Enam Jam Karangan Bunga Prestasi Kemiskinan Sumsel Terpajang
Dua papan karangan bunga berukuran 3 meter x 2 meter terpampang di seberang Kantor Gubernur Sumatera Selatan di Palembang, Jumat (19/2/2021). Ucapan ini bentuk apresiasi atas kemiskinan di Sumsel.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
Dua papan karangan bunga berukuran 3 meter x 2 meter terpampang di seberang Kantor Gubernur Sumatera Selatan di Palembang, Jumat (19/2/2021). Dalam karangan bunga itu tertulis pesan, ”Selamat dan Sukses atas Prestasi dan Capaian Gubernur Sumsel Mendapatkan 10 Besar Provinsi Termiskin se-Indonesia”.
Arifin (56), seorang pemulung yang biasa bekerja di sekitar Kantor Gubernur Sumatera Selatan di Palembang, tampak tertegun melihat karangan bunga yang diletakkan di sebelahnya. Sejumlah warga yang melintas di depan karangan bunga itu juga berhenti sejenak untuk membaca tulisan dalam papan karangan bunga yang mengandung pesan unik itu. Adalah enam organisasi kepemudaan di Sumsel yang mengirimkan karangan bunga itu.
”Sebenarnya kami ingin mengirimkan karangan bunga ini kemarin. Namun, karena banyak perusahaan bunga yang menolak, akhirnya tertunda,” ujar Muhammad Iqbal, Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Sumsel yang sekaligus merupakan inisiator aksi itu, Jumat (19/2/2021).
Rencananya ada beberapa karangan bunga lagi yang akan dikirim ke sejumlah tempat, seperti Rumah Dinas Gubernur Sumsel dan beberapa kantor organisasi perangkat daerah. ”Saya ingin pesan ini dibaca para pejabat,” katanya.
Iqbal berpendapat, langkahnya adalah cara yang paling tepat untuk memberikan ”penghargaan” kepada Pemerintah Provinsi Sumsel karena mampu mencatatkan prestasi menjadikan Sumsel masuk dalam jajaran sepuluh besar provinsi termiskin di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS). ”Karena prestasi inilah, kami mengirimkan karangan bunga,” kata Iqbal.
Berdasarkan paparan BPS Sumsel, tingkat kemiskinan di Sumsel pada September 2020 mencapai 12,56 persen, lebih tinggi dari angka nasional, yakni 10,19 persen. Angka ini membuat Sumsel masuk dalam jajaran sepuluh provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia. Bahkan, di Sumatera, tingkat kemiskinan di Sumsel hanya lebih rendah dibandingkan Aceh (15,43 persen) dan Bengkulu (15,30 persen).
Iqbal merasa heran dengan capaian tersebut, pasalnya Sumsel dianugerahi beragam kekayaan sumber daya alam. ”Sumsel merupakan lumbung pangan dan energi tetapi kok bisa masuk dalam 10 besar provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi,” ujarnya.
Menurut Iqbal, kondisi ini terjadi karena ada kesalahan pengelolaan anggaran. Pemprov Sumsel terlalu fokus pada pembangunan infrastruktur yang sebenarnya tidak menyentuh langsung pada kebutuhan primer masyarakat. Setidaknya ada 23 sampai 34 proyek pembangunan infrastruktur di Sumsel senilai Rp 4 triliun yang tidak tepat sasaran.
Salah satunya adalah proyek pemindahan kompleks perkantoran Pemprov Sumsel dari Jalan A Rivai menuju ke Jalan Yusuf Singedekane, Palembang. Pemindahan kompleks perkantoran pemerintah yang menghabiskan anggaran Rp 166 miliar itu tidak tepat dilakukan pada saat pandemi Covid-19. ”Lebih baik dialihkan ke program yang menyentuh langsung ke masyarakat,” kata Iqbal.
Dia menyarankan agar pemerintah memberikan bantuan, seperti pemberian modal kepada para pelaku unit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), pemberian pupuk gratis kepada petani, juga bantuan sosial, kepada masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan. ”Saya rasa itu lebih penting dibandingkan harus membuat proyek infrastruktur yang dampaknya tidak dirasakan oleh masyarakat,” ujarnya.
Agar pemerintah memberikan bantuan, seperti pemberian modal kepada para pelaku UMKM, pemberian pupuk gratis kepada petani, juga bantuan sosial, kepada masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan.
Namun, karangan bunga dari organisasi pemuda itu hanya terpapang kurang dari enam jam karena pada Jumat sore, Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Sumatera Selatan sudah mengangkutnya.
