belakangnya tertulis moto tim ini: Kompak, Telaten, dan Sabar.
Karto (49), penggemar burung merpati dari tim ”KCL”, menyampaikan, KCL merupakan nama panggilan salah satu rekannya, yaitu Kencleng. Tim ini mendesain kostum berwarna biru lengan panjang, tetapi tidak dilengkapi kupluk. Namun, tim ini memiliki topi yang juga berwarna biru disertai bordiran nama timnya. Pada bagian belakang kostum, tertulis kata-kata bijak: ”Surga di bawah telapak kaki ibu”. Bagi Karto, bermain burung adalah hiburan di saat luang saja, di mana keluarga adalah nomor satu. ”Paling melatih buruh 30 menit saja sepulang kerja, setelah itu pulang,” tutur Karto yang memiliki 30 merpati.
Parno (40), pemilik arena atau dikenal sebagai lapak bermain burung dara, menyampaikan, akibat Covid-19, sudah tidak ada lagi perlombaan balap burung merpati karena menimbulkan kerumunan. Namun, setiap hari, belasan orang masih datang ke lapaknya untuk melatih burung-burungnya. ”Kalau ada lomba, banyak orang di sini. Sampai penuh,” ujar Parno.
Setiap lomba biasanya setiap tim dipungut biaya pendaftaran Rp 30.000 dan hadiah yang didapat bisa mencapai Rp 10 juta. Di lapaknya, setiap ada perlombaan, biasanya ada 200-300 orang dari 20-an tim yang datang ikut berpartispasi. Para penggemar burung tetap datang melatih piaraannya karena semakin mahir dan gesit burung itu mendarat, harganya semakin mahal. ”Burung-burung yang sudah naik podium, harganya bisa belasan sampai ratusan juta rupiah,” tutur Parno yang juga memiliki 8 burung di rumahnya.
Bagi Sugiyono (45) memelihara burung merpati sudah disukainya sejak usia 13 tahun. Namun, karena kesibukannya sebagai Kepala Desa Karangrau, Sokaraja, dia tidak punya waktu untuk melatih burung-burungnya. ”Saya tidak sampai turun ke lapak. Ini pelihara hanya untuk hiburan. Iseng-iseng untuk kegiatan biar tidak terlalu sepi,” tutur Sugiyono.
Pengajar di Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Rawuh Edy Priyono, menyampaikan, bermain burung merpati menjadi ekspresi dan hiburan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah yang relatif murah dan meriah. Namun, di tengah kemeriahan itu, kadang kala protokol kesehatan juga kurang diperhatikan.
Di sisi lain, hobi tersebut juga ditengarai juga menjadi ajang taruhan juga kadang muncul hal-hal kurang baik, seperti perkelahian. ”Hobi ini sudah lama hidup di masyarakat agraris. Dulu yang bermain adalah anak-anak, sekarang sudah banyak orang dewasa. Jika eksesnya tidak dipantau, bisa saja menjadi sesuatu yang kurang baik,” ujar Rawuh.
Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Ugung Dwi Ario Wibowo, dari sudut psikologi sosial bagi masyarakat tradisional, burung menjadi suatu simbol kebanggaan. ”Mainan burung apa pun dan dipergunakan untuk apa pun itu salah satu yang memunculkan kebanggaan,” kata Ugung.
Ugung juga menyampaikan, memelihara dan bermain burung merpati menjadi hal yang bisa dinikmati oleh masyarakat menengah ke bawah karena mudah dipelihara, mudah berkembang biak, serta memiliki kemampuan navigasi atau kembali ke sarangnya. ”Di balap merpati ini ada unsur kompetisi. Ini selalu dicari karena di mana-mana yang dicari adalah pemenang. Dalam konteks tertentu, masyarakat kita senang disuruh kompetisi. Meski ada yang motifnya gambling atau judi atau kompetisi untuk mencari kehebatan jagonya,” katanya.
Kelebihan merpati
Dari sejumlah pemberitaan Kompas, merpati memiliki sejumlah keunggulan. Pertama, dituliskan dalam laporan Kompas (17/12/2013) bahwa merpati memang tak pernah ingkar janji untuk pulang ke kandang sang pemilik. Entah berapa pun jarak yang ditempuh, merpati tetap mengenali tempat asalnya. Padahal, mereka tidak membaca Google Map atau perangkat GPS (global positioning system).
Daily Mail pada Juli 2013 memberitakan, merpati mempunyai peta di kepalanya yang membimbing mereka untuk pulang kandang. Daily Mail mengutip hasil penelitian Nicole Balser dari Universitas Zurich yang menyebutkan bahwa merpati pos memiliki ingatan kuat tentang posisi rumah mereka meski telah menempuh hambatan topografi.
Kedua, jika seseorang mengganggu seekor burung merpati, burung itu bakal selalu mengingatnya dan akan segera pergi saat didekati. Hasil penelitian yang dikutip LiveScience, Minggu (3/7/2011), menunjukkan, merpati liar mampu membedakan wajah manusia tanpa terkecoh perubahan pakaian (Kompas, 26/7/2011).
Baca juga: Misi Sang Merpati
Ketiga, merpati disebut juga memiliki kecerdasan yang setara dengan monyet. Disebutkan bahwa penelitian terdahulu mendapatkan, binatang mulai dari lebah sampai simpanse dan monyet rhesus (Macaca mulata) mampu menghitung jika dilatih dengan imbalan makanan. Berdasarkan hal itu, psikolog dari Universitas Otago, Selandia Baru, berupaya mengetahui apakah merpati memiliki kemampuan sama dengan monyet rhesus.
”Merpati merupakan subyek sempurna karena penglihatan mereka sangat baik dan mereka sangat mudah dilatih. Merpati dapat dilatih semua hal yang bisa dilakukan monyet,” kata psikolog dan peneliti Damian Scarf kepada LiveScience, Kamis (22/12/2011).
Scarf dan kolega melatih tiga merpati berhitung mulai satu sampai tiga. Lewat layar sentuh ditunjukkan sejumlah obyek dengan berbagai ukuran, bentuk, dan warna. Merpati diminta mengurutkan obyek dari jumlah terendah sampai tertinggi. Merpati-merpati itu mampu mengurutkan gambar-gambar obyek dengan benar (Kompas, 28/12/2011).
Dalam lomba balap merpati skala nasional, seperti diberitakan Kompas (17/12/2013), ratusan merpati yang dilombakan mampu menempuh jarak ratusan kilometer. Ada yang dilepaskan dari Pekalongan (325 km), Demak (510 km), dan Blora (523 km) untuk kembali ke Kandang Nusantara di Desa Cogrek, Parung, Bogor, Jawa Barat. Dilaporkan pula ada merpati pos betina yang diberi nama Bad Girl mampu terbang menempuh jarak sekitar 930 kilometer dari Bali.
Kepakan sayap merpati yang memanggil-manggil pasangannya seolah ikut mendebarkan jantung para penggemar merpati yang menanti di sekitar arena balap. Kegesitan merpati yang menukik tajam melewati kolong arena membawa sorak kebanggaan sang empunya. Kemeriahan melatih merpati di sepetak tanah ini seakan tak pernah mati digilas pandemi.