Ekonomi terpuruk
Sebelumnya, Kepala Bidang Statistik Sosial BPS Sumsel Timbul P Silitonga menjelaskan, tingkat kemiskinan di Sumsel dipengaruhi oleh sejumlah faktor, mulai dari pertumbuhan ekonomi Sumsel yang terus terkontraksi dalam tiga triwulan berturut-turut di tahun 2020. Pada triwulan III tahun 2020, pertumbuhan ekonomi di Sumsel terkontraksi 1,40 persen, jauh terpuruk dibandingkan periode yang sama tahun 2019 di mana pertumbuhan ekonomi Sumsel mencapai 5,60 persen.
Hal ini dipengaruhi juga oleh pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang pada triwulan III 2020 mengalami kontraksi sebesar 4,36 persen, jatuh terjerembab dibandingkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga di periode yang sama tahun 2019, yakni 4,12 persen. ”Dari sini kita bisa melihat daya beli penduduk di Sumsel sangat terpuruk,” ujar Timbul.
Anjloknya daya beli masyarakat juga dipengaruhi oleh penurunan pendapatan warga Sumsel akibat pemutusan hubungan kerja, pengurangan jam kerja, dan terpuruknya harga komoditas.
Pada Agustus 2020, kata Timbul, 597.880 warga Sumsel yang masuk usia kerja terdampak Covid-19. Dari angka itu, sekitar 49.800 orang menjadi pengangguran, 14.200 penduduk menjadi bukan usia kerja, 40.990 penduduk sementara tidak bekerja, dan 492.900 penduduk bekerja mengalami pengurangan jam kerja. ”Alhasil, pendapatan mereka pun menurun,” katamya.
Tidak hanya pekerja, upah buruh tani pun turun akibat anjloknya harga komoditas unggulan di Sumsel. Pada Februari 2020, upah buruh tani sekitar Rp 1,58 juta per bulan pada Agustus 2020 menjadi Rp 1,50 juta per bulan. ”Tingkat kemiskinan baik di kota maupun desa di Sumsel meningkat,” ujar Timbul.
Penjual es kembang tahu, Ateng (54), mengaku pandemi Covid-19 membuat pendapatannya turun signifikan. Sebelum pandemi, biasanya ia bisa mendapatkan uang Rp 400.000 per hari dengan pendapatan bersih Rp 150.000.
Sejak satu tahun terakhir, pendapatannya turun tajam menjadi Rp 150.000 per hari, sedangkan pendapatan bersihnya hanya Rp 50.000. ”Sekarang jalanan sepi, banyak yang tinggal di rumah. Sering dagangan saya tidak habis,” katanya. Dia berharap ada bantuan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. ”Kondisi semakin susah, saya sering berutang untuk memenuhi kebutuhan hidup,” ujarya.
Jadi acuan
Menanggapi hal itu, Gubernur Sumsel Herman Deru mengatakan, angka kemiskinan yang dikeluarkan BPS itu sangat fluktuatif. ”Terkait angka selalu berubah-ubah,” ujarnya.
Angka kemiskinan yang tinggi itu, kata Herman, terjadi karena pandemi di mana mobilitas masyarakat yang terbatas. Apalagi angka kemiskinan didasari oleh berbagai faktor, mulai dari harga barang dan kondisi komoditas.”Bukan karena daerah tidak mampu,” ujarnya.
Tingkat kemiskinan di Sumsel, kata Herman, merupakan akumulasi dari situasi yang ada di kabupaten/kota. ”Angka ini menjadi acuan bagi kita untuk melihat daerah mana saja yang perlu mendapatkan perhatian khusus,” ujarnya.
Dia berharap masyarakat tidak hanya terpaku pada peringkat, tetapi dari sisi angka kemiskinan secara keseluruhan. Jika dibandingkan tahun 2018 di mana angka kemiskinan di Sumsel mencapai 12,82 persen, kondisi saat ini tentu lebih baik.
Namun, bagi Arifin, yang terpenting adalah dirinya mampu mencukupi kebutuhan keluarga. Da tidak memedulikan soal angka. ”Sejak pandemi, saya tidak dapat bantuan apa pun, selain uang Rp 100.000 yang diberikan gubernur dari dalam mobil dinasnya,” ujarnya.
Hanya satu permintaan sederhana dari pria yang telah memulung sejak sembilan tahun ini. ”Saya sangat butuh gerobak,” ujar Arifin.